Cerpen : Terlanjur Dingin
Terlanjur Dingin
Ia kembali terduduk di atas ranjangnya. Suara yang sudah menjadi
‘makanan pokok’ gadis berusia 14 tahun itu mungkin terdengar sampai rumah
tetangganya. Bagaimana tidak, ayah dan ibunya selalu beragumentasi tentang
siapa yang salah dan siapa yang benar. Tak memperdulikan kedua anaknya yang
sedari tadi mendengarkan dan merekam kata demi kata kasar di dalam ingatan
mereka.
Rani adalah anak yang sangat periang dan semua temannya tau itu.
Disekolah ia tidak pernah menunjukan wajah tak ceria. Gadis yang pandai bergaul
ini juga selalu mendapat peringkat satu parallel di sekolahnya. Akhir-akhir
ini, kedua orangtua Rani tidak akur. Selalu berbeda pendapat, dan mirisnya ia
selalu menjadi mediator ayah ibunya tentang siapa yang menafkahi Rani dan Kintan
kakaknya.
Tak ada yang tau. Dibalik keceriaannya, ada sakit yang harus
disembunyikan. Ada lara yang harus ditanggungnya sendirian.
***
“Ran, kakak pergi dulu ya” “Iya kakin. Hati-hati ya.” Jawab Rani sambil
mengantar kakak satu-satunya keluar rumah menuju mobil Jazz warna merah
itu.”Hai Kak Dhino.” Tangan mungil Rani melambai kea rah Dhino, dibalas dengan
senyum ramah Dhino. Dalam sekejap, mobilnya sudah lenyap dari hadapan Rani.
Wanita –yang mempunyai panggilan akrab Kakin- yang
terpaut 10 tahun dari Rani memang sudah lama berpacaran dengan Dhino,
teman kuliahnya dengan jurusan yang sama yaitu DKV (Desain Komunikasi Visual).
Pantas saja Kintan pergi dengan Dhino. Malam ini adalah malam minggu. Mungkin
sudah menjadi rutinitas mereka berdua, Candle Light Dinnerdi
rooftop salah satu apartement di kota ini. Dhino sudah mempersiapkan semuanya,
mulai dari booking tempat sampai apa saja yang dipesan. Dhino hafal
detail-detail makanan yang disukai Kintan. Mereka sudah berencana akan
bertunangan 3 bulan lagi.
“Makan roti lagi, Pa?” Tanya Rani kepada ayahnya ketika ia mulai bosan melihat
roti diatas meja makan beberapa malam terakhir. Ini semua karena ibunya yang
selalu pulang malam yang entah pergi kemana, tak pernah jelas. “Sabar ya, Nak.
Sampai pagi kita kelaparan juga ibumu tidak akan pulang.” Jawabnya sinis.
Ayahnya sudah geram karena tingkah ibunya yang semakin hari semakin kejam.
Rani kembali ke kamar tanpa berkata apapun. Ia memandangi foto keluarganya 3
tahun lalu. Lengkap. Ceria. Dan penuh kasih sayang. Namun waktu berlalu,
merubah kehangatan keluarga itu. Tanpa disadari, airmatanya membasahi kaca
figura potret kemesraan mereka. Rani tampak pasrah tak bertenaga. Hari hari
yang berlalu tidak seperti dulu.
Keluarganya dulu tenang tak bermasalah dan selalu harmonis. Tapi semua berubah
saat ayahnya turun pangkat dari kantor. Ibunya mendadak down karena
perubahan ekonomi keluarga yang kian menurun. Ibunya lebih sering keluar
daripada di rumah.
***
“Darimana saja kamu semalam? Istri kurang ajar. Apa kamu tidak memikirkan anak
anak mu? Mereka tidak makan tadi malam. Aku sudah bersusah payah bekerja, tapi
kamu menghambur-hamburkan uang dengan cara tidak jelas seperti itu.”
Bentakan ayahnya seolah menjadi alarm Rani untuk bangun pagi. “Hmmmm, berantem
lagi. Sudah kuduga akan seperti ini.” Ia bergumam selagi membereskan kasur dan
menuju kamar mandi.
Setengah jam kemudian, Rani menuruni tangga kebawah menuju meja makan. Masih
sama. “Eheemmmmmmm” Rani memecah suasana tegang. Kedua orangtuanya yang saling
caci maki berubah seolah tak ada yang terjadi. Tapi semua itu drama. Palsu.
“Aku muak dengan semua ini. Sudahlah. Masih beruntung aku tidak depresi karena
kalian.” Digebraknya meja sambil keluar rumah, tanpa berkata apapun ia
berangkat kesekolah. Kejadian seperti ini membuat Rani tidak fokus mengikuti
pelajaran.
Rani menjadi anak pemurung dan gampang tersulut emosi. Bahkan guru matematika
Rani –Pak Arga- pernah memergokinya melamun saat pelajaran berlangsung. Rani
sudah berubah, tidak seperti Rani yang dulu.
***
“Anak bapak mengalami penurunan drastis sebulan belakangan. Ada masalah apa
sebenarnya, Pak?” Ayah Rani diam membisu mendengar kata guru wali kelas Rani.
Ia tak mempercayainya, sekaligus merasa bersalah. Ini semua disebabkan kedua
orang tuanya sendiri. Yang hampir setiap hari selalu bertengkar, tak pernah ada
ujungnya.
Ayah Rani pulang kerumah dengan sejuta perasaan. Ia tak menyangka, Rani benar-benar
depresi. Rani lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Matanya selalu sembab,
rambutnya acak acakan, dan terlihat lebih kurus. Melihat hal ini Kintan selalu
memaksa Rani untuk membuka pintu kamarnya. Namun hasilnya nihil, Rani tak mau
membuka pintunya untuk siapapun. Bahkan Kintan. Kintan mencurahkan semua ini
kepada Ibunya. Ibunya cuek, mendengarkannya pun seolah Rani bukan
siapa-siapanya. Miris.
***
Usaha Kintan akhirnya membuahkan hasil. Hari ini Rani berangkat sekolah.
Pemandangan yang jarang terjadi pagi ini. Ayah, ibu, serta Kintan dan Rani
duduk bersama di ruang makan. Tapi tetap saja berbeda. Ibunya yang sibuk
mengoleskan bedak tabur kewajahnya. Sementara ayahnya fokus membaca koran.
Hening, tidak ada percakapan antara mereka berempat. Rani mengoleskan selai
coklat ke roti tawarnya. Yang setawar kehidupannya belakangan ini. Tawar.
Kintan memandangi Rani. “Ran, mau ku antar nggak?” “Nggak usah, Kakin. Aku bisa
berangkat sendiri.”
Jam 12 tepat, bel sekolah Rani berbunyi. Menunjukan pelajaran hari ini telah
usai. Ia langsung cepat-cepat pulang. Rani sekarang jarang bermain dengan
temannya. Karena hobi barunya ; mengurung diri dikamar.
Rani menyusuri jalan setapak menuju rumahnya. Sesampainya di ujung gang, ia
melihat Ibunya diantar pulang oleh lelaki yang menaiki mobil Jazz merah. Dan,
ya, lelaki itu adalah Dhino yang tak lain adalah pacar Kintan. Setelah turun
dari mobil, Dhino mengecup hangat Ibu pacarnya sendiri. “Lelaki brengsek!” Kata
Rani dalam hati.
Rani berlari menuju kamar Kintan. Ia baru akan bercerita, namun Kintan sudah
menangis sambil berteriak-teriak. Kintan sudah mengerti semuanya. Dhino yang
selama ini disayanginya, bermain api dibelakang Kintan. Parahnya lagi, Dhino selingkuh
dengan Ibu pacarnya sendiri. Bayangkan bagaimana hancurnya hati Kintan. Rani
memeluk kakaknya erat-erat, sambil menangis juga. Mereka berdua sama sekali
tidak menduga semua ini terjadi. Dhino yang berjanji akan secepatnya
bertunangan, semua harapan Kintan sudah hancur. Serpihan hatinya bererakan
dimana-mana. Seolah ototnya sedang dilucuti. Bibirnya beku.
Rani tidak kuat dengan semua ini. Ia menuju kamarnya, lalu menutup pintu.
Ia berpikir mengapa hidupnya tak seberuntung ini. Hidupnya rumit, tak ada
secuil kebahagian keluarga yang ia dapatkan. Dilihatnya tali di meja
belajarnya. Semua rasa sudah tidak terbendung lagi. Ia menulis semua uneg
unegnya disebuah kertas sambil membiarkan airmata nya berjatuhan ke atas
kertas. Sayangnya iblis telah menggoda hati Rani. Dengan sekuat tenaga ia
menali lehernya diatas dinding kamar. Menggantung seluruh harapannya di dunia.
Badannya sudah terlanjur dingin.
***
Penyesalan sudah tak ada artinya lagi saat pagi itu Ayah, Ibu dan Kakaknya menemukan
Rani yang sudah tak bernyawa tergantung dengan tali di lehernya, meninggalkan
sepucuk surat diatas ranjang kusutnya. Semua itu sudah terjadi. Secepat itu,
sepahit itu.
nadia nisya
Post a Comment for "Cerpen : Terlanjur Dingin"
Post a Comment