Cerpen : Persembunyian Membawa Petaka
Persembunyian Membawa Petaka
Kala
itu, Aku yang sedang duduk di bangku taman kanak - kanak, sedang mengamati
lingkungan sekolahku. Matahari tampak tertutup awan pekat, sehingga sinarnya
tidak dapat menyinari tanaman cantik disekitarku. Aku sempat merasa takut,
karena hembusan angin yang kencang membawa dedaunan kering dan debu
berterbangan disekitarku. Dalam benakku aku bertanya - tanya, Apakah ini yang
dinamakan kiamat?. Tapi pemikiran itu terlepas sirna ketika sebuah lonceng
berbunyi tiga kali “teng...teng....teng...” yang memberi peringatan bahwa aku
harus segera masuk ke dalam kelas. Waktu demi waktu berlalu, matahari pun sudah
mulai menampakkan sinarnya lagi. Jam dinding yang berada di belakangku
menunjukan waktu tepat pukul 10.00. Aku yang sudah mulai bosan, segera
membereskan buku - buku dan alat tulis yang kemudian aku masukkan ke dalam tas.
Aku sudah menunggu bunyi lonceng sebanyak empat kali, dan akhirnya
“teng...teng....teng...teng”. Ibu guru segera menyiapkan para muridnya untuk
berdoa sebelum pulang. Selesai berdoa, Aku segera berlari kencang keluar kelas
dan mencari ibuku. Tapi, apa daya Ibuku belum datang untuk menjemputku. Aku
berjalan ke arah ayunan dengan rasa kecewa, untuk bermain sejenak. Beberapa
detik kemudian terdengar suara lantang memanggilku “may...!!!” itu adalah
silvia teman gendut dan lucu yang ada di kelasku. Tidak terasa sudah 10 menit
aku bermain dengan mereka, tatapanku tertuju pada pintu gerbang sekolah.
Terdapat suara lembut nan manis memanggilku, ya ternyata itu ibuku. Ibuku
seorang wanita 28 tahun dengan senyum manis diwajahnya. Ibuku dengan kerudung
abu - abu menghampiriku dengan senyum manisnya dan berkata “ayo kita pulang”,
ku balas kata tersebut dengan senyuman lebar. Saat kami berjalan, aku sempat
menyampaikan bahwa aku saat ini tidak ingin pulang, tapi ibuku hanya terdiam.
Aku sangat kecewa dan berusaha mencari alasan yang dapat meluluhkan hati ibuku.
Akhirnya aku mendapat satu alasan yang pastinya itu dapat meluluhkan hati
ibuku. Dalam keheningan aku berkata “ibu aku ingin sebuah kaos kaki”, lalu
tatapan ibuku menuju ke bawah untuk melihat kaos kaki ku. Ketika ibuku sedang
melihat kaos kaki ku, aku berkata kembali “kaos kaki ku warnanya sudah tidak
bagus lagi, sekalian nanti beli pensil warna”. Terlontar suara halus yang
membuatku kaget, ternyata ibuku menyetujui kehendakku. Dengan hati gembira aku
berlompat - lompat kegirangan, seraya menyanyikan lagu yang mewakili perasaanku
saat itu. Jarak antara sekolah dengan tempat perbelanjaan cukup dekqt, hanya
membutuhkan waktu 5 menit saja.
Sampailah
aku di pusat perbelanjaan. Aku mulai masuk pada pintu pertama, angin dan suhu
dingin karena AIr Conditioner membuatku berangan - angan ingin memiliki
bangunan tersebut beserta isinya. Dalam penglihatanku, seperti aku menemukan
jalan khusus yang harus aku lewati. Ku telusuri dan ku ikuti jalan khusus
sesuai mata hatiku. Ibuku selalu mengikuti kemanapun kakiku melangkah. Pada
akhirnya jalan khusus itu membawaku pada tempat yang pastinya semua anak
seumurunku tertarik dan betah, yakni TIME ZONE. Dengan uang jajan yang masih
tersisa, aku segera pergi membeli koin, tapi uang yang tersisa hanya bisa
mendapatkan 3 koin yang hanya cukup bermain pada 3 permainan saja. Dengan muka
sedikit kecewa, salah seorang pegawai loket merasa kasihan padaku, dan aku
diberi 30 koin secara cuma - cuma. Ibukku yang duduk di arena time zone terus
mengamatiku. Dengan 33 koin, aku mencoba satu per satu permainan yang ada. Pada
penghabisan koin ke 25, aku mulai merasa lelah dan aku kembali menghampiri
ibukku. Ibukku yang ternyata merasa bosan, mencoba bermain dengan sisa koin
yang ada ditanganku. Setelah kami berdua merasa lelah dan lapar, kami pergi
dari time zone dan segera peegi menuju food court. Disana aku makan nasi goreng
yang membuat perutku mules setelah memakannya. Tapi, rasa sakit itu hilang
setelah aku makan nasi goreng itu sudah habis kumakan. Aku sempat berpikir,
obat perut mukes adalah makanlah yang banyak. Akhirnya energi dalam tubuhku
kembali terisi. Ibu mengajakku untuk membeli aksesoris rambut, tempat itu
terasa seperti taman yang dapat aku ambil semua barangnya. Barang itu seakan
berbicara padaku supaya aku dapat membelinya. Dengan kata - kata rayuan barang
itu yang akhirnya menjebakku untuk membelinya. Setelah itu kami beranjak pergi
dan melakukan tujuan utama, yaitu membeli kaos kaki. Disaat ibukku sedang
memilih kaos kaki yang cocok, aku bermain petak umpet supaya ibuku mencariku.
Aku berlali menuju tembok di seblah tangga, yang menurutku itu tempat yang aman
untuk bersembunyi. Sesekali aku mencoba mengintip ibukku yang sibuk memilih
kaos kaki. Aku pun mulai bosan karena ibukku tak kunjung menemukanku. Akhirnya,
aku mencoba mengintip kembali. Mataku pun mulai tercengang karena ibukku sudah
tidak ada di tempat tersebut.segera aku beranjak dari tempat persembunyianku.
Aku mulai bingung, aku menghampiri semua tempat di area kaos kaki tersebut.
Menit demi menit pun berlalu, aku tak kunjung menemukan ibuku. Keringat mulai
bercucuran dan menetes, aku mulai merasa ketakutan. Lelah pun sudah dirasakan pada
tubuhku. Aku duduk di salah satu anak tangga, air mata mulai menetes dan
bercucuran. Aku lalu pergi ke kamar mandi. Tubuhku merasa ingin mandi dan
akhirnya mandi. Setelah mandi aku melanjutkan pencarian. Tidak terasa waktu itu
aku sempat tertidur di sebuah kursi dekat meja tumpukan pakaian. Kemudian ada
seseorang yang merasa kasihan padaku, aku sempat berpikir untuk ikut pulang ke
rumahnya.
Setelah
berpikir panjang, tiba-tiba suara halus yang sering aku dengar kembali berada
di telingaku. Aku merasa bahwa itu adalah ibuku, hatiku mulai sedikit senang
mendengar suara itu. Dengan cepat aku langsung menolehkan kepalaku ke belakang.
Dan ternyata itu benar ibuku yang sedang membawa sekantong plastik berwarna
putih. Aku lari memghampirinya. Perasaan haru, marah, dan senang bercampur
aduk. Kami bergegas pulang ke rumah. Setelah sampai di rumah ibuku bercerita
bahwa dia sebenarnya hanya bercanda. Jadi selama aku mencarinya, ibukku selalu
dibelakangku dan membuntutiku. Dalam hati aku merasa kesal dan marah. Tetapi,
aku sadar bahwa kejadian ini aku yang bersalah. Aku yang memulai duluan untuk
bersembunyi. Akhirnya aku memeluk ibukku dan meminta maaf atas perlakuanku.
maylia restu
Post a Comment for "Cerpen : Persembunyian Membawa Petaka"
Post a Comment