Cerpen : Ditimang Alun Asmara


Ditimang Alun Asmara


“Kriiiiinggggg…..” tersentak aku dari pulasnya tidurku. Ini sudah ketiga kalinya alarmku berbunyi. Tapi rasanya gravitasi bumi berubah menjadi lebih besar dan kuat ketika pagi hari. Ah, andai jam kerjaku bisa ku setting semampu aku bangun. Pasti aku tidak akan seberantakan ini ketika harus masuk kerja.
“Duh, hari ini ada presentasi lagi.”
“Bangun pagi lagi, nggak sarapan lagi. Bosen.”
Akhirnya, kukumpulkan tenagaku, kubuka mataku pelan-pelan, dan kulangkahkan kakiku perlahan. Akhirnya, aku sampai pada tujuanku. Kamar mandi yang selalu masih dalam keadaan seperti itu. Tempat sabun di pojok, handuk yang tergantung, shampo yang hampir habis, dan bebera baju yang tertinggal.
Aku bukan tipe wanita yang suka berlama-lama untuk menghabiskan waktu untuk mandi, berdandan, pergi ke salon, dan shopping sana sini untuk menghabiskan uang. Untuk bekerja saja aku perlu waktu yang cukup lama untuk mengumpulkan uang dari hasil kerja kerasku sendiri. Jerih payah dari butiran-butiran hasil peluh keringatku.
Setidaknya aku masih diberi kenikmatan oleh Tuhan berupa nikmat hidup dan umur panjang. Ibu dan ayahku selalu mengajariku untuk menghargai waktu dan uang. Apa arti kerja keras dan penghargaan dari setiap usaha yang telah kita lakukan. Bersyukur dan ikhlas dalam menjalani hidup.
Aku lahir di Wonosobo, 24 April 1992. Setelah aku lulus dari sekolah marketing. Ternyata Tuhan memberi jalan. Aku lalu mencoba melamar pekerjaan disebuah perusahaan di Jakarta atas ajakan salah seorang tetanggaku. Segala berkas sudah aku kirimkan secara online. Kemudian seminggu setelah aku mengiriminya, aku mendapat panggilaan untuk interview. Aku kemudian berpamitan kepada bapak ibuku untuk pergi ke Jakarta dan bekerja. Sebenarnya berat untuk meninggalkan mereka. Tapi aku sudah dewasa. Aku tidak boleh terus bergantung pada orang tuaku.
Ya. Aku memang seorang gadis yang tak suka neko-neko. Penampilankupun kubuat sesederhana mungkin. Meskipun aku kerja kantoran, tapi bosku tak pernah marah dengan rambut yang selalu aku ikat ekor kuda. Memakai celana jenjang, baju berkerah, sepatu tak ber-hak tinggi atau sesekali menggunakan blazer warna merah maroon atau hitam.
“Laptop siap. Berkas ada. File sudah, tinggal berangkat.”
“oh iya. Hari ini aku ada janji meeting dengan kolega bos. Bismillah..”
        Aku memang selalu memberi semangat kepada diriku sendiri. Karena aku di Jakarta tinggal sendiri disebuah kost kecil yang dekat dengan  pemukiman warga. Tak risih bagiku untuk melihat pemandangan anak-anak yang selalu bermain bola saat sore hari. Para pemulung yang mengemasi segala barang-barangnya karena hari mulai petang.
        Sudah hampir 1,5 tahun aku tidak pulang kerumah. Aku rindu dengan kedua orang tuaku. Begitu juga dengan adik laki-lakiku yang kini sudah duduk dibangku SMA. Sebentar lagi ia akan lulus. Ia pernah bercerita kepadaku bahwa ia ingin sekali melanjutkan kuliah. Ia ingin menjadi seorang dokter. Dan akupun begitu. Aku ingin adikku memiliki nasib yang lebih baik dariku dan kedua orang tuaku.
        “Pak, presentasi sudah selesai. Apa ada lagi yang bisa saya kerjakan?”
        “Tidak. Sudah cukup. Kamu bisa kembali ke ruanganmu. Oh, tapi bukannya hari ini kamu punya meeting dengan rekan bisnis saya?”
Aku termasuk orang yang beruntung. Dapat bekerja di perusahaan sebesar ini. Dengan rekan kerja yang dapat aku andalkan, dan tentunya bos yang baik sekali. Meskipun ia atasan dari banyak karyawan, akan tetapi sifat rendah hatinya yang selalu membuat para karyawan disini berlaku sopan terhadapnya. Ia masih muda. Dan ganteng.
“Tentu, Pak. Saya akan segera ke tempat yang sudah ditentukan sebelumnya setelah makan siang nanti”.
“Baik. Terimakasih.”
Seusai jam makan siang, aku lalu bergegas untuk meeting dengan rekan kerja bosku. Hampir 30 menit aku menunggu taxi. Tapi sejak aku berdiri hingga sekarang belum ada satupun yang berhenti untuk mengantarku. Aku hanya menggerutu dalam hati. Aku berdoa semoga aku tidak terlambat datang.
Tapi, tiba-tiba ada sebuah mobil berwarna putih dengan lambang H menghampiriku. Setelah dibuka kaca jendelanya, aku kaget. Dia adalah teman semasa SMA-ku dulu. Aku heran, dulu ia culun sekali. Kurus, kering, hitam dan pendiam. Tapi apa yang aku lihat didepan mataku saat itu adalah berbalik 180º. Rio yang dulu, kini tampak tampan. Keren dengan segala fasilitas yang ia punya. Penampilan boleh berubah. Tapi sifat, tetap seperti Rio yang dulu aku kenal.
“Rena, masih inget aku?”
“Em.. Siapa ya? Kayak nggak asing sama mukanya.”
“Aku Rio, teman SMA-mu dulu. Sok-sokan lupa. Dulu juga sering aku antar jemput kan. Yaaa, meskipun cuma pakai sepeda. Mau kemana?”
“Rio! Ya ampuuunn, ini kamu? Sekarang beda bangett sama yang dulu. Iya  nih, aku sekarang kerja. Ini lagi mau meeting. Dari tadi nunggu taxi nggak ada yang lewat. Pada mogok kerja apa ya.”
“Haha, mungkin emang udah jalannya kamu bareng sama aku. Yok, bareng sama aku aja. Udah lama juga kan kita nggak ketemu. Ngobrol sebentar apa salahnya?”
“Hehe, yaudah makasih yaa.”
Tanpa kami sadari, aku dan Rio, hanyut dalam pembicaraan didalam mobil. Rio bercerita banyak mengenai perubahan yang ada pada dirinya. Ia sekarang telah bekerja. Hasil dari modal yang dipinjamkan dari kedua orang tuanya. Kini rio tumbuh menjadi pria dewasa dengan bisnis dimana-mana sebagai owner  furniture kayu.
“Sekarang pacar kamu siapa Re?”
“Ha? Em, nggak ada kok. Sekarang aku lagi fokus kerja.”
Pertanyaan itu sontak membuatku kaget. 7 tahun yang lalu, Rio pernah menyatakan perasaanya kepadaku. Ketika itu aku sedang berada di bawah pohon dekat Laboratorium Biologi. Kemudia Rio dengan teman-temannya datang menghampiriku. Rio terkenal pendiam. Dan saat itu juga, bukan Rio yang berbicara. Melainkan temannya. Seorang temannya menyanyikan sebuah lagu.
“Akhirnya, kumenemukanmu. Saat raga ini mulai meraguu..”
Kemudian Rio dengan wajah memerah memberikan seikat bunganya kepadaku. Awalnya aku bingung. Ada apa ini sebenarnya. Oh ternyata Rio nembak aku. Tanpa pikir panjang, akhirnya aku terima bunga dari Rio. Ku balas dengan sebuah senyuman dan ucapan terimakasih. Kemudian, aku bergegas pergi.
        Ini sama saja dengan halnya aku menggantungkan perasaan Rio jika sampai 1 minggu kedepan, aku belum menjawabnya. Aku bingung. Rio sangat baik kepadaku. Setiap pagi ia menjemput dan mengantarku pulang dengan sepeda kesayangannya. Selalu membantu aku mengerjakan tugas atau PR yang aku tidak bisa. Ah, terlalu banyak pertimbangan. Aku suka, Rio pendiam. Tapi ia cerdas.
        Ini tepat terhitung 5 hari setelah Rio menyatakan perasaannya kepadaku. Setelah bel pulang sekolah, akhirnya aku dan temanku, Ria memberanikan diri dan mengumpulkan beberapa nyali untuk berbicara kepada Rio. Kutemui dia dibawah pohon itu.
        “Io, aku mau ngomogin soal…”
Belum selesai aku berbicara, Rio sudah menyelaknya. Seperti sudah tak sadar untuk mendengar aku berbicara.
“Soal apa Re?”
“Soal itu, yang kemarin kamu sama temen-temen kamu kesini nyamperin aku disini.”
“Em, iya. Gimana? Mau ngomong apa?”
“Kamu suka ya sama kau?”
“Em, menurut kamu gimana? Kalo aku kayak kemarin aku suka nggak sama kamu.”
“Ya nggak tau lah. Kamu gimana sih?”
“Em, Re. Kamu...”
“Iyaa, kenapa Io?”
“Kamu, kamu mau nggak jadi pacar aku?”
“Ha? Em, iya deh aku mau”
Semenjak itu lah aku dan Rio berpacaran. Setiap hari aku pergi ke sekolah dengannya. Sederhana, tapi aku suka. Biasa saja, tapi aku bahagia. Susah senang kami lalui bersama. Kerikil-kerikil yang kami jalani, waktu demi waktupun mengahantarkan kami pada sebuah batu besar.
Hari itu, Rio tak biasanya tidak datang menjemputku. Awalnya kukira ini hanya masalah waktu. Mungkin Rio terlambat. Atau agak kesiangan. Baiklah, kupikir daripada aku ikut terlambat, aku memutuskan untuk pergi ke sekolah sendiri dengan jalan kaki. Sekolahku tak begitu jauh dari rumah. Jadi tak masalah bagiku jika Rio lupa atau tak sempat menjemputku.
Setibanya di sekolah, aku segera naik ke lantai atas. Kelasku memang berada diatas dan terletak dipaling ujung dari deretan kelas 11. Jadi, kunaiki beberapa anak tangga itu. Setibanya aku sampai di kelas pertama dari tangga, kemudian aku berbelok dan melihat pemandangan aneh. Rio bersama Ria? Ah mungkin mereka ada urusan lain. Kuhampiri mereka seperti biasa, karena Ria adalah teman baikku. Dan Rio, adalah orang yang orang spesialku.
“Lho Io, tadi pagi kenapa nggak jemput aku?”
“Eh, maaf Re. tadi pagi aku kesiangan. Aku kira kamu udah berangkat duluan kan. Yaudah makanya aku dari rumah langsung berangkat ke sekolah aja. Nggak apa-apa kan?”
“Oalah, iya Io. Nggak apa-apa kok. Yaudah aku masuk kelas dulu ya Io, Ia.”
Tak ada yang aneh dari keduanya. Karena aku sebisa mungkin untuk selalu berperasangka baik kepada orang. Terutama kepada orang-orang terdekatku.
Setalah 4 mata pelajaran selelsai, bel istirahat berbunyi. Seperti biasa, sebelum pergi ke kantin, aku menghampiri Ria terlebih dahulu ke kelasnya karena kita beda kelas. Tapi setelah aku sampai ke kelas Ria, ia sedang tak berada di ruangan itu. Kutanyakan pada teman sekelasnya mengenai keberadaan Ria, ternyata Ria sudah pergi ke kantin terlebih dahulu.
Lagi. Lagi-lagi aku melihat Rio dengan Ria. Kali ini mereka berdua saja. Kenapa mereka terlihat begitu akrab? Bercanda semau mereka. Ah, sabar. Aku belum tau apa yang sebenarnya terjadi. Rasa laparku tiba-tiba begitu saja hilang. Kuputuskan untuk kembali ke kelas saja. aku sudah merasa tak enak hati.
Setelah pulang sekolah, perasaan tak enak mulai menyerbuku. Awalnya aku biasa saja. Kenapa sahabatku terlihat begitu dekat dengan kekasihku? Aku termenung dalam langkah kakiku ketika aku akan pulang ke rumah. Dan mataku tertuju pada satu titik.
Aku hanya mampu menggetarkan mata dan bibirku seraya bertanya dalam hati. Apa salahku? Seharusnya sebagai orang yang selalu ada untuk Rio, ia mampu mengerti bagaimana perasaanku. Tapi aku mencoba berlapang, dan menerima semuanya.
Kemarin, Rio baru saja menyatakan cintanya kepadaku. Dan hari ini, tanpa terhitung hari, Rio sudah tak sendiri lagi. Bukan denganku. Melainkan dengan sahabatku. Ria. Hari itu juga, kuputuskan untuk mengakhiri segalanya. Tak urung kupikirkan. Apa salahku pada Rio dan Ria. Tanpa ada alasan yang pasti, pada intinya, Rio sudah memilih Ria.
        Malam terus mengalir pelan. Sesampainya di rumah, aku sedikit tak habis pikir. Masih begitu kental ingatan mengani Rio di otakku. Sekedar menghilangkan rasa kesal yang mulai datang bercengkrama di hatiku, secara sadar dan tak sadarku, aku terfokus pada satu titik kecil. Semakin kutatapi, semakin pula titik itu tak jelas di mataku. Fikiran-fikiran yang tak pernah kusurati sebelumnya perlahan-lahan berbondong ke jantung hati yang tak pernah enggan untuk berdetak.
        Di pesisir pantai. Deburan-deburan ombak perlahan terus menciumi pasir pantai. Hembusan angin yang ditiupkan oleh bentang samudra terasa jelas menyapa tubuhku. Semua itu bagaikan hembusan nafasku. Masuk melalui hidung lalu ke kerongkongan dan sejenak bersemayam di rongga perutku. Lalu udara itu kembali terdorong kembali ke kerongkongan dan terhembus melalui mulutku. Begitulah seterusnya. Tersenyum menyadari semua kenikmatan yang menjelma menjadi keindahan, tiba-tiba terhenti ketika semua ini terjadi.
        Aku sadar, aku yang salah karena tak mampu mengambil kesimpulan perjalanan asmara hidupku ini. Beban di pundakku terasa berat untuk dilepaskan. Jika Rio berpaling dariku, apakah dia masih dapat dikatakan manusia. Tapi jika aku tak meninggalkan sifatnya, apakah aku akan dapat menjadi manusia. Tanpa kusadari, kelopak mataku seketika basah. Air mata yang mungkin atas nama kekecewaan mengalir berderai deras ke pipiku. Satu persatu butiran-butiran air mata itu menetes jatuh ke bumi.
        Sekarang semuanya kuserahkan padaNYA. Jika memang cinta itu suatu rahmat, maka Tuhan tak akan salahkan siapa-siapa. Tapi jika cinta itu suatu cobaan, maka luputlah aku jadi seorang insan. Dan apabila memang jodoh itu di tangan Tuhan, maka Ia akan mempertemukanku kembali dengannya. Rio. Meskipun itu dengan tampang rupa yang berbeda. Aku percaya, bahwa kuasa Tuhan tak ada tandingannya.

meicelly sabrina

Post a Comment for "Cerpen : Ditimang Alun Asmara"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel