Cerpen : Dimensi Takdir


Dimensi Takdir

Diklat tinggal menghitung hari, tetapi persiapanku belum rampung sepenuhnya. Masih ada barang yang belum aku siapkan, jam tangan antiair misalnya, atau galon air 2,5 liter, 5 bungkus sarimi merah, 5 buah roti seharga Rp1.000,00 per bungkus, dan masih banyak lagi. Ya... semua barang bawaan harus sesuai dengan list yang telah dibagi. Bukannya apa, tetapi itu dilakukan agar tidak ada kesenjangan antar peserta. Aku sadar betul akan hal itu, tetapi tetap saja itu menyulitkan bagiku, karena kebanyakan barang harus dibeli dari pasar, sedangkan aku saja tidak pernah pergi ke pasar. Beruntung, aku memiliki teman baik yang mau membelikanku barang-barang di pasar.
******
Selasa, 21 Desember pukul 05.00 WIB tepat, semua telah berkumpul di depan SMA Nusantara. Peserta yang berjumlah 24 orang bergegas menaikkan barang bawaan ke truk. Masih pagi memang, namun kegiatan ini sudah dimulai.
Jalan berliku khas pegunungan menyambut kami. Suara hewan-hewan, kicauan burung, jalan berlubang, ditambah udara sejuk turut menjadi teman perjalanaan kali ini. Setelah menempuh perjalanan panjang, kami pun sampai di pos pertama. Panitia, senior, dan alumni menyambut kami dengan tradisi keramahtamahan ala organisasi ini. Satu hal yang lain dari organisasi ini, keanggotaannya seumur hidup, hingga tak mengherankan bahwa ada alumni yang tetap ikut dalam beberapa kegiatan. Mereka menyempatkan datang, selepas pulang dari pekerjaan mereka.
Setelah itu, kami semua melanjutkan perjalanan. Bukan, bukan dengan truk atau kendaraan apapun itu. Akan tetapi, dengan berjalan kaki, hal ini dikarenakan jalan yang tersedia hanya jalan setapak yang dikelilingi tebing terjal dan jurang di samping kanan dan kirinya. Sebenarnya medan ini bisa saja dilalui motor trail, namun karena tidak adanya jumlah kendaraan yang mencukupi, maka kami berjalan kaki. Satu setengah kilometer jarak yang harus kami tempuh. Cukup berat memang, terlebih kami masih menggendong ransel ataupun carrier beserta barang bawaan lainnya. Perjalanan yang melelahkan, namun keletihan itu seolah terbayarkan dengan keindahan dari Sang Pencipta. Pemandangan yang luar biasa terpampang di depan mata. Paduan sawah terassering dengan padi yang masih hijau dan bersebelahan dengan kebun jagung yang mulai tua tanamannya. Paduan warna hijau, coklat, ditambah background pegunungan dengan gumpalan awan yang sangat indah, berhasil menciptakan gradasi yang sempurna.
Tak terasa, kami telah sampai di pos kedua, yaitu basecamp untuk tiga hari ke depan. Lumayan nyaman untuk ukuran kegiatan seperti ini. Ada beberapa ruangan, ada kamar mandi, ruang untuk menaruh barang seperti bambu untuk membuat dragbar, ada juga ruang kesekretariatan atau kita sebut dengan ”markas besar” yang merupakan daerah larangan bagi peserta. Semua peserta atau yang lebih biasa disebut C-29 (karena kita adalah calon anggota angkatan ke-29) mulai menata barang bawaan. Setelah itu, kami melakukan praktik prusik dan reppling. Semua berjalan dengan lancar. Kegitan yang melelahkan membuat semua peserta tertidur  lelap malam harinya.
Paginya, kami praktek navigasi darat manual. Kami harus mencari lokasi sebenarnya dari daerah yang telah kami gambar di peta kontur. Peserta dibagi menjadi 6 kelompok, artinya ada 4 anggota tiap kelompok. Aku satu kelompok dengan Dila, Wulan, dan Arvin. Arvin, sang ketua kelompok, tampil sebagai leader dalam perjalanan kali ini. Tugasnya membidik tanda medan. Aku sendiri bertugas mencatat perjalan yang kami lakukan dan menentukan seberapa jauh kami melangkah. Sedangkan, Dila bertugas membawa peta dan petunjuk arah dan Wulan bertugas membawa ransel yang berisi logistik pribadi kami. Karena tugas Wulan yang cukup berat, terkadang aku bergantian tugas dengannya.
Sudah hampir tiga jam berjalan, namun belum ada tanda-tanda kami sampai pada lokasi yang kami cari. Karena lelah, kami pun memutuskan untuk beristirahat sejenak. Aku lalu menggeletakkan ransel yang kugendong ke tanah.
“Elma, tolong ambilkan air di ransel, aku haus” pinta Dila
“Iyaa, bentar yaa” jawabku sambil membuka ransel.
“Eh, sadar nggak sih kalo kita makin masuk ke hutan? Apa cuma perasaaanku aja?” tanya Wulan
“Eh iya yaa, pohon-pohon disini juga makin lebat” jawabku sambil menyodorkan botol berisi air pada Dila.
“Thanks ya” ujar Dila saat menerima botol yang kusodorkan.
“Tenang tenang, kalian istirahat aja dulu, biar aku cek jalan di depan”
“Eh Vin, kamu nggak istirahat dulu?” tanya Dila
“Emm, enggak deh nanti aja, kalian aja yang istirahat, jangan lupa kakinya tuh dilurusin, udah jalan jauh tuh, kasian kalo nggak dilurusin” jawab Arvin sambil menyenggol kakiku dan  langsung ngeloyor pergi.
“Eh, rese banget sih” ujarku sebal
“Udah lah ngapain bete, tau sendiri kan jahilnya Arvin kek gimana? Udah udah, kakimu tuh lurusin” sambung Dila
“Eh kenapa kamu yang sewot sih, Dil?”
“Loh loh, kog malah pada berantem sih?” tanya Wulan
“Iya iyaa, maaf” jawabku dan Dila bersamaan.
Tak lama kemudian, Arvin kembali.
            “Di depan masih ada jalan, tapi kita harus hati-hati karena jalan itu licin,sampingnya pun jurang yang sangat dalam, kemungkinan besar jarang dilewati orang” ujar Arvin
            “Ya udah, kamu istirahat bentar, ntar baru ngelanjutin perjalanan” timpalku pada Arvin
            “Iya” jawab Arvin
            “Elma, nanti ranselnya biar aku aja yang bawa” ujar Wulan
            “Siap,” jawabku menyanggupi
            Benar kata arvin, medan yang kami lalui sangat berat. Jalan setapak berlumut dengan pohon-pohon pinus di samping kanan dan ditambah pohon kopi yang mulai berbunga, menimbulkan bau yang sangat menyengat. Di  sebelah kirinya berbatasan langsung dengan jurang yang dalam, seolah siap menerima siapa saja yang tidak hati-hati dalam berjalan.
            Sepuluh meter pertama, kami masih bisa memilih jalan yang aman untuk dilalui, namun setelah itu, kami tidak bisa memilah jalan lagi. Semua jalan tertutup rerumputan, pertanda belum ada yang melewati jalan itu. Kami memutuskan untuk putar balik. Namun, baru beberapa langkah saja, sreeeeeeeeettttttttttt.
“Arrrrrrrrrgggghtttttt, tolong!!!!!” sepontan aku meraih rerumputan untuk berpegangan.
“Elmaaaaa” teriak temanku hampir bersamaan.
Sadar akan kondisi yang membahayakan, aku beralih dengan mengais akar pohon untuk berpegangan.
            “Tolong!!!!” aku merintih minta tolong
Dengan cekatan, Arvin membuka ransel yang digendong Wulan, ternyata tidak ada tali. Begitupun Dila, ia menyisir daerah sekitar untuk mencari benda yang dapat dimanfaatkan, namun hasilnya nihil.
