Cerpen : Kelabu


Kelabu
            Kaca yang sudah retak, hancur berkeping-keping apakah bisa kembali lagi utuh seperti mulanya? Kertas yang telah di remas, dikepal-kepal apakah bisa kembali rapi seperti sedia kalanya? Jawabannya tentu tidak. Begitu halnya dengan persahabatan, yang dulunya sedekat nadi, sekarang sejauh matahari. Yang dulunya saling mengerti sekarang saling memusuhi. Semua begitu cepat diputar balikkan. Tidak ada yang bisa menduga apa yang akan terjadi dalam kehidupan kita. Begitu juga kehidupan Tania dan Carla, tidak ada yang pernah menduga mereka akan mengalami masa-masa sulit seperti ini.
...
Tania, jangan tanya hobi cewek yang satu ini. Cewek ini yang paling sering dimarahi petugas mall karena tetap milih baju, saat mall-nya sudah mau tutup. Tania betah belanja dan tidak akan mau pulang kalau belum menemukan baju yang bener-bener sreg dan lagi trend saat itu. Hal itu bisa dimaklumi karena di SMA Mandala Tania jadi salah satu anak hits yang punya ribuan followers di instagram. Suka belanja tapi anehnya anti sama yang namanya dandan. Dia  lebih suka terlihat natural, dan nggak neko-neko katanya. Sebenarnya tanpa dandan-pun Tania akan tetap cantik dengan kulit putih, alis tebal serta bibir ranumya. Dengan semua kelebihan itu, Tania tak pernah menyombongkan dirinya. Ia sangat ramah, saking ramahnya kadang ia tidak tahu siapa orang ia sapa saat itu. Ada satu hal yang tidak banyak orang tahu tentang Tania, semenjak ia mengenal Youtube, Tania mulai belajar menari tradisional secara otodidak. Total sudah ada 10 jenis tarian tradisional yang ia kuasai, jaipong menjadi favoritnya. Tapi sayangnya, Tania tidak mau memperlihatkan kemampuan menarinya kepada siapapun.
Pernah suatu hari saat pulang sekolah, Tania melihat anak-anak latihan menari di sebuah gubuk kecil di pinggir jalan. Iseng, Tania pun pergi kesana dan menghampiri anak-anak itu. Ternyata gubuk itu adalah sanggar tari  untuk anak-anak jalanan yang bernama “Sanggar Tari Asa”. Saat mendengar musik mengalun, Tania terbuai dan hanyut dalam tariannya. Anak-anak tersebut hanya diam dan melongo melihat tarian Tania. Begitu juga Carla yang kebetulan sedang menunggu angkot dan tak sengaja melihat ke seberang jalan. Carla yang juga satu SMA dan satu kelas dengan Tania kebingungan dan bertanya-tanya dalam hati “Lho.. sejak kapan anak itu jago nari tradisional gitu ya..?’. Untuk pertama kalinya, Tania memperlihatkan kemampuannya kepada orang lain, meskipun itu juga tidak sengaja.
Esok harinya, Tania berangkat agak kesiangan karena mencari kaus kaki panda kesukaanya. Hal itu berimbas pada bangku kesayangnnya di kelas yang sudah diduduki oleh Dito, orang yang paling jorok dan suka ngupil sembarangan di kelas. Tanpa pikir panjang Tania duduk disebelah Carla, daripada harus bersebelahan dengan Dito.
“Hai Car, boleh duduk disini nggak? Si Dito rese tuh…”, sambil manyun-mayunin bibirnya Tania mohon-mohon ke Carla. “Santai aja Tan, duduk aja kali”. Carla menjawab dengan tenang dan terkesan sedikit cuek. Padahal Carla deg-degan setengah mati harus duduk sebelahan dengan anak hits SMA Mandala sekelas Tania. Carla ragu harus ngajak ngobrol Tania apa, sejak pagi tadi sampe siang ini mereka berdua hanya sesekali bertanya, jawabannya pun hanya ‘ya’, ‘nggak’, dan ‘ohh’.
Di jam pelajaran terakhir, Carla ingat kejadian kemarin saat ia melihat Tania menari. Spontan ia pun bertanya pada Tania yang sedang sibuk menyalin catatannya “ Tan, kamu jago nari ya?”. Tania kaget, dan kebingungan harus menjawab apa, “Apaan sih, sejak kapan aku bisa nari Car. Ngada-ngada aja deh”. Carla tahu kalau Tania mencoba berbohong, “Santai aja Tan, aku nggak akan kasih tahu orang lain kok. Kenapa harus ditutup-tutupin tarian kamu kemarin bagus banget, sumpahh”. Sembari mengingat-ingat lagi kejadian kemarin, Tania-pun bertanya,“ Kok kamu bisa tahu?”.
Sejak kejadian Carla menanyakan tarian itu, Tania menjadi semakin akrab dan dekat dengan Carla. Berkat Carla, Tania sadar bakatnya tidak boleh stag disitu saja. Ada banyak orang yang menanti untuk menikmati, mengapresiasi, mengagumi setiap bakat yang dimiliki seseorang. Ada banyak kesempatan emas yang menantinya di ujung gerbang kesuksesan nantinya.  Tania berusaha menghilangkan ketakutannya selama ini, membangun kepercayaan dirinya dari nol dan ia siap untuk menunjukkannya pada setiap orang, bahwa inilah dirinya yang sebenarnya.
Tania dan Carla mulai akrab dan dekat sejak saaat itu. Terlebih lagi saat Carla menawarkan kepada Tania untuk belajar menari di sanggar tari milik tantenya, Setiap pulang sekolah Carla selalu menyempatkan waktunya untuk sekedar menemani Tania menari.
“Car… Hust.. Hust”, panggil Tania. “Apaan sih.. nanggung nih tinggal satu soal yang belum kejawab tau”, Carla mendecakkan lidahnya berkali-kali karena ulah Tania itu. “ Masih mending kurang satu soal, nah aku baru juga kejawab separuhnya Car. Tega banget sama temen kamu Car..”, Carla tetap tidak menggubris celotehan Tania sampai jam ulangan kima pagi itu selesai.
“Tan ngantin yuk, laper nih, kasian nih perut keroncongan abis ulangan 2 jam non-stop”. “Giliran perut aja baru inget sama temen, kemana aja pas ulangan tadi, kupingnya sengaja ditinggal kali ya..”, ucap Tania cuek sambil belagak mainin handphone-nya. “ Ya ampun.. sampe segitunya. Hahaha”, bukannya merasa bersalah Carla malah cengengesan. Carla menarik tangan Tania dan meyeretnya ke kantin, “Biasa aja dong nggak usah pake narik-narik gini”, aksi drama queen-nya Tania pun dimulai. Kalo Tania sudah ngambek, hanya satu cara yang ampuh luluhkan hati teman satunya itu  ‘Ayam Geprek 15 cabe’. Mau tidak mau Carla terpaksa merelakan uang saku terakhir minggu ini hanya untuk ngasih makan anak orang kayak Tania.
“Kan udah aku traktir, jadi drama queen-nya udahan ya Tan. Enek liat muka lo yang sok-sok an gitu, bikin orang pengen muntah tau”. Tania yang asyik makan ayamnya itu,hanya jawab dengan “Hmm.. iya iya, bawel”. “Orang udah ngomong panjang kali lebar gini, njawabnya agak panjangan dikit napa sih Tan”, sabarnya Carla mulai menipis menghadapi kelakuan Tania. “Iya deh Car, maafin ya. Rasanya ayam geprek yang gue makan ini jadi nambah pedesnya, kalo lo terus-terusan ngomel. Tenggorokan gue rasanya udah mau kebakar”, ucap Tania sambil mangap-mangap dan mengelap keringatnya. Carla memilih diam daripada ia harus membuang amarahnya sia-sia.
“Eh Tan, udah ada Pak Bono tuh dikelas , malah enak-enakan makan”, ucap Rita anak kelas sebelah. Carla melihat jam di tangganya, masih menunjukkan pukul 09.45, “Bukannya pelajaran Pak Bono mulai jam 10.00 ya Tan?”. “Kayak nggak tau Pak Bono aja sih, kalo masuk cepet gini biasanya ada kuis dadakan”, setelah mengucapkan 2 kata terakhirnya itu Tania tiba-tiba tersedak. Sedangkan Carla menepuk jidatnya, dan secepat kilat ia meninggalkan Tania yang wajahnya sudah merah seperti kepiting rebus karena tersedak sambel geprek. “Tenang Tan, minum dulu”, kata Rita yang sedari tadi menahan tawa melihat tingkah Tania yang gelagapan. “Makasih banget ya Rit udah ngasih tau aku sama…”, Tania menoleh kanan kiri mencari Carla. ”Temen lo udah balik duluan tadi Tan”, ucap Rita seakan tau apa yang ingin ditanyakan Tania. “Awas aja tuh anak”, ucap Tania sambil mengepal-epalkan tangannya.
            Sore itu, Tania latihan menari di Sanggar seperti biasanya. Dengan ditemani Carla yang sedang ayik menonton drama korea di Ipodnya. Guru tari Tania, Bu ajeng mengahampiri Tania yang sedang asyik-asyiknya berlatih tari sendiri. “Tan, maaf ibu ganggu sebentar”. “Oh iya bu, ada apa?Kok tumben ngajak ngobrol serius gini”.
            Baru saja Bu Ajeng akan mengawali kalimatnya, namun Carla datang dan langsung berceloteh ria. “Eh Tan drakor ini harus ada di list nobar bareng kita nih, so sweet banget…”, ucap Tania sambil menunjukkan drama korea yang sedang ditontonnya di Ipod. “Car, nggak sopan deh Bu Ajeng kan mau ngomong”. Carla menoleh ke samping kirirnya dan ternyata memang ada Bu Ajeng. Carla merasa malu, dengan cengengesan Carla-pun meminta maaf “Duh maaf ya Bu, abis tadi kelampau seneng nonton drakornya”.
            “Jadi gini Tan, saya mendapat undangan dari Festival Tari Jakarta untuk mengirimkan satu murid untuk mengikuti lomba itu, nah saya pikir kamulah yang paling cocok dan paling siap untuk mengikuti lomba itu”, Bu Ajeng langsung to the point, daripada harus disambar oleh Carla lagi. “Emm.. Tapi Bu, itukan festival tari yang cukup besar, sedangkan saya saja belum pernah ikut lomba tari sekalipun”. Carla yang sedari tadi duduk di sebelah Tania, ikut menyimak percakapan itu. “Jangan pesimis dulu dong Tan, coba aja dulu”, Carla ikut nimbrung dan mencoba meyakinkan Tania. “Iya Tan, Carla bener. Di festival itu kamu bisa menunjukkan bakat kamu ke semua orang”. Tania yang bingung hanya bisa mengatupkan bibirnya sambil menerawang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. “Boleh saya pikirkan dulu Bu? Saya butuh waktu untuk memantapkan dan memantaskan diri”, ucap Tania mengambil jalan tengah. “Tentu saja boleh Tan, festival tarinya akan dimulai sekitar akhir bulan depan”, Ucap Bu Ajeng sambil mengelus-elus pundak Tania.
            Setelah beberapa hari berpikir dan meyakinkan dirinya, Tania memantapkan dirinya untuk ikut di ajang Festival Tari Jakarta itu. Carla sangat senang, karena bujukan-bujukannya selama ini tidak berbuah sia-sia. Alasan terkuat Tania adalah kedua orang tuanya, ia ingin menunjukkan kepada Ayah dan Bundanya kalau anak semata wayang mereka ini punya kemampuan yang bisa dibanggakan.
            Hari ini, Ayah Tania pulang dari kantor lebih cepat dari biasanya. Tania ingin memanfaatkan momen tersebut untuk memberi tahu orang tuanya tentang festival tari itu. Namun, sebelum Tania mengutarakan keinginannya, Ayah Tania memulai percakapan terlebih dahulu. Bunda Tania yang baru selesai dari dapur juga langsung ikut bergabung, dan duduk di sofa sebelah Tania. “Tan?”, Ayah memanggil Tania dengan lembut. “Iya Yah?”, Tania menjawab panggilan ayahnya sedikit ragu karena tiba- tiba suasananya menjadi serius. Gelagat aneh juga ditunjukkan Bunda, sedari tadi Bunda duduk di sofa ia tak sekalipun mau melihat ke  arah Ayah, Bunda terlihat sedih dan terus-menerus menundukkan kepalanya. “Kok susananya jadi serius gini sih Yah, Bun? Emang mau ngomong apa sih, Tania penasaran kalo gini”, celetuk Tania.
            Hari itu, malam itu, waktu seakan memutar balikkan kehidupan Tania. Tak pernah terbesit sekalipun di benak Tania hal ini akan terjadi padanya, pada keluarganya. Dulu melihat anak-anak lain di luar sana yang punya nasib sama seperti dirinya sekarang saja ia merasa iba dan kasihan, bagaimana ia harus menjalani kehidupannya sendiri saat ini. Apakah dirinya akan sekuat anak-anak itu, apakah dirinya akan jadi salah satu korban bullying di sekolah, apakah Carla dan teman-temannya masih mau berteman dengan dirinya. Satu demi satu kekhawatiran mulai muncul di benak Tania, otaknya sudah dipenuhi berbagai pertanyaan yang membuatnya merasa lemah. Dan ada satu lagi yang Tania cemaskan, hal yang sebenarnya sudah ia rancang bahkan sudah terbayang betapa bangganya orang tuanya saat tahu Tania pandai menari, saat tahu kalau Tania akan ikut lomba Festival Tari Jakarta. Semua itu sekarang tinggallah angan, matahari yang menyinari kehidupan Tania mulai meredup. Digantikan dengan gumpalan awan hitam yang perlahan siap menghisasi kehidupan Tania, seorang anak broken home.
            Tania termenung di teras rumahnya, manatap langit yang mulai temaram. Lagi-lagi ia melamunkan mimpi buruknya semalam. Namun, ia sadar kejadian itu bukan sekedar mimpi bagi Tania, tapi sebuah kenyataan pahit yang harus dihadapi dirinya. Handphone Tania berdering mengalunkan lagu ‘Marvin Gaye’ membuyarkan lamunan Tania. “Halo, kenapa Car?”, ucap  Tania dengan suara agak serak. “Mau anterin aku beli Novel terbarunya Tere Liye nggak?Di rumah juga lagi gabut nih”, ucap Carla tanpa sadar ada yang tidak beres dengan Tania. “ Maaf ya Car, kayaknya nggak bisa deh. Lagi nggak pengen keluar rumah, udah dulu ya bye..”, Tania memutuskan telfon sepihak.
            Carla mulai merasa sikap Tania banyak berubah, di kelas Tania jadi lebih pendiam, tidak mau diajak keluar dan tidak pernah mengomel lagi. Carla juga sempat datang ke sanggar tari tantenya untuk melihat Tania berlatih, namun kata Bu Ajeng sudah tiga hari ini Tania tidak datang ke sanggar. Carla juga mengirim banyak pesan ke Tania, tapi tidak ada satu pun yang dibalas anak itu, begitu juga pesan dari Bu Ajeng. Semua orang dibuat bingung dengan perubahan sikap Tania.
            Hari ini, Carla memberanikan dirinya untuk memulai percakapan dengan Tania. Ia ingin segera menyudahi kecanggungan diantara mereka berdua. Dengan mantap Carla berjalan mendekat ke arah Tania yang sedang berkutat dengan Handphonennya. Carla duduk di sebelah Tania, Tania yang kaget langsung menoleh, ia pun mendapati Carla berada di sebelahnya. ”Sebenarnya kamu kenapa sih Tan? Sekarang jadi suka ngelamun sendiri, nggak pernah bales pesan yang aku kirim, sampe ngomong berdua aja jarang banget sekarang”, tanpa basa-basi Carla langsung menyodori Tania dengan banyak pertanyaan. Tania yang sudah menduga apa yang akan dibicarakan Carla hanya berdecak lidah dan bergumam-guman sendiri mendengarkan Carla menyeloteh. “Udah lah aku nggak kenapa-kenapa. Nggak usah sok perhatian, aku bisa urus diri aku sendiri kok”, ucap Tania yang langsung menohok hati Carla. “Bukannya gimana-gimana Tan, semua kan juga demi kamu. Sekarang aja kamu udah lupa buat latihan lomba festival tari yang dulu kamu idam-idamkan. Katanya kamu mau nunjukin ke orang tua kamu, pengin buat bangga Ayah sama Bunda kamu? Nah sekarang apa buktinya?”, nada bicara Carla sudah mulai meninggi melihat respon Tania yang seolah tidak menganggap dirinya ada. Tania sedari tadi tidak berani menjawab pertanyaan Carla karena sebenarnya Tania sangat ingin menumpahkan segala keluh kesahnya kepada Carla . Namun, Tania menahan keinginan itu karena ia takut Carla malu berteman dengan anak broken home seperti dirinya. “Tan, jawab dong. Kamu kenapa sih? Cerita kalo emang ada masalah, aku bakalan dengerin dan ngebantu masalah kamu”, Carla mencoba membujuk Tania agar mau bercerita. Tania tetap memilih untuk bungkam sampai akhirnya Carla memutuskan pergi dan meninggalkan Tania sendiri dengan rasa bersalah. Andai Tania punya keberanian lebih untuk menceritakan semuanya kepada Carla dan membuang jauh-jauh kecemasannya. Namun semua sudah terlambat. Sejak percakapan itu, Carla memilih untuk menjauh dari Tania dan tidak mengusiknya lagi.
            Penyesalan memang selalu datang diakhir. Dan perpisahan juga pasti ada di setiap ujung pertemuan. Begitu juga Tania dan Carla, serta Ayah dan Bunda Tania. Tidak ada lagi tali yang mengikat erat antar keduanya. Kelak, entah mereka akan menyesal atau tidak. Mereka telah menentukan pilihan besar dalam hidupnya. Namun yang pasti semua berawal dari ketakutan dan ketidakpercayaan kepada diri sendiri.
             
30 November 2017
Oktavia M.H.

Post a Comment for "Cerpen : Kelabu"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel