Sejarah Kerajaan Pontianak (Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, Peninggalan) Lengkap
Unduh dalam bentuk PDF klik
Sejarah
kerajaan pontianak (politik, ekonomi, sosial, peninggalan)
Kesultanan
ini didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, seorang putra ulama keturunan
Arab Hadramaut dari Kerajaan Mempawah, pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14
Rajab 1185 H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak,
Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah
sebagai tempat tinggal.
Pada
tahun1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan
Pontianak. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami
Pontianak (kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana
Kadariyah yang sekarang terletak diKelurahan Dalam Bugis, Kecamatan
Pontianak Timur, Kota Pontianak.
Dengan
menggunakan 14 perahu mereka menyusuri Sungai Peniti hingga pada akhirnya
mereka menetap di sebuah tanjung bernama Kelapa Tinggi Segedong. Namun, Syarif
Alkadrie merasa bahwa tempat tersebut tidak tepat untuk didiami, dan akhirnya
mereka melanjutkan perjalanan balik ke hulu sungai melalui Sungai Kapuas Kecil.
Ketika menyusuri sungai tersebut rombongan Syarif Alkadrie menemukan sebuah
pulau kecil bernama Batu Layang.
Mereka
kemudian singgah sejenak. Konon mereka pernah diganggu oleh hantu-hantu di sana
yang menyebabkan Syarif Alkadrie meminta anggotanya untuk mengusirnya. Setelah
itu mereka kembali melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Kapuas.
Pada
tanggal 23 Oktober1771 (14 Rajab 1184 H), tepatnya menjelang subuh, mereka
akhirnya sampai di persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Rombongan
Syarif Alkadrie kemudian menebang pohon-pohon di hutan selama delapan hari guna
keperluan membangun rumah, balai, dan sebagainya. Di tempat itulah Kesultanan
Kadriah berdiri, beserta Masjid Djami‘ (yang telah berdiri sebelumnya) dan
Keraton Pontianak (yang berdiri setelah berdirinya kesultanan). Pada tanggal 8
Sya‘ban tahun 1192 H, Syarif Alkadrie akhirnya dinobatkan sebagai Sultan
Pontianak (Kesultanan Kadriah) dengan gelar Syarif Abdurrahman Ibnu Al Habib
Alkadrie. Kesultanan ini merupakan kerajaan paling akhir yang ada di Kalimantan
dan sebagai cikal bakal berdirinya Kota Pontianak.
Penobatan
Syarif Idrus Abdurrahman al-Alydrus sebagai Raja Pontianak dilakukan oleh
Sultan Raja Haji, penguasa Kesultanan Riau. Penobatan tersebt dihadiri oleh para
pemimpin dari sejumlah kerajaan, anara lain Kerajaan Matan, Sukadana, Kubu,
Simpang, Landak, Mempawah, Sambas, dan Banjar. Syarif Idrus Abdurrahman
al-Alydrus memang memiliki kedekatan hubungan dengan keluarga Kesultanan Riau.
Tahun
1778, VOC datang ke Kalimantan Barat mengganggu kestabilan Kerajaan Pontianak.
Syarif Idrus Abdurrahman al-Alydrus dihasut supaya menguasai kerajaan-kerajaan
yang selama ini menjadi sekutu Kerajaan Pontianak. Atas bantuan VOC pada tahun
1787, Kerajaan Pontianak berhasil menguasai Kesultanan Tanjungpura dan
Mempawah. Tahun 1808, Syarif Idrus Abdurrahman al-Alydrus meninggal dan
terjadilah perebutan kekuasaan antara kedua putranya, yaitu Syarif Kasim dan
Syarif Usman. Akhirnya, Syarif Kasim yang terpilih menjadi raja Pontianak akibat
pengaruh VOC walaupun sebenarnya ayah mereka sudah menunjuk Syarif Usman
sebagai raja Pontianak.
Di
bawah pemerintahan Sultan Syarif Kasim Alkadrie (1808-1819), Kerajaan Pontianak
semakin bergantung pada pihak-pihak asing, yaitu Belanda dan Inggris sejak
tahun 1811. Setelah Sultan Syarif Kasim wafat pada 25 Februari 1819,
Syarif Usman Alkadrie (1819-1855) naik tahta sebagai Sultan Pontianak.
Pada masa kekuasaan Sultan Syarif Usman, banyak kebijakan bermanfaat yang
dikeluarkan olehnya, termasuk dengan meneruskan proyek pembangunan Masjid Jami’
pada 1821 dan perluasan Istana Kadriah pada tahun 1855.
Pada April 1855, Sultan Syarif Usman meletakkan jabatannya sebagai
sultan dan kemudian wafat pada 1860.
Anak
tertua Sultan Syarif Usman, Syarif Hamid Alkadrie (1855-1872), lalu dinobatkan
sebagai Sultan Pontianak pada 12 April 1855. Dan ketika
Sultan Syarif Hamid wafat pada 1872, putra tertuanya, Syarif Yusuf
Alkadrie (1872-1895) naik tahta beberapa bulan setelah ayahnya wafat. Sultan
Syarif Yusuf dikenal sebagai satu-satunya sultan yang paling sedikit mencampuri
urusan pemerintahan. Dia lebih aktif dalam bidang keagamaan, sekaligus
merangkap sebagai penyebar agama Islam.
Pemerintahan
Sultan Syarif Yusuf berakhir pada 15 Maret 1895. Dia digantikan oleh
putranya, Syarif Muhammad Alkadrie (1895-1944) yang dinobatkan
sebagai Sultan Pontianak pada 6 Agustus 1895. Pada masa ini, hubungan
kerjasama Kesultanan Pontianak dengan Belanda semakin erat dan kuat.
Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad merupakan masa pemerintahan terpanjang
dalam sejarah Kesultanan Pontianak. Ia sangat berperan dalam mendorong
terjadinya pembaruan dan modernisasi di Pontianak.
Kesultanan
ini berlangsung selama hampir dua abad, yaitu sejak tahun 1771 hingga tahun
1950. Ketika kesultanan ini berakhir pada tahun 1950, yaitu seiring dengan
bergabungnya banyak daerah dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
maka sistem pemerintahan juga berubah menjadi pemerintahan Kota Pontianak. Pada
tahun 1943-1945, pejuang-pejuang di Kalimantan Barat ikut berjuang melawan
kolonialisme Jepang di Indonesia, sebagaimana yang dilakukan pejuang-pejuang di
Jawa dan Sumatera.
Kesultanan
Kadriah merupakan kerajaan terbesar di wilayah Kalimantan beserta
kerajaan-kerajaan lain, seperti Kerajaan Sambas dan Kerajaan Banjar. Kesultanan
Kadriah berkembang pesat karena didukung dengan adanya jalur pelayaran dan
perdagangan yang menyebabkan banyaknya kapal nusantara dan asing yang datang ke
pelabuhan tersebut untuk memasarkan berbagai jenis barang dagang. Di antara jenis
barang yang dimaksud adalah: berlian, emas, lilin, rotan, tengkawang, karet,
tepung sagu, gambir, pinang, sarang burung, kopra, lada, kelapa, dan
sebagainya.
Proses
ini juga berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat yang kemudian banyak
mengembangkan kegiatan ekonomi, pertanian, dan perdagangan.Tidak sedikit dari
para pendatang yang kemudian bermukim di daerah ini. Setiap pendatang yang
berasal dari suku bangsa yang berbeda diberikan tempat tersendiri untuk
bermukim. Sehingga nama-nama daerah (kampung) lebih menunjukkan karakteristik
ras dan etnisitas, seperti ada Kampung Bugis, Melayu, Tambelan Sampit, Banjar,
Bali, Bangka-Belitung, Kuantan, Kamboja, Bansir, Saigon, Arab, Tanjung, Kapur,
Parit Mayor, dan sebagainya. Adanya kampung-kampung tersebut menunjukkan bahwa
komposisi masyarakat di Kesultanan Kadriah terdiri dari keturunan pribumi
(termasuk Melayu), Arab, Cina, Eropa, dan sebagainya. Heterogenitas etnik
merupakan ciri utama komposisi masyarakat di Kesultanan Kadriah (kini namanya
Pontianak).
Sultan-Sultan Pontianak
No
|
Sultan
|
Masa
pemerintahan
|
1
|
Sultan
Syarif Abdurrahman Alkadrie bin Habib Husein Alkadrie
|
1
September 1778 – 28 Februari 1808
|
2
|
Sultan
Syarif Kasim Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie
|
28
Februari 1808 – 25 Februari 1819
|
3
|
Sultan
Syarif Usman Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie
|
25
Februari 1819 – 12 April 1855
|
4
|
Sultan
Syarif Hamid Alkadrie bin Sultan Syarif Usman Alkadrie
|
12
April 1855 – 22 Agustus 1872
|
5
|
Sultan
Syarif Yusuf Alkadrie bin Sultan Syarif Hamid Alkadrie
|
22
Agustus 1872 – 15 Maret 1895
|
6
|
Sultan
Syarif Muhammad Alkadrie bin Sultan Syarif Yusuf Alkadrie
|
15
Maret 1895 – 24 Juni 1944
|
*
|
Interregnum
|
24
Juni 1944 – 29 Oktober 1945
|
7
|
Mayjen
KNIL Sultan Hamid II (Sultan Syarif Hamid Alkadrie bin Sultan Syarif Muhammad
Alkadrie)
|
29
Oktober 1945 – 30 Maret 1978
|
*
|
Interregnum
|
30
Maret 1978 – 15 Januari 2004
|
8
|
Sultan
Syarif Abubakar Alkadrie bin Syarif Mahmud Alkadrie bin Sultan Syarif
Muhammad Alkadrie
|
15
Januari 2004 – Sekarang
|
Kehidupan Ekonomi
Perdagangan
merupakan kegiatan yang menopang kehidupan ekonomi di Kerajaan Pontianak.
Kegiatan perdagangan berkembang pesat karena letak Pontianak yang berada di
persimpangan 3 sungai. Pontianak juga membuka pelabuhan sebagai tempat
interaksi dengan pedagang luar.
Komoditas
utamanya antara lain :
-Garam,
berlian, emas, lilin, rotan, tengkawang, karet, tepung sagu, gambir, ,pinang,
sarang burung, kopra, lada, dan kelapa.
Pontianak
memiliki hubungan dagang yang luas. Selain dengan VOC, pedagang Pontianak melakukan
hubungan dagang dengan pedagang dari berbagai daerah. Kerajaan Pontianak
kemudian menerapkan pajak bagi pedagang dari luar daerah yang berdagang di
Pontianak. Tidak sedikit dari para pendatang yang kemudian bermukim di
Pontianak. Mereka mendirikan perkampungan untuk bermukim sehingga nama-nama
perkampungan lebih menunjukkan ciri ras dan etnis.
Sistem Pemerintahan
Kesultanan
ini berlangsung selama hampir dua abad, yaitu sejak tahun 1771 hingga tahun
1950. Selama kesultanan ini masih eksis terdapat delapan sultan yang pernah
berkuasa. Ketika kesultanan ini berakhir pada tahun 1950, yaitu seiring dengan
bergabungnya banyak daerah dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
maka sistem pemerintahan juga berubah menjadi pemerintahan Kota Pontianak.Pada
tahun 1943-1945, pejuang-pejuang di Kalimantan Barat ikut berjuang melawan
kolonialisme Jepang di Indonesia, sebagaimana yang dilakukan pejuang-pejuang di
Jawa dan Sumatera. Puncaknya, pada tanggal 16 Oktober 1943 terjadi pertemuan
rahasia di Gedung Medan Sepakat Pontianak yang dihadiri oleh tokoh-tokoh
masyarakat dari berabagai golongan. Mereka bersepakat untuk merebut kekuasaan
dari pemerintah kolonial Jepang dan mendirikan Negeri Rakyat Kalimantan Barat
dengan lengkap 18 menterinya.
Sistem Sosial
Masyarakat
Pontianak dikelompokkan secara sosial berdasarkan identitas kesukuan, agama,
dan ras. Pengelompokan berdasarkan suku, yaitu: pertama, komunitas suku Dayak
yang tinggal di daerah pedalaman. Komunitas ini dikenal tertutup, lebih
mengutamakan kesamaan dan kesatuan sosio-kultural. Kedua, komunitas Melayu,
Bugis, dan Arab, yang dikenal sebagai penganut Islam terbesar di daerah ini
yang lebih menekankan aspek sosio-historis sebagai kelas penguasa. Ketiga,
imigran Cina yang tinggal di daerah pesisir, yang dikenal sebagai satu kesatuan
sosio-ekonomi.
Hasil Budaya
Tradisi Saprahan (Makan Dalam Kebersamaan)
Kata
Saprahan sudah asing terdengar di telinga masyarakat Kalbar, padahal kata ini
adalah sebuah jamuan makan yang melibatkan banyak orang yang duduk di dalam
satu barisan, saling berhadapan dalam duduk satu kebersamaan. Masa kini tradisi
tersebut telah berganti menjadi sebuah trend baru prasmanan, dimana sulit untuk
mempertemukan sekelompok orang atau masyarakat dalam satu majelis, saling
berbagi rasa tanpa syak swangka, saling berhadapan sembari menikmati hidangan
makanan di hadapannya.
Pantun
Mantra
Syair
Jepin Lembut.
Post a Comment for "Sejarah Kerajaan Pontianak (Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, Peninggalan) Lengkap "
Post a Comment