            Melihat kondisiku yang mulai melemah, Arvin memerintahkan Wulan dan Dila untuk memegangi kakinya, setengah badannya masuk dalam jurang. Yaaa, aku bisa melihat Arvin, ia berusaha meraih tanganku. Jarak yang tak begitu dekat, menyulitkan usahanya.
Badan yang mulai lunglai serta pegangan yang perlahan melemah, membuatku semakin terperosok ke dalam. Rasa hampir menyerah sempat singgah.  Fisik yang tak lagi kuat menjadi alasan utama. Aku tak ingin teman-temanku juga ikut terperosok ke dalam,  pikirku awalnya.
Arvin berteriak agar aku tetap bertahan pada pegangan. Hal ini membuat aku berpikir lagi, tak mungkin kubiarkan perjuangan temanku sia-sia. Mereka rela mempertaruhkan nyawanya untukku, tapi yang kulakukan seolah mengacaukannya. Untuk itu, aku berubah pikiran. Sekuat tenaga  aku mencoba bertahan untuk  tetap berpegang pada akar pohon yang ada. Tangan Arvin makin dekat denganku, ingin rasanya meloncat dan meraih tangannya. Namun, ini bukan seperti adegan di sinetron atau ftv yang pasti akan happy ending. Salah bergerak saja, nyawa taruhannya.
Tubuhku masih bergelantungan saat kabut datang. Kabut putih tebal yang siap mengaburkan pandangan siapa saja. Daerah dengan ketinggian seperti ini, memang sangatlah wajar jika kabut datang kapan saja, namun untuk kali ini, tetap saja ia salah alamat. Kedatangannya memperparah keadaan. Wajah letih Arvin kini tak nampak lagi. Hanya terdengar sayup-sayup suaranya yang tetap menyemangatiku, begitupun Dila dan Wulan. Kali ini, aku benar-benar pasrah, tanganku tak lagi kuat untuk bertahan. Perahan, peganganku melemah dan....  yappppp, tangan Arvin berhasil meraihku. Devi dan Wulan segera menarik Arvin ke atas. Detik demi detik mendebarkan itu berhasil kami lalui.
            Kabut masih tebal saat tubuhku terbaring lemah di atas tanah. Satu kejadian yang hampir merenggut nyawaku itu, sukses menguras tenaga. Beristirahat sejenak mungkin pilihan yang tepat, sambil menunggu kabut berkurang.
            Satu jam berlalu, kabut mulai menipis. Kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Bukan perjalanan mencari lokasi, melainkan perjalanan pulang ke basecamp. Kami menyerah dalam tugas kali ini, kami pun siap dengan konsekuensi yang akan diberikan nantinya. Fisik kami tak lagi kuat jika harus melanjutkan pencarian, terlebih besok masih ada tugas lain yang harus kami selesaikan.
            Sesampainya di basecamp, kami dibiarkan untuk istirahat. Aku dan Dila memasak mie instan, sedangkan Arvin dan Wulan sholat. Kelompok lain sudah selesai memasak karena mereka sampai terlebih dahulu. Ternyata mereka juga gagal dalam tugas kali ini. Oleh karena itu, akan diadakan kegiatan tambahan untuk mengganti kegiatan yang gagal tadi.
Di tengah kegiatan memasak, tiba-tiba ada angin kencang dari arah puncak. Angin itu menyebabkan api dari kompor menyambar ke arah ku. Karena merasa panas, aku pun berlari menuju kamar mandi. Disana ada beberapa temanku. Mereka heran melihatku seperti cacing kepanasan. Bukan, bukan lagi kepanasan, tapi sudah menjadi cacing terbakar. Huffft, sadar akan kondisi yang membahayakan, aku segera masuk dalam kamar mandi yang kosong. Celana olahraga yang notabene terbuat dari bahan yang nggak tahan api, segera kulepas. Aku tidak mau menambah parah luka bakarku. Segera kusiram celana itu dengan guyuran air, berharap bisa memadamkan apinya.
            “Elma, kamu nggakpapa?” teman-temanku mulai khawatir akan  kodisiku.
Karna bingung hendak berbuat apa, salah satu diantara mereka ada yang laporan dengan panitia, senior, dan alumni. Lalu, salah satu dari mereka ada yang memberiku sarung, entah darimana mereka mendapatkannya, namun itu sangat membantuku, karena tidak mungkin aku mengenakan celana untuk saat ini.
Tak lama kemudian, datang 3 perempuan yang tak lain adalah panitia, membawa peralatan PPPK. Karena ketidakadaan cairan infus (NaCl), mereka menggantinya dengan  larutan air dan garam. Mereka mencuci lukaku dengan larutan itu. Hanya itu yang dapat mereka lakukan sebagai pertolongan pertama, karena pos kesehatan hanya ada di pos pertama.
            Aku lalu dibawa turun untuk mendapat pertolongan dari pos kesehatan di pos pertama. Di pos inilah aku disarankan untuk dibawa ke rumah sakit. Kondisiku tak lagi memungkinkan untuk tetap melanjutkan diklat. Mau tidak mau, aku harus menurutinya. Luka di kakiku, dikompres dengan kassa yang telah dibasahi dengan NaCl. Tujuannya adalah untuk memberi sensasi dingin, sehingga dapat mengurangi efek panas.
Aku diantar pulang oleh  salah seorang alumni menggunakan mobil yang entah darimana didapatkannya. Jujur, aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Dia yang berperawakan tinggi, sangat kontras denganku yang notabene semampai alias semeter tak sampai.
Dalam perjalanan, kami pun berbincang, mulai perkenalan hingga bercerita banyak hal. Adrian namanya. Dia tujuh tahun lebih tua dariku. Entah ada medan magnet darimana, aku merasa sangat akrab dengannya, padahal baru sekali bertatap muka. Aku yang pendiam, bahkan cenderung introvet, biasanya butuh waktu lama untuk akrab dengan orang. Namun, tidak kali ini, aku merasa berbeda, seperti sudah lama kenal.
“Elma, masih merasa sakit?” tanyanya membuyarkan lamunanku
“Sedikit” jawabku singkat
Tak ada percakapan berarti setelahnya. Tiba-tiba saja aku merasa canggung. Begitupun dengannya. Hanya suara angin yang menemani perjalanan ini.
            “Kita ke rumah sakit dulu ya” tanyanya lagi berusaha mencairkan suasana.
            “Eh, iya kak eh mas”
            “Kak apa mas ini? Hehe”
            “Enaknya panggil apa ya?”
            “Senyamanmu aja, kita kan cuma beda tujuh tahunan, kan?”
            “Cuma?” tanyaku memastikan
            “Ya maunya gimana?”
            “Iya deh, nurut,hehe” jawabku asal

Obrolan ringan tercipta lagi setelahnya. Suasana pun kembali mencair.
Tak lama kemudian, aku merasakan sakit.
            “Sakit lagi ya?” tanyanya setelah melihatku merintih kesakitan.
Aku belum menjawab.
            “Sedikit ngebut ya? Nggakpapa, kan?” tanyanya lagi. Aku hanya mengangguk mengiyakan.
            Tak berangsur lama, kami pun sampai di pelataran rumah sakit. Perawat pun segera membawaku ke ruang IGD. Dengan cekatan, tim medis memberi pertolongan padaku. Sebelumnya, aku disuntik anestesi agar tidak merasakan sakit saat penanganan berlangsung. Kak Adrian tak ikut masuk ke dalam, karena memang prosedur rumah sakit yang tidak memperbolehkan orang luar ikut masuk dalam ruang penanganan. Di luar ruangan, ia  mengabari panitia yang masih di basecamp. Tak lupa,  ia juga mengabari keluargaku tentang kondisiku saat ini.
Kepalaku masih terasa pusing saat aku sadar. Mataku juga berkunang-kunang. Sekilas, aku mengamati keadaan sekitar. Ruangan ber-AC, dengan cairan infus yang bergantung di samping kanan, ditambah aroma khas obat.
            “Rumah sakit” gumamku pelan
            “Elma, udah sadar?”
Tubuh jenjang itu? Timbre suara saat menyapaku? Tidak salah lagi pasti.... Tapi, kenapa dia ada disini?
            “Woy, ngelamun aja, neng?” tanyanya membuyarkan lamunanku
            “Eh, iyaa kak”
            “Kata itu lagi, udah berapa kali coba kamu bilang gitu? Nggak ada kata lain selain iya kak?”
            “Stok terakhir, hehe” jawabku nyengir
            “Tadi orang tuamu udah aku hubungi, paling sejam lagi nyampe”
            “Iyaa kak, makasih”
            “Yah, itu lagi”
Aku hanya tersenyum menanggapinya
            “El, tadi dokter bilang kamu harus dioperasi, cangkok kulit, kamu tenang yaa, jangan takut”
            “Harus ya?”
            “Yaa, mau gimana lagi, kalo nggak gitu ntar nggak sembuh-sembuh”
Aku masih diam.
            “Tenang aja, nggakpapa kog, lagian itu cuma operasi ringan”
            “Kapan kak?”
            “Sejam lagi”
            “Secepat itu?”
            “Orang tuamu udah aku kabari, jadi tenang aja. Ada aku disini”
Aku pun diam tak merespon, entah apa yang ada dipikiranku. Semua masih terasa seperti mimpi. Tersesat, hampir terperosok dalam jurang, terbakar, rumah sakit, sekarang harus menjalani operasi?
“Kalo mereka belum datang gimana?” tanyaku memecahkan suasana
            “Kan ada aku, nggakpapa kog, anggap aja aku kakakmu. Anggap jadi pengganti orang tua. Kalo nunggu orang tuamu datang, nanti kasian kamu, nggak cepet ketolong”
            Entah ada magnet apa dalam ucapannya, aku tidak bisa menolak. Elma Kirania yang notabene keras kepala, dengan gampang bisa nurut dengan perkataan orang lain yang baru dikenalnya. Are you fine, Elma?
Satu jam kemudian, ada dua orang perawat yang menjemputku menuju ruang operasi. Perasaan yang tak karuan mengiringiku saat masuk dalam ruang operasi. Disana sudah ada beberapa dokter yang memakai pakaian serba hijau. Operasi segera dilakukan. Dokter-dokter mulai memasang alat-alat medis. Satu orang dokter menyuntikkan anestesi atau obat penenang pada bagian punggungku. Tak selang lama, aku sudah tak sadarkan diri.
Mataku perlahan terbuka. Mengamati keadaan sekitar. Harusnya aku ada di ruang operasi, akan tetapi? Aku mencoba memejamkan mataku lagi, barangkali tadi aku salah lihat. Aku membuka mata lagi, mengamati keadaaan sekitar, namun semua masih sama. Tak ada cairan infus yang menggantung ataupun aroma obat yang khas, yang ada hanya pohon-pohon yang menjulang tingggi dengan rerumputan di bawahnya. Kakiku. Aku mencoba mengamati. Tak ada bekas luka bakar atau bekas luka operasi. Yang ada hanya luka memar di tumit dengan kaki yang nyeri karena keseleo. Terasa sakit jika digerakkan.
Tubuh jenjang itu lagi. Apa aku tak salah lihat? Aku berusaha memastikan. Namun, aku tak salah. Itu benar benar Kak Adrian. Sosok yang menemaniku saat di rumah sakit.
            “Hey, udah sadar? Gimana masih sakit apa enggak?”
Aku hanya diam mengamati
            “Hey, Elma, kan?”
            “Eh, iyaa kak”
            “Tadi kamu jatuh dari atas jurang. Temenmu tadi mau nyelametin kamu, tapi nggak bisa,  katanya tadi pas mau nyelametin kamu, ada kabut tebal” katanya sambil membantu membangunkanku
            “Terus, sekarang mereka dimana?”
            “Karna mereka nggak tahu mau gimana, jadi dua temen cewekmu balik ke basecamp, ngasih tahu ke panitia, yaudah aku sama temenku kesini bantuin kamu. Temenmu yang cowok itu yang mantau kamu dari atas. Tapi, dia tadi turun duluan sama temenku, soalnya tadi kabutnya emang tebel banget, dia kedinginan.”
            “Ohhh”
Langit yang mulai gelap disertai kabut yang mucul kembali, kompak menciptakan hawa dingin. Kak Adrian memberi jaketnya padaku, ia mengalungkannya dari belakang. Adegan yang mirip dengan sinetron, mirip sekali. Bedanya, tidak ada adegan tatap-tatapan.
            “Biar nggak kedinginan”
            “Kakak?” tanyaku
            “Udah biasa sama hawa pegunungan”
            “Makasih kak”
            “Yoi. Eh, turun sekarang yuk, ntar kabutnya makin tebal, cuma ada senter satu ini, bahaya kalo nggak  cepet turun. Bisa jalan, kan?”
“Bisa-bisa” Aku pun mencoba berdiri, namun kakiku seolah memiliki pendirian lain.
            “Jangan dipaksa kalo nggak bia. Apa perlu aku gendong?” tanyanya
Sontak aku menolaknya
            “Yaudah, sini aku bantuin”
            “Kak, kita nanti sampenya pasti malem”
            “Aku tahu jalan yang deket, paling sejaman udah sampe”
            “Sejam?” tanyaku memastikan
            “Yap, aku mah udah hafal jalanan sini,udah bolak-balik ke sini.”
Aku pun berjalan sambil dibantu Kak Adrian.
            “Kamu bener Elma, kan?”
            “Iya kak”
            “Oh ya, belum kenalan ya? Namaku Adrian dari angkatan 22. Eh, tahu nggak? Tadi aku asal nebak namamu loh”
            “Kog bisa?”
            “Kamu kayak orang dimimpiku. Namanya Elma. Ngak tahu juga sih, kemaren tiba-tiba mimpi, aku lagi nemenin dia di rumah sakit. Eh, nggak tahunya tadi pas ngeliat kamu, ‘kog mirip sama yang dimimpiku ya?’ yaudah deh, aku asal nyebut nama. Eh, malah bener”
            “Jangan-jangan itu firasat kalo kakak bakal nolongin aku, hehe”
            “Maybe”
Dan percakapan ringan pun mengalir begitu saja. Senyumnya, gaya bicaranya, dan candanya sama seperti dalam mimpi. Bahkan aku masih hafal sorot matanya. Entahlah apa yang kurasakan kini. Pertemuan singkat dalam mimpi, dapat membuatku terbang setinggi ini.
            Semua kejadian saat diklat membuatku belajar banyak hal. Tentang kesabaran, kegigihan, kekompakan, serta pendewasaan. Proses singkat dalam kehidupan yang mampu mengubah pola pikirku pada alam. Dimensi yang ia ciptakan mampu menunjukkan betapa besarnya ia. Yang dalam selang beberapa detik saja, bisa merubah takdir seseorang.Q. S. Al-ankabut : 20 yang berbunyi “Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segalanya” mengajarkan kita bahwa takdir Tuhan itu nyata. Bahwa, seindah apapun rencana kita, akan jauh lebih indah rencana Tuhan untuk kita.

******

Aku tersenyum mengingat kejadian itu. Ucapan syukur tak henti-hentinya terucap atas dimensi takdir yang Dia ciptakan, sehingga  mampu mempertemukan aku dengan dia. Seseorang yang kini selalu menemani tiap langkah, bahkan tiap detikku. Pertemuan saat kecelakaan itu, berujung pada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Adrian Farras Aristianto. Akhirnya aku bisa mengucap namamu itu setelah sempat kelu untuk mengucapnya.


The end............

luluk ilma'nunah

Post a Comment for "Cerpen : Dimensi Takdir"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel