Cerpen : Between 0.01 % and 99.99 %


Between 0.01 % and 99.99 %

Siang yang cerah, seorang gadis terduduk diam di lantai dingin kamarnya dengan kedua lutut yang ditekuk dan kedua tangan berada di kedua sisi lututnya. Tatapan kosongnya tak sejalan dengan apa yang berada di benaknya sekarang. Mata indahnya telah terhiasi oleh selimut bening air mata yang sebagian sudah membasahi kedua pipi tirusnya. Pikirannya berkecamuk menerka – nerka bayangan yang saat ini telah berputar di kepalanya bagaikan cuplikan film dokumenter.
            Perlahan matanya mulai menatap ke arah kalender meja yang sudah ditandai dengan lingkaran pena bewarna biru di atas meja belajarnya. Dengan segenap tenaga ia berjalan dengan kedua kaki jenjangnya ke arah meja belajar. Jalannya tertatih kesakitan, dress yang semula tampak cantik  di tubuhnya telah berubah menjadi lusuh. Kedua sepatu bak putri kerajaan di kedua kakinya sekarang telah terlepas entah dimana. Kedua tangannya menggapai benda berbentuk segitiga yang sebelumnya telah ia amati. Bibirnya mulai terangkat membentuk sebuah senyuman tapi bukanlah senyum kebahagiaan yang terpancar melainkan senyum penuh kesedihan. Air matanya kembali menetes mengalir di kedua pipi gadis itu. Sudah tidak ada lagi alasan untuk hidup batinnya berada di puncak dari segalannya.
            “Mama...” rintihnya menolehkan kepala ke arah foto yang menampakkan sebuah keluarga kecil bahagia dengan senyum mereka.
            Refleks kemarahan muncul di wajah gadis itu. Kedua tangannya melempar apapun yang berada di sekitarnya sembari bibir tipisnya menjerit. Kepingan – kepingan memori berputar cepat di kepalanya membuat amarahnya semakin memuncak. Bahkan sekarang tidak ada yang peduli kepadanya, masa depannya sudah hancur dalam sekejap bagaikan pecahan kaca yang tersapu hilang entah kemana.
            Seorang wanita separuh baya yang sedang melakukan pekerjaannya sehari – hari terkaget mendengar jeritan nonanya. Wanita itu berlari tergopoh – gopoh menaiki tangga lantai rumah besar yang tak lain adalah rumah yang di tempati gadis itu. Pikirannya sudah tak karuan memikirkan keadaan sang nona yang sudah sejak kecil bersamanya itu.
“Non...” panggilnya dengan tangan kanan yang mengetok pintu kamar sang majikan. Raut wajah khawatir tercetak jelas bersama dengan kerutan di wajahnya. Suara jeritan terdengar kembali diiringi suara pecahan kaca di dalam sana. Tangan wanita paruh baya itu beralih ke kenop pintu berusaha untuk membuka pintu yang bewarna putih untuh itu tapi nihil. Pintu itu sudah terkunci dari dalam kamar sang  nona.
“Non Keira..” panggilnya lagi dengan hal yang sama.
“Tolong jangan seperti ini non, ada bibi, ada papa non Keira yang menyayangi non Keira,...”
Keira yang mendengar itu tidak menggubrisnya, hingga terdengar lagi suara pecahan dan jatuhnya benda – benda yang berada di kamar Keira. Bibi tua itu berlari ke arah telepon rumah di lantai bawah. Kedua tangannya dengan lincah memencet kombinasi tombol yang sudah sangat ia hafal. Ia sudah tidak peduli lagi apakah tuannya sedang sibuk atau tidak karena pikirannya hanya tertuju pada satu yaitu Keira yang sedang dalam keadaan bahaya.
“Halo Tuan,” katanya setelah panggilannya tersambung.
“Iya bi Siti, ada apa ?”
“Itu tuan... non Keira,” katanya terbata – bata ketakutan.
“Kenapa Keira bi ?” tanya tuannya panik.
“Kamarnya terkunci, ada suara jeritan dan pecahan barang tuan....”
“15 menit lagi saya sampai, sekarang cari bantuan ke tetangga sebelah atau ke siapa, saya mohon bantuannya bi,”
“Baik tuan,” kata wanita paruh baya yang bernama Siti mengakhiri panggilannya dan berlari menuju ke arah pintu keluar berharap ada seseorang yang bisa ia mintai bantuan.
Langkah kakinya menuju ke arah rumah besar yang sama besar dengan rumah sang tuan. Tubuh gempal yang ia miliki tak menghalangi tekadnya hingga ia sampai di rumah bercat abu – abu dengan pagar hitam yang menjulang tinggi. Tangannya bergerak membunyikan bel yang menempel di tembok samping pagar sambil mulutnya berteriak permisi karena mustahil jika dia tidak berteriak di rumah sebesar ini.
“Permisi !!!”
“Permisi !!” teriaknya lagi hingga seorang laki – laki muda yang kira – kira seumuran dengan nonanya keluar mengenakan pakaian casual cocok dengan umurnya. Wajahnya tampan hingga membuat wanita yang melihatnya melelh akan ketampanan bak dewa yunani itu.
“Iya ada apa ?” tanya laki – laki itu mencoba tersenyum setelah membuka pintu pagar dan berhadapan langsung dengan bi Siti yang terlihat lelah. Wajahnya terlihat asing bagi bi Siti karena selama ini dia tidak pernah melihat tetangganya ini.
“Bisakan anda membantu saya ?” tanya bi Siti penuh harap.
“kalau boleh saya tahu membantu apa ?” tanya laki – laki itu sopan seperti yang diajarkan ayah dan bundanya.
“Tolong saya,..”
“Baiklah, dimana ?” tanya laki – laki itu kembali.
“Ikut saya,..” kata bi Siti berlari tergopoh – gopoh menuju rumah tuannya membuat laki – laki itu kebingungan.
Laki – laki itu terus mengikuti langkah cepat wanita paruh baya di depannya itu. Sebenarnya dia sudah jet lag dari perjalanan jauh yang sudah ia tempuh. Tapi melihat wanita paruh baya dengan wajah ketakutan itu membuatnya luluh dan dengan cepat ia mengikuti wanita tersebut memasuki rumah putih besar yang berada tepat di samping rumah orang tuanya.
Ketika memasuki rumah itu langsung terdengar jeritan dan suara orang menangis semakin keras terdengar seiring langkah kakinya yang menaiki tangga satu – persatu. Bi Siti terus menelusuri lantai atas rumah itu diikuti dengan sorang laki – laki tadi hingga sampai di depan sebuah pintu bercat putih.
“Non, tolong buka pintunya non,” kata bi Siti sambil mengetok – ngetok pintu kamar yang tak kunjung terbuka.
Laki – laki itu tahu apa yang dimaksud oleh wanita paruh baya di sampingnya. Salah satu tangannya refleks ikut mengetok pintu putih itu takut terjadi apa – apa.
“Siapapun anda tolong buka pintunya,” kata laki – laki itu.
“Aaaa !!” terdengar jeritan sekali lagi dan seketika suara jeritan dan tangisan telah lenyap.
“Tolong dobrak pintu ini,” kata bi Siti diangguki oleh laki – laki itu.
Laki – laki itu mengambil ancang – ancang untuk melakukan dorongan keras agar pintu itu bisa terbuka. Mulutnya berucap satu...dua...tiga, tubuh atletis yang ia miliki dengan sekali dorongan berhasil membuka pintu putih kamar gadis yang dipanggil dengan sebuatn ‘non’ oleh wanita paruh baya itu.
Kepanikan melanda bi Siti melihat nonanya sudah tergeletak tak sadarkan diri di lantai yang berserakan barang – barang. Laki – laki itu merasa kebingungan akan semuanya yang telah ia lihat sekarang. Langkah kakinya menghampiri seorang gadis yang berwajah pucat dan rambut berantakan tergeletak di lantai. Ia mendudukkan tubuhnya dan mengangkat tubuh ringan gadis itu dengan hati – hati ke atas ranjang sang gadis yang bewarna soft blue. Sedangkan wanita paruh baya bertubuh gempal yang tak ia ketahu namanya sudah berlari menelpon dokter pribadi untuk memeriksan keadaan nonanya.
Laki – laki berwajah tampan itu mengamati seorang gadis dengan mata yang terpejam. Wajahnya cantiknya yang pucat, dress anggunnya yang telah berubah, rambut indahnya yang juga berantakan dan kakinya yang terlihat membengkak. Semua menimbulkan tanda tanya baginya. Wajah gadis itu seperti tidak asing lagi baginya saat ini tapi ingatanya tetap saja tak bisa mengingat apa – apa.
Bi Siti berjalan masih dengan raut panik di wajahnya menyadarkan lamunan laki – laki yang berdiri di samping ranjang gadis itu.
“Terimakasih den....” kata wanita paruh baya itu terhenti karena tak tahu siapa nama laki – laki muda yang sudah menolong Keira.
“Milano, panggil saja Lano,” kata Milano tersenyum.
“Terimakasih den Milano sudah menolong non Keira,” kata bi Siti.
“Namanya Keira ?” tanya milano kembali.
Bi Siti mengangguk mengiyakan, “Sepertinya anda orang baru disini,”
“Iya bi, saya baru saja pulang dari luar negeri karena disuruh bunda pulang,”
“Jadi anda anaknya tetangga baru itu ?” laki – laki itu mengangguk menanggapi bi Siti.
“Kalau begitu saya permisi,”
“sekali lagi terimakasih, mari saya antar,” ucap sang bibi melangkahkan kakinya keluar diikuti oleh laki laki yang bernama Milano sebelum ekor matanya melihat Keira sekali lagi.
Seorang gadis duduk menatap pantulan dirinya di cermin. Wajah cantiknya yang terlapisi make up natural sesuai remaja seusianya terpantul sempurna bak putri kerajaan. Rambutnya ditata rapi terhiasi flower crown senada dengan baju yang sudah kerap kali ia kenakan. Bibirnya tersenyum lebar mengetahui besok adalah hari yang paling spesial dalam hidupnya. Impian yang selama ini berada di benaknya akan mencapai puncaknya malam ini. Vienna, tempat kelahiran sang musisi ternama itu mungkin akan menjadi saksi bisu perjuangan Keira selama ini. Ia berharap hidupnya akan seperti Mozart dan Bethoven yang meniti karier-nya dari kota yang terkenal akan seribu keindahan ini. Bukan pianis atau sebagai musisi lainnya, tapi impiannya adalah Ballerina, hidupnya dan impiannya.
“Keira !!” seru seseorang perempuan bertubuh tinggi semampai dengan rambut ikal bewarna pirangnya dan kedua tangan yang menggenggam sebuah buku.
Keira menoleh ke arah perempuan yang memanggil namanya itu dan tersenyum mengerti apa yang ingin disampaikan oleh perempuan itu.
“It’s show time Keira,”
“Okay Keyle,”
Sebelum beranjak Keira menarik nafas panjang seraya menetralkan degupan jantungnya yang kian memburu. Tangan kanannya terulur menyentuh kalung yang menggantung indah di leher jenjangnya seperti jimat yang ia percayai sebagai keberuntungan peninggalan mamanya.
“mama..” kata terakhir yang diucapkan Keira sebelum ia melangkahkan kakinya menuju panggung penghubung impiannya.
Keira mengarahkan pandangannya ke semua audience yang raut wajahnya terlihat sangat menantikan konser besar Ballerina tahun ini. Matanya berbinar melihat salah satu bangku audience paling depan yang menampakkan seorang pria paruh baya dengan sedikit kerutan di wajah pria itu tapi tak mengurangi sekalipun ketampanannya. Pria paruh baya itu menggerakkan mulutnya membentuk rangkain huruf yang membentuk kata ‘semangat’ yang tidak lain ditujukan untuknya seiring dengan instrument musik pengiring tariannya dimulai.
Para Ballerina yang berjajar sejajar horizontal itu mulai berpencar diikuti oleh beberapa Ballerino bagaikan kupu – kupu yang mengepakkan sayap indahnya. Lompatan – demi lompatan terlampaui anggunnya membentuk sebuah rangkaian gerakan lincah lembut. Cerita itu seakan telah sampai di hati para audience sejak gerakan pertama yang dilakukan oleh para Ballerina maupun Ballerino. Dari teknik virtuoso seperti pointe work, grand pas de deux dan mengangkat kaki tinggi dilakukanya dengan sempurna. Seperti konser Ana pavlova yang begitu menakjubkan membekas di hati yang menontonnya.
Lampu sorot panggung tunggal mulai menyala mengiringi penampilan solo salah seorang Ballerina yang digadang sebagai murid terbaik di salah satu academy Ballerina yang terkenal di Indonesia. Untuk sekarang Ballerina inilah yang menjadi pusat perhatian dengan gaya indahnya. Keira melangkah dengan percaya diri menampilkan repertoar snowflakes yang pernah dibawakan Ana pavlova ketika konser di Indonesia. Dia memejamkan mata seraya menikmati instrument yang terus mengalir melalui indra pendengarannya hingga matanya terbuka menyorotkan kelembutan dan satu gerakan dia melakukan high extention. Setelah itu kakinya dengan lincah melompat tinggi dan mendarat tapi semuanya berubah menjadi gelap di pelupuk mata Keira setelah sengatan terjadi di bagian kakinya.
Gadis itu terbangun dari pingsannya yang berkepanjangan dengan napas terengah – engah dan keringat yang mengucur di sekujur tubuhnya. Dress yang tadi ia pakai sudah berganti dengan baju santai yang terlihat cocok ia kenakan. Rambutnya juga sudah tidak seberantakan sebelum ia tak sadarkan diri. Mimpi itu, kejadian itu kembali terulang dan terngiang di kepalanya. Ia berusaha untuk bangun dan berjalan ke arah balkon kamarnya yang berada di lantai atas yang terbatasi oleh jendela kaca antara kamar dan balkonnya.
Mata Keira menyipit melihat seorang laki – laki yang seumuran dengannya berada di balkon kamar rumah tetangganya melambaikan kedua tangan dengan pandangan mata tertuju ke arah keira. Kerutan di dahi gadis itu mulai muncul tapi raganya tetap membuka pintu jendela balkon kamarnya dan keluar untuk melihat laki – laki yang bisa dikategorikan tampan itu.
“Keira !” seru milano menunjukkan deretan gigi putihnya. Senyumannya mampu melelehkan hati para wanita tapi Keira ? gadis itu malahan menatapnya bingung.
“Gue cuma mau bilang kalau di dunia tidak ada yang tidak mungkin, Jika lo gagal dalam meraih impian lo, Percaya sama gue ada rencana indah dibalik semua kegagalan lo, karena 0.01 % kemungkinan akan berubah jadi 99.99 % asal lo mau bangkit dan berusaha, jangan lupa berdoa dan tetap semangat, !!” teriak laki – laki itu dengan perkataan dan senyumnya yang menawan.
Sedangkan kerutan di dahi Keira perlahan hilang bersamaan dengan luncuran kata yang telah dilontarkan oleh laki – laki yang ada di hadapannya. Kata – kata itu bagaikan suatu cahaya yang membuat semua penat di kepalanya menghilang entah kenapa. Keira melihat mantap ke arah laki – laki itu yang masih dengan senyumnya.
“Kenalin nama gue milano,” ucap laki – laki itu lagi membuat sudut bibir Keira terangkat dan membuat senyuman yang dulu kembali merekah menghiasi wajahnya.
Di sebuah cafe bernuansa vintage yang menjadi langganan bagi para remaja itu duduk seorang laki – laki dengan baju putih polos dan celana jeanse hitam dengan sepatu yang senada dengan kaosnya ditemani oleh sebuah novel yang terbuka menampakkan halaman yang ia baca. Bibirnya terangkat membentuk sebuah senyum menawan tapi matanya tertuju pada novel yang ia baca hingga tak salah jika beberapa gadis yang melewati meja nomor 29 itu melirik ke arahnya.
