Pergolakan yang berkaitan dengan Sistem Pemerintahan 1948-1965 Penyebab Disintegrasi Bangsa
Unduh dalam bentuk PDF klik
2.3.3 Pergolakan yang
berkaitan dengan Sistem Pemerintahan
Masalah yang berhubungan dengan negara
federal mulai timbul ketika berdasarkan perjanjian Linggajati, Indonesia
disepakati akan berbentuk negara serikat/federal dengan nama Republik Indonesia
Serikat (RIS). RI menjadi bagian RIS. Negara-negara federal lainnya misalnya
adalah negara Pasundan, negara Madura atau Negara Indonesia Timur. BFO sendiri
adalah badan musyawarah negara-negara federal di luar RI, yang dibentuk oleh
Belanda. Awalnya, BFO berada di bawah kendali Belanda. Namun makin lama badan
ini makin bertindak netral, tidak lagi melulu memihak Belanda. Pro-kontra
tentang negara-negara federal inilah yang kerap juga menimbulkan pertentangan.
Sedangkan pemberontakan PRRI dan Permesta
merupakan pemberontakan yang terjadi akibat adanya ketidakpuasan beberapa
daerah di wilayah Indonesia terhadap pemerintahan pusat.
2.3.3.1 Pemberontakan
PRRI
Latar belakang pemberontakan ini adalah adanya
kecemburuan pemerintah di daerah terhadap pemerintah pusat. Pada masa Soekarno,
Pemerintah pusat mengadakan pembangunan besar besaran di Jakarta dan
mengabaikan pembangunan di daerah lain. PRRI dibentuk sebagai ungkapan protes
terhadap pemerintahan pusat. Gerakan-gerakan di daerah
yang menentang kebijakan perimbangan ekonomi pusat dan daerah muncul pertama
kali di Sumatera Barat, dengan berdirinya Dewan Banteng yang dipimpin oleh
Letnan Kolonel Ahmad Husein. Gerakan ini menuntut otonomi daerah kepada
Pemerintah Pusat, serta pergantian kabinet Djuanda. Menyusul Dewan
Banteng, berdirilah beberapa Dewan Militer diberbagai daerah, seperti :
1. Dewan Gajah (Medan) : Kolonel M. Simbolon
2. Dewan Garuda (Palembang) : Kolonel Barlian
3. Dewan Lambung Mangkurat (Kalimantan): Kolonel M. Basri
4. Dewan Manguni (Menado) : Kolonel Ventje Samuel
Letnan Kolonel Ahmad Husein bersama dengan beberapa tokoh
sipil yang lain seperti Syarif Usman, Burhanudin Harahap, dan Syafrudin
Prawiranegara bahkan mengeluarkan ultimatum kepada pemerintah pusat, bahwa
dalam waktu 5 x 24 jam P.M. Djuanda menyerahkan mandatnya kepada Presiden dan
presiden diminta untuk kembali kepada kedudukan semula sebagai presiden yang
konstitusional seperti yang tercantum di bawah ini :
Piagam Jakarta yang dikeluarkan oleh Kabinet PRRI :
1.
Mendesak
Kabinet Djuanda supaya mengundurkan diri dan mengembalkan mandatnya kepada
Presiden Soekarno.
2.
Mendesak
pejabat presiden, Mr. Sartono untuk membentuk Kabinet baru yang disebut kabinet
Nasiona yang bebas dari pengaruh PKI (komunis).
3.
Mendesak
kabinet baru untuk bekerja hingga pemilihan umum yang akan dating.
4.
Mendesak
Presiden Soekarno membatasi kekuasaanya dan mematuhi konstitusi.
5.
Jika
tuntutan tidak dipenuhi dalam waktu 5x24 jam, Dewan Perjuangan akan menetukan
kebijakan sendiri.
Menanggapi berbagai gerakan ini, KSAD segera mengeluarkan
larangan bagi para perwira untuk berpolitik dan memberikan ultimatum akan
memecat siapa saja yang terlibat gerakan politik. Karena merasa tidak
diindahkan oleh pemerintah pusat, Gerakan ini semakin mempertegas sikapnya
dengan mengumumkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia dibawah
pimpinan Perdana Menteri Syafrudin
Prawiranegara.
Gerakan ini bertujuan bukan untuk memisahkan diri dari RI tetapi gerakan
yang bersifat menggantikan pemerintahan yang sah.
Untuk menumpas gerakan ini
pemerintah RI melaksanakan beberapa operasi, yaitu :
1.
Operasi Tegas (mengamankan Riau) dipimpin oleh Letkol Kaharudin Nasution.
2.
Operasi 17 Agustus (mengamankan Sumatera barat), dipimpin oleh Kol. A Yani.
3.
Operasi Saptamarga (mengamankan Sumatera Utara) , dipimpin Brigjen
Jatikusumo.
4.
Operasi Sadar (mengamankan Sumatera Selatan) dipimpin oleh Letkol Ibnu
Sutowo.
Pada tanggal 29 Mei 1961,
Ahmad Husein berserta pasukannya menyerahkan diri dan pemberontakan PRRI pun
berakhir.
2.3.3.2 Pemberontakan Permesta
Pada tanggal 17 Februari 1958
Komandan Daerah Meliter Sulawesi Utara dan Tengah menyatakan diri putus
hubungan dengan pemerintahan pusat dan mendukung PRRI.Pada tanggal 2 Maret 1958
diproklamasikanlah berdirinya Permesta. Gerakan daerah yang berlatarbelakang
perimbangan ekonomi pusat dan daerah akhirnya meluas ke Sulawesi. Dewan Manguni
yang dipimpin oleh Letkol Ventje Samuel mendukung PRRI dan mengumumkan
berdirinya Permesta pada tanggal 2 Maret 1957. Gerakan ini menuntut
dilaksanakannya Repelita dan pembagian pendapatan daerah secara adil ( daerah
surplus mendapat 70% dari hasil ekspor ).
Untuk menumpas gerakan ini
pemerintah melaksanakan Operasi
Merdeka, yang merupakan operasi gabungan dan dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat. Gerakan penumpasan
Permesta merupakan operasi yang sangat sulit, karena medan pertempuran sangat
cocok dengan kondisi pemberontak, serta adanya indikasi keterlibatan pihak
asing (AS), yaitu dengan tertangkapnya pilot helikopter Alan Pope (warga negara
Amerika Serikat) yang berhasil ditembak jatuh oleh pasukan TNI. Pada
pertengahan tahun 1961 sisa sisa Pemberontakan Permesta menyerahkan diri dan
memenuhi seruan pemerintah untuk kembali ke tengah tengah masyarakat.
2.3.3.3 Pemberontakan
Negara Federal dan BFO
Konsep
Negara Federal dan “Persekutuan” Negara Bagian (BFO/Bijeenkomst Federal
Overleg) menimbulkan potensi perpecahan di kalangan bangsa Indonesia sendiri
setelah kemerdekaan. Persaingan yang timbul terutama adalah antara golongan
federalis yang ingin bentuk negara federal dipertahankan dengan golongan
unitaris yang ingin Indonesia menjadi negara kesatuan.
Dalam
konferensi Malino di Sulawesi Selatan pada 24 Juli 1946, pertemuan untuk
membicarakan tatanan Federal yang diikuti oleh wakil dari berbagai daerah non RI
itu, ternyata mendapat reaksi keras dari para politisi pro RI yang ikut serta.
Mr. Tadjudin Noor dari Makassar bahkan begitu kuatnya mengkritik hasil Konferensi.
Perbedaan
keinginan agar bendera Merah-Putih dan lagu Indonesia Raya digunakan atau tidak
oleh Negara Indonesia Timur (NIT) juga menjadi persoalan yang tidak bisa
diputuskan dalam konferensi. Kabinet NIT juga secara tidak langsung ada yang
jatuh karena persoalan negara federal ini (1947).
Dalam
tubuh BFO juga bukan tidak terjadi pertentangan. Sejak pembentukannya di
Bandung pada bulan Juli 1948, BFO telah terpecah ke dalam dua kubu. Kelompok
pertama menolak kerjasama dengan Belanda dan lebih memilih RI untuk diajak
bekerjasama membentuk Negara Indonesia Serikat. Kubu ini dipelopori oleh Ide
Anak Agung Gde Agung (NIT) serta R.T. Adil Puradiredja dan R.T. Djumhana
(Negara Pasundan). Kubu kedua dipimpin oleh Sultan Hamid II (Pontianak) dan dr.
T. Mansur (Sumatera Timur). Kelompok ini ingin agar garis kebijakan bekerjasama
dengan Belanda tetap dipertahankan BFO. Ketika Belanda melancarkan Agresi
Militer II-nya, pertentangan antara dua kubu ini kian sengit. Dalam
sidang-sidang BFO selanjutnya kerap terjadi konfrontasi antara Anak Agung
dengan Sultan Hamid II. Dikemudian hari, Sultan Hamid II ternyata bekerjasama
dengan APRA Westerling mempersiapkan pemberontakan terhadap pemerintah RIS.
Setelah
Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949), persaingan antara golongan federalis
dan unitaris makin lama makin mengarah pada konflik terbuka di bidang militer,
pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) telah
menimbulkan masalah psikologis. Salah satu ketetapan dalam KMB menyebutkan
bahwa inti anggota APRIS diambil dari TNI, sedangkan lainnya diambil dari
personel mantan anggota KNIL. TNI sebagai inti APRIS berkeberatan bekerjasama
dengan bekas musuhnya, yaitu KNIL. Sebaliknya anggota KNIL menuntut agar mereka
ditetapkan sebagai aparat negara bagian dan mereka menentang masuknya anggota
TNI ke negara bagian (Taufik Abdullah dan AB Lapian, 2012.). Kasus APRA
Westerling dan mantan pasukan KNIL Andi Aziz sebagaimana telah dibahas
sebelumnya adalah cermin dari pertentangan ini.
Namun
selain pergolakan yang mengarah pada perpecahan, pergolakan bernuansa positif
bagi persatuan bangsa juga terjadi. Hal ini terlihat ketika negara-negara
bagian yang keberadaannya ingin dipertahankan setelah KMB, harus berhadapan
dengan tuntutan rakyat yang ingin agar negara-negara bagian tersebut bergabung
ke RI.
Berdasarkan uraian pergolakan yang
terjadi di dalam Negeri pada tahun 1948-1965, dapat diambil kesimpulan mengenai
faktor penyebab pergolakan tersebut yaitu :
1. Adanya Perbedaan Pemahaman Ideologi
Di semua
kasus pergolakan yang dicontohkan diatas, semuanya punya satu kesamaan yaitu
memperjuangkan ideologi atau cita-cita yang kuat dari suatu kelompok, yang
tentu saja berbeda dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia. Alhasil
pergolakan tidak dapat dihindari.
2. Kemunculan Tokoh Pelopor Pergolakan
Adanya tokoh
yang menjadi pelopor dalam memperjuangkan ideologinya dapat menjadi asal mula
dari suatu pergolakan. Misalnya dalam kasus Andi Aziz yang merupakan tokoh
pergolakan yang menuntut bahwa hanya pasukan APRIS dari KNIL yang boleh
bertanggung jawab atas keamanan Negara Indonesia Timur. Akhirnya terjadi
pertempuran di Makassar.
3. Konflik Sosial yang Tidak Kunjung Terselesaikan
Konflik
sosial yang sudah lama ada sebelum kemerdekaan bisa menjadi faktor perubahan
sosial ketika muncul kembali ke permukaan setelah masalah penjajahan
diselesaikan. Pemikiran faktor penyebab terjadinya pergolakan daerah untuk
menjadikan Indonesia sebagai negara Islam sudah ada sebelum proklamasi
kemerdekaan. Ketika terbuka kesempatan untuk mewujudkan hal tersebut,
penggeraknya tidak hanya tinggal diam dan langsung memanfaatkan kesempatan
untuk memperjuangkan ideologi mereka.
4. Ketidakpuasan Dalam Keputusan yang Sudah
Ditetapkan
Faktor ini
adalah latar belakang terjadinya pergolakan di Maluku yang kita kenal karena
ketidak setujuan mereka yang tadinya adalah Negara Indonesia Timur harus
bergabung kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini harusnya
dapat diatasi jika pemerintah segera mengambil tindakan ketika ada kelompok
yang tidak setuju dengan keputusan yang hendak ditetapkan.
5. Pemegang Kuasa Tidak Mempertimbangkan Semua
Suara
Suatu pergolakan
biasanya dimulai di satu meja dimana ada pendapat seseorang atau satu kelompok
yang tidak dipertimbangkan agar keputusan nantinya bisa mengambil jalan tengah.
Tentu saja seseorang atau kelompok yang tidak didengarkan pendapatnya itu akan
protes dan kemungkinan terjadinya pergolakan hampir pasti. Pemegang kuasa akan
dinilai bertindak semenah-menah dengan mengambil tindakan tanpa memberikan
penjelasan untuk seseorang atau kelompok yang tidak sependapat.
Post a Comment for "Pergolakan yang berkaitan dengan Sistem Pemerintahan 1948-1965 Penyebab Disintegrasi Bangsa"
Post a Comment