Cover dari novel best seller yang berada di tangannya itu bertuliskan Keira Angelic di bawah gambar pohon harapan yang bersemi seolah menunjukkan isi dari cerita di novel tersebut. Lembar demi lembar halaman terpenuhi oleh tulisan karangan yang tak terduga bagi siapapun. Laki – laki itu terus tersenyum sendiri seakan dirinya ikut hanyut ke dalam novel yang ia baca dan kembali menyelam masa lalu.
“Between 0,01% and 99.99%,” kata seseorang dengan suara lembut tiba – tiba membuat laki – laki itu mendongak dan tersenyum hangat menatap gadis yang berada di depannya.
Gadis itu duduk tepat di hadapan laki – laki itu dan meletakkan kedua tangannya ke meja bundar dengan dua gelas es krim red velvet yang sepertinya sudah dipesan oleh laki – laki itu sebelumnya. Bibir tipisnya tersenyum dan matanya mengamati laki – laki yang ada di hadapannya.
“Seru banget ya..” tanya gadis itu perlahan wajahnya berubah kesal.
Laki – laki itu mengangguk menanggapi dan melanjutkan bacaannya tanpa mengalihkan pandangannya ke arah gadis yang berada di hadapannya.
“Kalau gue ganggu gue pergi,” kata gadis itu hendak melenggang pergi tapi pergelangan tangannya dicekal oleh laki – laki yang tadi ada di hadapannya.
“Duduk,” gadis itu menuruti perkataan laki – lai di hadapannya untuk duduk.
“Udah lama ?” tanya gadis itu.
“Hampir setengah jam, tapi nggak papa,”
Gadis itu tersenyum mendengar perkataan yang dilontarkan oleh laki – laki yang ada di hadapannya. Laki – laki itu menutup novel yang ia baca sebelum meletakkan pembatas pada bagian terakhir yang ia baca.
“Suka novelnya ?” tanya gadis itu kembali,
“Ada part yang nggak gue suka,” gadis yang ada di depannya itu tertawa sedikit lalu laki – laki itu melanjutkan kata – katanya, “part dimana milano tiba – tiba teriak nama Keira padahal baru ketemu sama Keira sekali doang,”
“Jadi lo menyesal melakukan itu ?” tanya gadis itu dengan raut wajah kesal tapi menggemaskan.
Milano tersenyum dan mencubit kedua pipi gadis itu sebelum ia menyendokkan ice cream red velvet yang ada di depannya dan memasukkannya ke mulut. “Gue nggak pernah menyesal sekalipun Keira, karena kejadian itu bisa membuat gue jadi salah satu orang yang lo cintai sekarang, dan....” milano tersenyum misterius tak melanjutkan kata – katanya.
“Dan ?”
“Dan karena itu juga kata-kata yang pernah milano ucapkan jadi judul dari novel milik Keira Angelic sang Ballerina hebat yang mengubah hidupnya menjadi penulis novel,”
“Dasar,..”
“Benarkan apa yang gue bilang ?”
Keira tersenyum, “Iya – iya milo,...”
“Jangan Panggil gue milo, Rara...nanti kayak susu milo,”
“Terserah lo, tapi kalau gue suka manggil lo milo gimana ?”
Milo terkekeh geli dan mengacak rambut Keira sehingga malahan berantakan dan membuat Keira mengaduh kepada milano.
“Dan karena between 0.01 % and 99.99% gue berpikir bahwa masa lalu cukup untuk disimpan dalam memori ingatan. Karena sekeras apapun seseorang berusaha mengulang masa lalu untuk memperbaikinya itu tak akan pernah bisa terjadi. Menjadi Ballerina bukanlah akhir dari segalannya buktinya gue bisa jadi penulis, dan yang paling penting ada hal yang mungkin lebih indah menunggu kita di masa depan, seperti gue bisa ketemu sama lo milo,” mereka berdua tersenyum seraya menikmati red velvet yang berada di depan mereka sekarang.

..................................................................E N D...........................................................


Ririn Anjarwati

Post a Comment for "Cerpen : Between 0.01 % and 99.99 %"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel