Makalah Sejarah Kerajaan Banjar (Letak, Raja, Kehidupan Ekonomi Politik Sosial Budaya, Kemajuan dan Kemunduran, dan Perlawanan Rakyat) Lengkap
Makalah Sejarah Kerajaan Banjar (Letak, Raja, Kehidupan Ekonomi Politik Sosial Budaya, Kemajuan dan Kemunduran, dan Perlawanan Rakyat) Lengkap
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
KESULTANAN Banjar berdiri pada
tahun 1520 . Kesultanan Banjar semula berada di Kampung Kuin,
Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kesultanan Banjar kemudian dipindah ke
Martapura, Kabupaten Banjar yang disebut juga Kerajaan Kayu Tangi. Kesultanan
Banjar masuk Islam pada 24 September 1526. Kesultanan Banjar dihapuskan
oleh pemerintah Belanda pada 11 Juni 1860. Pemerintahan darurat/pelarian
berakhir 1905).
Ketika ibu kotanya masih di
Banjarmasin, Kesultanan Banjar disebut Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan
Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang
beribukota di Kota Negara, sekarang merupakan ibukota Kecamatan Daha Selatan,
Hulu Sungai Selatan.
Kerajaan Banjar menaungi hingga ke
wilayah Sungai Sambas dari awal abad ke-15 M hingga pertengahan abad ke-16 M
yaitu pada masa Kerajaan Melayu Hindu Sambas yang menguasai wilayah Sungai
Sambas. Kerajaan Melayu Hindu Sambas runtuh pada pertengahan abad ke-16 M dan
dilanjutkan Panembahan Sambas Hindu yang merupakan keturunan bangsawan
Majapahit dari Wikramawadhana.
Kesultanan Banjar mulai mengalami
masa kejayaan pada dekade pertama abad ke-17 dengan lada sebagai komoditas
dagang. Secara praktis, barat daya, tenggara dan timur pulau Kalimantan
membayar upeti pada Kerajaan Banjarmasih. Sebelumnya Kesultanan
Banjar membayar upeti kepada Kesultanan Demak, tetapi pada masa Kesultanan
Pajang penerus Kesultanan Demak, Kesultanan Banjar tidak lagi mengirim upeti ke
Jawa.
1.2 Rumusan Masalah
a) Dimana letak Kerajaan Banjar ?
b) Siapa saja Raja-raja Kerajaan Banjar ?
c) Bagaimana kehidupan politik Kerajaan Banjar ?
d) Bagaimana kehidupan ekonomi Kerajaan Banjar ?
e) Bagaimana kehidupan sosial dan budaya Kerajaan
Banjar ?
f) Bagaimana kemajuan dan kemunduran dari
Kerajaan Banjar ?
g) Bagaimana terjadinya peristiwa perlawan
rakyat Banjar terhadap kedatangan Belanda ?
1.3 Tujuan Penulisan
a)
Mengetahui
letak dari Kerajaan Banjar
b)
Mengetahui
raja-raja yang memerintah Kerajaan Banjar
c)
Mengetahui
kehidupan politik, ekonomi, sosial dan buday dari Kerajaan Banjar
d)
Mengetahui
penyebab kemajuan dan kemunduran Kerajaan Banjar
e)
Mengetahui
dan mengerti periwtiwa perlawan rakyat Banjar terhadap kedatangan Belanda
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Awal Berdiri Kerajaan Banjar
Dalam sebuah sejarah
Banjar, sekitar abad XII berdirilah sebuah kerajaan yang bernama Negara Dipa.
Kerajaan ini dibangun oleh Empu Jatmika. Ia datang ke Pulau Hujung Tanah
(Kalimantan) dengan rombongannya memakai kapal Prabajaksa, dalam rangka
memenuhi wasiat almarhum ayahnya, Mangkubumi. Sepeninggalan ayahnya Empuh
Jatmika disuruh meninggalkan Negeri Keeling, dan mencari tempat tinggal baru
yang tanahnya panas dan berbau harum. Maka sampailah disuatu tempat yang
bernama Pulau Hujung Tanah. Di daerah inilah ia kemudian menemukan tanah yang
panas dan berbau harum seperti yang diwasiatkan oleh ayahnya, maka kemudian ia
membuat Candi Agung dan Empuh Jatmika menyebut dirinya Maharaja di Candi
tersebut.
Sebagai tokoh pimpinan
yang kemudian diakui oleh penduduk daerah tersebut, maka ia memerintahkan
Tumenggung Tatah Jiwa dan Arya Megatsari menaklukan orang-orang Batang
Tabalong, Batang Balang, Batang Petap, Batang Alai dan Amandit serta Labuhan
Amas dan orang-orang bukit. Dengan penaklukan ini, maka Negara Dipa semakin
kuat dan wilayahnya bertambah luas. Sari Kaburungan sebagai raja ketiga dalam
kerajaan Negara Dipa memindahkan pusat kerjaannya ke sebelah selatan. Pusat
kerajaan yang baru ini dikenal dengan kerajaan Negara Daha. Pada saat itu pula
Bandar Daha dipindahkan ke Muara Rampiu, kemudian ke Muara Bahan dan terakhir
pindah ke Banjarmasin. Akhirnya Banjarmasin berfungsi sebagai Bandar baru.
Maharaja Sukarama
menjadi raja keempat dikerajaan Nagara Dipa menggantikan ayahnya Sari
keburungan. Sukarama mempunyai tiga orang anak; Pangeran Mangkubumi, Pangeran
Tumenggung dan Putri Galuh. Setelah wafatnya Sukarama, Pangeran Mangkubumi
menggantikan kedudukannya sebagai raja, pada saat itu pula pecahnya perang
saudara dimulai. Pangeran Tumenggung membunuh saudaranya sendiri Pangeran
Mangkubumi lalu Pangeran Tumenggung menggantikan kekuasaan di Nagara Dipa.
Saat Raden Sukarama memerintah Negara Daha, menjelang akhir kekuasaannya dia
mewasiatkan tahta kekuasaan Negara Daha kepada cucunya yang bernama Raden
Samudera. Akan tetapi, wasiat tersebut ditentang oleh ketiga anak Raden
Sukarama yaitu Mangkubumi, Tumenggung dan Bagulung. Karena hal itu dan Raden Samudra baru berumur 7 tahun maka yang
menggantikan Sukarama saat ia wafat
ialah anak tertuanya yaitu
Mangkubumi namun ia tidak berkuasa lama karna ia terbunuh oleh pegawai istana atas hasutan Tumenngung setelah
Mangkubumi wafat maka Temenggung lah yang menjadi raja.
Raden Samudera sebagai pihak yang kalah melarikan diri dan bersembunyi di
daerah hilir Sungai Barito. Dia dilindungi oleh kelompok orang melayu yang
menempati wilayah itu. Kampung orang melayu itu disebut Kampung Oloh Masih yang
artinya kampung orang melayu pimpinan Pati Masih. Lama kelamaan kampung ini
berkembang menjadi Kota Banjarmasih karena ramainya perdagangan di tempat ini
dan banyaknya pedagang yang menetap. Dalam pelarian politiknya, Raden Samudera
melihat potensi Banjarmasih dengan sumber daya manusianya dapat dijadikan
kekuatan potensial untuk melawan kekuatan pusat, yaitu Negara Daha. Dalam
serangan pertamanya Raden Samudra berhasil menguasai Pelabuhan Muara Bahan yang
mana pelabuhan ini sering di kunjungi oleh pedagang dari Jawa, Malaka bahkan
Gujarat. Setelah beberapa serangan selalu seimbanag maka Patih menyarankan kepada Raden Samudra agar meminta bantuan ke
Demak. Dan yang menjadi Sultan Demak waktu itu ialah Sultan Trenggono, dimana
ia bersedia membantu Raden Samudra
tetapi Raden Samudra harus masuk agama islam, kemudian Raden Samudrapun
menyanggupi sarat yang di berikan Demak tersebut. Kemudian Demak mengirim
seribu tentara untuk membantu Raden Samudra dan mengirim seorang penghulu
(Khatib Dayan) untuk mengislamkann rakyat Banjar. Maka sejak saat itu
Pangeran Samudra dinubatkan sebagai Sultan banjar pertama yang berkedudukan di
ibukota Banjarmasih (Banjarmasin). Sejak beliaulah, Islam berkembang secara
resmi dan menjadi Agama kerajaan didaerah ini.[1][1]
B.
Kerajaan Banjar
Sultan Suriansyah merupakan raja
pertama dari Kerajaan Banjar dan raja pertama yang memeluk agama Islam. Agama
Islam merupakan agama Negara dan menempatkan kedudukan para ulama pada tempat
yang terhormat dalam Negara. Kedudukan agama Islam sebagai agama Negara
terlihat dengan jelas pada masa pemerintahan Sultan Adam Al-Wasik Billah yang
mengeluarkan Undang-Undang Negara pada tahun 1835 yang kemudian dikenal sebagai
Undang-Undang Sultan Adam, yang mana dalm Undang-Undang tersebut
terlihat jelas bahwa sumber hukum yang dipergunakan adalah hukum Islam. Oleh
karena itu, kerajaan Banjar disebut juga sebagai kerajaan Islam, dan oleh karena
itu pulalah urang Banjar dikenal sebagai orang yang beragama Islam.
Kerajaan Banjar adalah kerajaan
terakhir yang pernah ada di daerah Kalimantan Selatan. Kerajaan tertua yang
pernah ada adalah kerajaan Tanjungpura atau Tanjungpuri, sebuah kerajaan migrasi
orang-orang Melayu dengan membawa unsur kebudayaan Melayu dengan menggunakan
bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi. Banyak pendapat yang berbeda tentang
dimana lokalisasi kerajaan Tanjungpura ini. Salah satu diantaranya ada yang
berpendapat bahwa Tanjungpura merupakan kota Tanjung ibukota Kabupaten Tabalong
sekarang ini.[2][2] J.J. Ras menyebutkan bahwa Tanjung merupakan sebuah
daerah tempat imigrasi Melayu yang pertama ke Kalimantan. Mpu Prapanca
menyebutkan dalam Negarakartagama (1365) dengan nama Nusa Tanjung Negara dan
ini identik dengan Pulau Hujung Tanah, dengan kota terpenting adalah
Tanjungpuri. Pada bagian llain Mpu Prapanca menyebutkan nama Bakulapura adalah
nama lain dari bahasa Sanskerta untuk menyebutkan nama Tanjungpura. Kalau
kerajaan Tanjungpura merupakan migrasi Orang Melayu Sriwijaya, hal ini berarti
puela ahwa ke daerah ini telah masuk unsur kebudayaan agama Budha sebagai agama
dari kerajaan Sriwijaya. Migrasi Melayu ke Kalimantan diperkirakan antara abad
ke 12-13 Masehi.
Dalam abad ke-16 muncul perkembangan
baru dengan lahirnya kerajaan Banjar yang bercorak Islam di Kalimantan Selatan.
Kerajaan Banjar berkembang pesat sampai abad ke-19 merupakan kerajaan Islam
merdeka dengan nation baru bangsa Banjar sebagai warganegara dari sebuah kerajaan
(1859-1915) maka bangsa Banjar sebagai warganegara dari sebuah kerajaan merdeka
juga ikut lenyap, dan turun derajatnya menjadi bangsa jajahan dan kemudian
dikenal sebagai Urang Banjar atau Orang Banjar.[3][3]
C.
Wilayah Kekuasaan
Selain wilayah kerajaan negara daha yang di takhlukan oleh raden
samudra wilayah kesultanan ada beberapa
wilayah. Menurut Medwar saleh ( 1978:18
yang di kutif di edham edesi 2003 dan di muat
dalam melayu.com) di adakanya
perjanjian antara Belanda dan Kerajaan Banjar yang kala itu di perintah oleh
Sultan Adam al wasik billah yang membagi
wilayah banjar menjadi 4 bagian yaitu:
1.
Terletak di
sebelah kanan Sungai Martapura –Kalayan, sebelah pinggir kanan Sungai Kuwin dan
Barito dimana disini terletak bekas
istana Banjar yang telah hancur karena serangan Belanda.
2.
Di Sungai
Martapura meliputi Sungan Riam Kanan dan Riam Kiwa.
3.
Wilayah banua
ampat meliputi Banua Halat, Banua Gadung, Parigi, Lawahan-Tabaruntung dan di Lawahan mengalir
Sungai Muning
4.
Dan di wilayah
banua lima meliputi Nagara, Amountai, Alabio, Kaula dan Sungai Banar
D.
Raja-raja Keranaan Banjar (Sultan
Banjar)
1. Sultan Suriansyah (1520-1546). Nama kecil Raden Samudra.
Raja Banjar pertama yang memindahkan pusat pemerintahan di Kampung Banjarmasih
(Kuin) menggantikan Maharaja Tumenggung (Raden Panjang), Dia ahli waris yang
sah sesuai wasiat kakeknya Maharaja Sukarama (Raden Paksa) dari Kerajaan Negara
Daha dibantu Mangkubumi Aria Taranggana. Raden Samudera memeluk Islam pada
24 September 1526. Makamnya di Kompleks Makam Sultan Suriansyah dengan gelar
anumerta Sunan Batu Habang. Dalam agama lama, Pangeran Samudra dianggap hidup
membegawan di alam gaib sebagai sangiang digelari Perbata Batu Habang.
2. Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah (1546-1570).
Pemerintahannya dibantu mangkubumi Aria Taranggana. Makamnya di Kompleks Makam
Sultan Suriansyah dengan gelar anumerta Panembahan Batu Putih.
3. Sultan Sultan Hidayatullah I bin Rahmatullah (1570-1595).
Pemerintahannya dibantu mangkubumi Kiai Anggadipa. Makamnya di Kompleks Makam
Sultan Suriansyah dengan gelar anumerta Panembahan Batu Irang. Trah
keturunannya menjadi raja-raja Taliwang dan sultan-sultan Sumbawa.
4. Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah I (1595-1638).
Nama kecil Raden Senapati. Dia bukan anak dari permaisuri meskipun merupakan
anak tertua. Pemerintahannya dibantu mangkubumi Kiai Jayanagara dilanjutkan
sepupunya Kiai Tumenggung Raksanagara. Gelar lain Gusti Kacil/Pangeran
Senapati/Panembahan Marhum/Raja Maruhum dan gelar Marhum Panembahan.
Sultan Mustain memindahkan ibukota kerajaan ke Martapura. Oleh Suku Dayak yang
menghayati Kaharingan, Mustain dianggap hidup sebagai sangiang di Lewu Tambak
Raja, dan dikenal sebagai Raja Helu Maruhum Usang. Trah keturunannya menjadi
raja-raja Kotawaringin, Tanah Bumbu dan Bangkalaan.
5. Sultan Inayatullah bin Mustainbillah (1638 -1645).
Pemerintahannya dibantu adiknya Pangeran di Darat sebagai mangkubumi. Gelar
lain Ratu Agung/Ratu Lama dimakamkan di Kampung Keraton, Martapura. Adiknya
Pangeran Dipati Anta Kasuma diangkat menjadi raja muda di wilayah sebelah barat
yang disebut Kerajaan Kotawaringin
6. Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah (1645-1660). Nama
kecilnya Raden Kasuma Alam. Pemerintahannya dibantu mangkubumi pamannya
Panembahan di Darat, dilanjutkan pamannya Pangeran Dipati Anta Kasuma,
dilanjutkan paman tirinya Pangeran Dipati Mangkubumi (Raden Halit). Gelar lain
Saidullah adalah Wahidullah/Ratu Anum/Ratu Anumdullah.
7. Sultan Ri’ayatullah/Tahalidullah bin Sultan Mustainbillah
(1660-1663). Nama kecilnya Raden Halit. Dia menjadi pelaksana tugas bagi Raden
Bagus Kasuma, putra mahkota yang belum dewasa. Sebagai Penjabat Sultan dengan
gelar resmi dalam khutbah Sultan Rakyatullah (Rakyat Allah). Pemerintahannya
dibantu mangkubumi keponakan tirinya Pangeran Mas Dipati. Tahun 1663 dia
dipaksa menyerahkan tahta kepada kemenakannya Pangeran Dipati Anom II/Sultan
Agung yang berpura-pura akan menyerahkan tahta kepada Putra Mahkota Raden Bagus
Kesuma, tetapi ternyata untuk dirinya sendiri yang hendak menjadi sultan.
8. Sultan Amrullah bin Sultan Saidullah (1663-1679). Nama kecil
Raden Bagus Kasuma. Masa pemerintahannya sering ditulis tahun 1660-1700. Pada
tahun 1660-1663 dia diwakilkan oleh Sultan Rakyatullah dalam menjalankan
pemerintahan karena dia belum dewasa. Tahun 1663 paman tirinya Pangeran Dipati
Anom II/Sultan Agung merampas tahta dari Sultan Rakyatullah yang semestinya
dirinyalah sebagai ahli waris yang sah sebagai Sultan Banjar berikutnya. Tahun
1663-1679 sebagai raja pelarian dia memerintah dari pedalaman (Alay).
9. Sultan Agung/Pangeran Suryanata II bin Sultan Inayatullah
(1663-1679). Nama kecil Raden Kasuma Lalana. Mengkudeta kemenakannya
Raden Bagus Kasuma sebagai Sultan Banjar. Dengan bantuan suku Biaju,
memindahkan pusat pemerintahan ke Sungai Pangeran (Banjarmasin).
Pemerintahannya dibantu sepupunya Pangeran Aria Wiraraja, putera Pangeran Ratu.
Sebagai raja muda ditunjuk adik kandungnya, Pangeran Purbanagara. Dia berbagi
kekuasaan dengan paman tirinya Pangeran Ratu (Sultan Rakyatullah) yang kembali
memegang pemerintahan Martapura sampai mangkat pada 1666. Gelar lain
Pangeran Dipati Anom II.
10. Sultan
Amrullah (Raden Bagus Kasuma) bin Sultan Saidullah (1679-1700). Sempat lari ke daerah
Alay (1663-1679) kemudian menyusun kekuatan dan berhasil membinasakan pamannya
tirinya Sultan Agung/Ratu Lamak beserta anaknya Pangeran Dipati/Ratu Agung
(Raja Negeri Nagara), kemudian naik tahta kedua kalinya. Saudara tirinya
Pangeran Dipati Tuha (Raden Basus) diangkat sebagai Raja Negeri Tanah Bumbu
dengan wilayah dari Tanjung Silat sampai Tanjung Aru.
11. Sultan
Tahmidullah I/Sultan Tahlilullah/Sultan Surya Alam bin Sultan Amrullah
(1700-1717). Gelar lain Panembahan Kuning. Mangkubumi dijabat adiknya
Panembahan Kasuma Dilaga
12. Panembahan
Kasuma Dilaga bin Sultan Amrullah (1717-1730).
13. Sultan
Hamidullah/Sultan Ilhamidullah bin Sultan Tahlilullah/Sultan Tahmidullah I
(1730-1734). Gelar lain Sultan Kuning atau Pangeran Bata Kuning. Panglima
perang dari La Madukelleng yang menyerang Banjarmasin pada tahun 1733.
14. Sultan
Tamjidullah I bin Sultan Tahlilullah/Sultan Tahmidullah I (1734-1759). Gelar
lain Sultan Sepuh/Panembahan Badarulalam. Bertindak sebagai wali Putra Mahkota
Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah yang bergelar Ratu Anom yang belum
dewasa. Tamjidullah I yang bergelar Sultan Sepuh berusaha Sultan Banjar tetap
dipegang pada dinasti garis keturunannya. Adiknya Pangeran Nullah dilantik
sebagai mangkubumi. Tamjidullah I mangkat 1767.
15. Sultan
Muhammadillah/Muhammad Aliuddin Aminullah bin Sultan Hamidullah (1759-1761).
Menggantikan mertuanya Sultan Sepuh/Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar.
Setelah itu Sultan Sepuh tidak lagi memakai gelar sultan tetapi hanya sebagai
panembahan. Gelar lain Sultan Muhammadillah/Sultan Aminullah/Muhammad
Iya’uddin Aminullah/Muhammad Iya’uddin Amir Ulatie ketika mangkat anak-anaknya
masih belum dewasa tahta kerajaan kembali di bawah kekuasaan Tamjidillah I
tetapi dijalankan oleh anaknya Pangeran Nata Dilaga sebagai wali Putra Mahkota.
16. Sultan
Tahmidullah II/Sultan Nata bin Sultan Tamjidullah I (1761-1801). Semula sebagai
wali Putra Mahkota dengan gelar Panembahan Kaharuddin Halilullah. Pemerintahan
dibantu oleh Perdana Menteri/mangkubumi Ratu Anom Ismail. Gelar lain
Susuhunan Nata Alam (1772) Pangeran Nata Dilaga/Pangeran Wira Nata/Pangeran
Nata Negara/Akamuddin Saidullah(1762)/Amirul Mu’minin Abdullah (1762)
Sulaiman Saidullah I (1787) Panembahan Batu (1797) =Panembahan Anom. Mendapat
bantuan VOC untuk menangkap Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin
Aminullah yang menuntut tahta dengan bantuan suku Bugis-Paser yang gagal. Dia
kemudian menjalin hubungan dengan suku Bakumpai dan akhirnya ditangkap Kompeni
Belanda 14 Mei 1787 dan diasingkan ke Srilangka.
17. Sultan
Sulaiman al-Mutamidullah/Sultan Sulaiman Saidullah II bin Tahmidullah II
(1801-1825). Mendapat gelar Sultan Muda atau Pangeran Ratu Sultan Sulaiman
sejak tahun 1767 ketika berusia 6 tahun. Dibantu adiknya Pangeran Mangku Dilaga
dengan gelar Ratu Anum Mangku Dilaga sebagai mangkubumi (dihukum bunuh karena
merencanakan kudeta), dilanjutkan puteranya Pangeran Husin Mangkubumi Nata bin
Sultan Sulaiman. Sultan Sulaiman digantikan anaknya Sultan Adam. Trah
keturunannya menjadi raja di Kerajaan Kusan, Batoe Litjin dan Poelau Laoet.
Hindia Belanda yang jatuh ke tangan Inggris dan melepaskan kekuasaannya
di Banjarmasin. Hindia Belanda datang kembali ke Banjarmasin menegaskan
kekuasaannya.
18. Sultan
Adam Al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mutamidullah (1825-1857). Baginda
mendapat gelar Sultan Muda sejak tahun 1782. Pemerintahannya dibantu adiknya
Pangeran Noh dengan gelar Ratu Anum Mangkubumi Kencana sebagai mangkubumi yang
dilantik Belanda pada 7 September 1851, dan Pangeran Abdur Rahman sebagai
Sultan Muda. Ketika mangkat terjadi krisis suksesi dengan tiga kandidat
penggantinya yaitu Pangeran Prabu Anom, Pangeran Tamjidullah II dan Pangeran
Hidayatullah II. Belanda sebelumnya sudah mengangkat Tamjidullah II sebagai
Sultan Muda sejak 8 Agustus 1852 yang juga merangkap jabatan mangkubumi
dan kemudian menetapkannya sebagai sultan Banjar. Sehari kemudian
Pangeran Tamjidillah II menandatangani surat pengasingan. Kandidat sultan
lainnya pamannya Pangeran Prabu Anom yang diasingkan ke Bandung pada 23
Februari 1858. Sebelumnya Sultan Adam sudah mengutus surat ke Batavia agar
pengangkatan Tamjidullah II dibatalkan. Sultan Adam sempat membuat surat wasiat
yang menunjuk cucunya Hidayatullah II sebagai Sultan Banjar sebagai
penggantinya. Inilah yang menjadi dasar perlawanan segenap bangsawan terhadap
Hindia Belanda.
19. Sultan
Tamjidullah II al-Watsiq Billah bin Pangeran Sultan Muda Abdur Rahman bin
Sultan Adam (1857-1859). Pada 3 November 1857 Tamjidullah II diangkat Belanda
menjadi Sultan Banjar, padahal dia anak selir meskipun sebagai anak tertua.
Belanda kemudian mengangkat Hidayatullah II sebagai mangkubumi. Pengangkatan
Tamjidullah II ditentang segenap bangsawan karena menurut wasiat semestinya
Hidayatullah II sebagai Sultan, karena dia anak permaisuri. Pada 25 Juni 1859,
Belanda memakzulkan Tamjidullah II sebagai Sultan Banjar dan mengirimnya
ke Bogor.
20. Sultan
Hidayatullah II bin Pangeran Sultan Muda Abdur Rahman bin Sultan Adam
(1859-1862). Hidayatullah II satu-satunya pemimpin negeri Banjar sesuai wasiat
Sultan Adam. Sebelumnya sebagai mangkubumi dia diam-diam menjadi oposisi
Tamjidullah II, misalnya dengan mengangkat Adipati Anom Dinding Raja (Jalil)
sebagai tandingan Raden Adipati Danu Raja yang berada di pihak Belanda/Sultan
Tamjidullah II. Perjuangan Hidayatullah II dibantu oleh Demang Lehman. Ketika
mengunjungi Banua Lima, dia dilantik oleh rakyat Banua Lima sebagai Sultan
Banjar, dan Pangeran Wira Kasuma sebagai mangkubumi. Pada 11 Juni 1860, Residen
I.N. Nieuwen Huyzen mengumumkan penghapusan Kesultanan Banjar. Hidayatullah II
pada 2 Maret 1862 dibawa dari Martapura dan diasingkan ke Cianjur.
21. Pangeran
Antasari bin Pangeran Masohut bin Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin
Aminullah (1862). Pada 14 Maret 1862 atau 11 hari setelah Pangeran
Hidayatullah II diasingkan ke Cianjur, diproklamasikan pengangkatan
Pangeran Antasari sebagai pimpinan tertinggi kerajaan Banjar dengan gelar
Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. Antasari dibantu Tumenggung
Surapati sebagai panglima perang. Pusat perjuangan di Menawing, pedalaman
Barito, Murung Raya, Kalteng. Antasari dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional dan
wafat 11 Oktober 1862 di kampung Sampirang, Bayan Begak, Puruk Cahu karena
penyakit cacar. Jenazahnya dimakamkan kembali 11 November 1958 di Kompleks
Makam Pangeran Antasari, Banjarmasin.
22. Sultan
Muhammad Seman bin Pangeran Antasari Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin
(1862-1905). Sebagai kepala Pemerintahan Pagustian meneruskan perjuangan
ayahnya Pangeran Antasari melawan kolonial Belanda dibantu kakaknya Panembahan
Muda/Gusti Muhammad Said sebagai mangkubumi dan Panglima Batur sebagai panglima
perang. Dia melantik menantunya Pangeran Perbatasari bin Pangeran Muhammad Said
sebagai Sultan Muda. Dia sempat mengirim Bukhari ke Kandangan untuk mengadakan
perlawanan terhadap Belanda. Muhammad Seman gugur pada 24 Januari 1905 ditembak
Belanda yang mengakhiri Perang Banjar. Perlawanan terhadap kolonial dilanjutkan
oleh Gusti Berakit, putera Sultan Muhammad Seman. Negeri Banjar menjadi
sepenuhnya di bawah pemerintahan Residen Belanda dilanjutkan Gubernur Haga,
Pimpinan Pemerintahan Civil, Pangeran Musa Ardi Kesuma (Ridzie Zaman Jepang).
Ir H Muhammad Noor (Gubernur Kalimantan I/sekarang menjadi Provinsi Kalimantan
Selatan), juga sempat dinobatkan sebagai pangeran untuk menduduki dan
menghidupkan jabatan Kesultanan Banjar, namun perjuangan fisik melawan
Belanda/NICA di masa revolusi serta kesibukannya sebagai menteri PPU di Jakarta
di masa Presiden Soekarno tidak memungkinkan beliau untuk membangkitkan kembali
Kesutanan Banjar.
23. Pangeran
Khairul Saleh, trah Sultan Sulaiman (2010-sekarang). Setelah lama
mengalami kevakuman, para zuriat Kesultanan Banjar bertekad untuk menghidupkan
kembali Kesultanan Banjar. Maka melalui musyawarah Tinggi Adat para zuriat yang
tergabung dalam Lembaga Adat dan Kekerabatan Kesultanan Banjar (LAKKB),
pada 24 Juli 2010 resmi menganugerahkan gelar Pangeran dan menobatkan Gusti
Khairul Saleh (Bupati Kabupaten Banjar 2005-2015) sebagai Raja Muda.
E.
Sistem Pemerintahan Kerajaan Banjar
Sejak awal didirikanya kesultanan banjar telah menjalin ikatan
dengan kesultanan Demak di Jawa. Hubungan tersebut adalah salah satu sikap
politik yang diambil oleh Sultan Samudra untuk menghindari ancama dari luar misalnya penduduk pedalaman
Kalimantan Selatan. Selain itu sikap yang menempatkan agama Islam sebagai agama
resmi di Banjar hal tersebut agar Kesultanan Banjar mudah dalam menjalin
hubungan dengan kerajaan Islam di Nusantara. Dan sistem pemerintahan Banjar mirip
dengan sistem kesultanan di Jawa yang mana kraton merupakan miniatur
kosmis yang raja atau sultan sebagai pusatnya. Raja diganti oleh puteranya, sedangkan jabatan Mangkubumi
(jabatan tertinggi setelah raja) diputuskan dari rakyat biasa yang mempunyai
jasa besar terhadap kerajaan. Saudara raja dapat menjadi Adipati (raja kecil di
daerah kekuasaan/taklukan) tetapi mereka tetap di bawah Mangkubumi. Kaum
bangsawan yang bergelar Pangeran dan Raden boleh selalu ikut serta dalam sidang
membicarakan masalah negara dan ikut serta memberikan kesejahteraan bagi
rakyat. Mangkubumi dalam perkembangannya disebut juga Perdana Menteri kemudian
berkembang pula sebutan Wazir, ketiga sebutan ini memiliki tingkat jabatan yang
sama hanya berbeda nama. Sebutan untuk sultan dalam penyebutan acara resmi
adalah Yang Mulia Paduka Seri Sultan. Calon pengganti Sultan disebut Pangeran
Mahkota, pada masa pemerintahan Sultan Adam disebut Sultan Muda.[4][4]
Sistem pemerintahan kesultanan banjar
juga mengatur tentang perdagangan di banjar,dimana sultan mengangkat seorang
kepala pelabuhan yang sering di sebut dengan kiai pelabuahan yanag mengatur
perdagangan dalan wilayah banjar dan seorang Syahbandar yang mengatur
perdagangan luar negeri. Dan menurut Amir hasan kiai bondan (yang di kutif di
dalam edham ae al eds 2003 di melayu .com)
pada saat banjar di perintah oleh Sultan Adam Al Wasik Billah (awal abad
19) terjadi perubahan sistem pemerintahan yang menghasilkan beberapa jabatan
yaitu:
a. Mufti adalah
hakim tertinggi
b. Qadi adalah
kepala urusan agama
c. Penghulu adalah
hakim rendah
d. Lurah adalah
pembantu lalawangan (kepala distrik)
e. Pembakal adalah
kepala kampung
f. Mentri adalah
orang yangberjasa
g. Tutliakampung
adalah orang yang terkemuka
h. Panakwan adalah
orang kepercayaan sulatan yang bebas dari pajak.
F.
Kehidupan Sosial Budaya
Dalam kehidupan masyarakat
Banjar terdapat susunan dan
peranan sosial yang
berbentuk limas (lapisan).
Lapisan paling atas
adalah golongan penguasa
yang merupakan golongan
minoritas. Mereka adalah
kaum bangsawan atau
“bubuhan raja-raja”. Penghargaan masyarakat terhadap
golongan bangsawan ini
sesuai dengan derajat
kebangasawanannya. Mereka, secara turun-temurun, menjadi golongan terhormat
dan berdarah bangsawan, serta mempunyai
gelar-gelar seperti sultan,
pangeran, ratu, gusti,
andin, antung, dan
nanang. Golongan ini mempunyai hak memungut cukai dari hasil bumi, hasil
pertanian, perikanan dan lain-lain.
Golongan kedua adalah pejabat kerajaan, ulama-ulama, mufti,
dan penghulu. Golongan ini langsung berhubungan dengan penduduk. Segala macam
barang yang mereka beli dari masyarakat dan di bayar dengan uang. Mufti sebagai
pejabat formal mengurus segala perkara hukum pada tingkat tinggi. Sementara
ulama-ulama menyampaikan ajaran agama islam.
Golongan ketiga merupakan golongan terbesar, yaitu rakyat
biasa. Mereka itu adalah golongan yang hidup dari bertani dan perdagangan
kecil-kecilan, nelayan, kerajinan, industri, dan pertukangan.
Golongan bawah adalah
golongan pandeling. Golongan pandeling adalah mereka
yang kehilangan setengah kemerdekaan
akibat hutang-hutang yang
tak dapat mereka
bayar. Biasanya, merekalah yang
menjalankan perdagangan dari
golongan bangsawan atau pedagang-pedangan kaya.
Golongan ini berakhir
pada abad ke-19,
seiring dengan dihapuskannya
Kerajaan Banjar oleh Belanda.
Berkaitan dengan kehidupan budaya, telah berkembang beberapa
corak seni dan sastra. Saat itu,
Banjar telah memiliki
gamelan yang dipukul
dengan lemah lembut,
seni sastra berkembang dengan
menggunakan huruf Arab
Melayu (Jawi), dan
kemungkinan, juga telah berkembang suatu
seni, hasil perpaduan
antara tonil Melayu dan
cerita Seribu Satu
Malam. Seni ukir berkembang
karena adanya kebiasaan
para bangsawan dan
orang kaya untukmembuat rumah secara mewah, yang
dipenuhi dengan ukiran indah. Corak seni lain yang jugatelah berkembang dan
amat kuat dipengaruhi kebudayaan Islam adalah mahidin dan balamut. Ini semua
menunjukkan bahwa, di
Kerajaan Banjar telah
berkembang suatu seni
budaya dengan coraknya yang khas.[5][5]
G.
Masuknya Pengaruh Belanda
Banjarmasin sebagai ibukota Kesultanan
Banjar mulai berkemban menjadibandar perdagangan yang besar. Para pedagang dari
berbagai suku datang ke Banjarmasin untuk mencari berbagai barang dagangan
seperti ladahitam, rotan, damar, emas, intan, madu, dan kulit binatang (Ideham,
2007:20). Khusus lada hitam, komoditi yang satu ini saat itu menjadi primadona
dalam perdagangan internasionalSelain berfungsi sebagai bandar perdagangan,
penduduk di Banjarmasin (Orang Banjar) juga banyak yang berstatus sebagai
pedagang. Mereka juga melakukan perdagangan sampai ke Pulau Jawa, tepatnya ke
pelabuhan Bantam (Banten). Lewat perdagangan tersebut, informasi tentang bandar
perdagangan di Banjarmasin sampai ke telinga orang Belanda. Kontak awal antara
para pedagang Banjar dengan Belanda terjadi sekitar tahun 1596 M, ketika Orang Banjar berdagang
ke Banten. Dari sinilah Belanda tahu bahwa di Banjarmasin terdapat komoditi
lada hitam yang mempunyai nilai ekonomi
tinggi di pasaran internasional.
Pertemuan dengan para pedagang Banjar tersebut kemudian berlanjut
dengan pengiriman ekspedisi oleh Belanda
ke Kesultanan Banjar pada tahun 1603 M di bawah pimpinan Admiral van Wouwijck.
Tujuan pengiriman ekspedisi tersebut adalah untuk menjalin hubungan perdagangan antara Belanda dan Sultan Mustain
Billah. Pada tanggal 14 Februari 1606, Belanda kembali mengirimkan ekspedisi ke
Kesultanan Banjar, tetapi ekspedisi
kedua ini gagal karena semua orang Belanda yang turut dalam ekspedisi kali ini
dibunuh oleh Orang Banjar.
Terbunuhnya
orang-orang Belanda oleh Orang Banjar membuat Belanda semakin berambisi untuk
memaksakan hubungan dagang, bahkan jika perlu menguasai Kesultanan Banjar. Maka
dikirimlah ekspedisi ketiga pada tahun 1612 M. Menurut Irwin (dikutip dalam
Ideham, 2007:21 dan dimuat dalam melayu.com), ekspedisi kali ini diperkuat
dengan pengiriman kapal perang, yaitu de Hzewind, de Brack, de Halve Maan, dan
Klein van de Veer. Akibat serbuan Belanda, Sultan Mustain Billah terpaksa
memindahkan pusat pemerintahan ke Martapura. Upaya Belanda untuk menjalin
hubungan dagang dengan Kesultanan Banjar lewat ekspedisi pada tahun 1612 tidak
sepenuhnya berhasil. Sekitar tahun 1635, Belanda memaksa Sultan Ratu Agung bin
Marhum Penembahan yang bergelar Sultan Inayatullah untuk menandatangani
perjanjian monopoli lada hitam dengan harga yang ditetapkan oleh Belanda.
Perjanjian tersebut tidak berjalan lancar karena pada tahun 1638 orang-orang
Belanda dibunuh dan kapal-kapal perangnya ditenggelamkan oleh Orang Banjar.
H.
Pengaruh Belanda di Kesultanan
Banjar
Sulitnya
menjalin hubungan dengan Kesultanan Banjar membuat Belanda bersiasat untuk
menunggu tanpa mengurangi gairahnya untuk menguasai perdagangan lada hitam di
Kesultanan Banjar. Siasat Belanda ini menemukan waktu yang tepat ketika terjadi
perebutan tahta kepemimpinan di Kesultanan
Banjar, antara Pangeran Muhammad Aminullah, anak dari Sultan Kuning dengan
Hamidullah, adik dari Sultan Kuning. Perebutan tahta diawali ketika Sultan
Kuning wafat pada tahun 1734 M dengan meninggalkan seorang puter yang masih
berusia sekitar 5 tahun yang bernama Muhammad Aminullah. Sebagai pengampu tahta
sementara, ditunjuk adik Sultan Kuning bernama Hamidullah, yang setelah
diangkat, bergelar Sultan Tamjidillah I. Setelah Muhammad Aminullah dewasa dan
meminta tahta Kesultanan Banjar, ternyata Sultan Tamjidillah I tidak memberikan
hak tersebut kepada Muhammad Aminullah. Muhammad Aminullah bahkan hanya
diberikan jabatan mangkubumi dan dikawinkan dengan puteri sulung Sultan
Tamjidillah I. Belanda yang sejak awal berniat untuk menanamkan pengaruh di
Kesultanan Banjar melihat peluang untuk mendekati salah satu pihak dalam
perebutan tahta. Belanda akhirnya mendekati Sultan Tamjidillah I. Berkat
bantuan dari Belanda, Muhammad Aminullah terus dipojokkan dengan cara ditahan
di istana. Tetapi pada tahun 1753 M, Muhammad Aminullah berhasil melarikan diri
ke Tabanio, suatu daerah yang terletak di Tanah Laut, ujung selatan dari
Kalimantan Selatan yang menghadap ke barat laut Jawa. Di tempat tersebut,
Muhammad Aminullah berkomplot dengan beberapa bajak laut dan membangun markas
perlawanan dengan tujuan awal mengacaukan jalur perdagangan dari dan menuju ke
Kesultanan Banjar. Sebagai balasan atas jasanya dalam mendesak Muhammad
Aminullah untuk keluar dari istana, Belanda memaksa Sultan Tamjidillah I untuk
menandatangani perjanjian perdagangan lada
hitam pada tahun 1747 M dan izin untuk mendirikan kota di Tabanio. Belanda yang telah
menanamkan pengaruh di Kesultanan
Banjar, melalui siasat politiknya, juga menjalin hubungan dengan Muhamamad Aminullah
yang telah bergabung dengan komplotan bajak laut di Tabanio. Belanda melihat
kekuatan kelompok Muhammad
Aminullah untuk memotong jalur
perdagangan di Kesultanan
Banjar mempunyai akibat yang
cukup besar.
Salah satu
rencana Belanda untuk menguasai
perekonomian lada hitam bisa menjadi
kacau jika terus menerus mendapat gangguan dari Muhammad Aminullah. Inilah
alasan Belanda untuk mendekati Muhammad Aminullah. Belanda bahkan menawarkan
bantuan kepada Muhammad Aminullah untuk kembali meminta haknya sebagai pewaris
tahta di Kesultanan Banjar. Sikap Belanda dengan memihak kedua kubu dibuktikan
ketika Belanda yang diwakili oleh J.A. Paraficini membuat surat perjanjian
dengan Sultan Tamjidillah I pada tanggal 20 Oktober 1756. Seminggu kemudian,
tepatnya pada tanggal 27 Oktober 1756, Paraficini juga membuat perjanjian
dengan Muhammad Aminullah di Tabanio (Kayutangi, Tatas). Dalam pernyataannya,
Paraficini menjanjikan kepada Sultan Tamjidillah bahwa Belanda akan cenderung
memberikan dukungan (bantuan) kepada SultanTamjidillah I. Tetapi pada
kesempatan lain, Paraficini juga memberikan pernyataan yang sama kepada
Muhammad Aminullah. Siasat Belanda yang didasari oleh kekhawatiran atas
kekuatan Muhamma Aminullah, ternyata menemukan jawaban. Dengan laskar yang
sangat besar, Muhammad Aminullah menyerang
Sultan Tamjidillah I pada tanggal 2 Agustus 1759. Atas dasar serangan inilah,
Sultan Tamjidillah terpaksa menyerahkan tahta Kesultanan Banjar kepada
Muhammad Aminullah yang akhirnya ditabalkan sebagai sultan pada tanggal
3 Agustus 1759. Masa pemerintahan Sultan
Muhammad Aminullah berlangsung sangat singkat karena pada tanggal 16 Januari
1971 beliau meninggal dunia. Sebagaimana halnya dengan ayahnya, Sultan Kuning,
di akhir hayatnya Sultan Muhammad Aminullah juga meninggalkan dua orang putera yang masih
kecil, bernama Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir . Dengan alasan belum cukup
umur untuk mengampu jabatan sultan, maka jabatan wali sultan di Kesultanan
Banjar untuk sementara diserahkan kepada Pangeran Nata Dilaga, anak Sultan
Tamjidillah I, yang bergelar Sultan Tahmidillah
Seperti ayahnya, Sultan Tahmidillah II juga memutuskan secara sepihak
dengan menyatakan bahwa pengganti dirinya kelak sebagai sultan di Kesultanan
Banjar bukan Pangeran Abdullah maupun Pangeran Amir, melainkan puteranya yang
bernama Sulaiman (Suleman) Saidullah. Pernyataan tersebut disampaikan oleh
Sultan Tahmidillah II selepas sembahyang Jumat pada bulan Januari 1767. Dengan
pernyataan tersebut, maka peluang bagi Pangeran Abdullah maupun Pangeran Amir
untuk menduduki tahta di Kesultanan Banjar praktis telah tertutup.Pada usia
sekitar 18 tahun (1772 M), bersama seorang Belanda bernama W.A. Palm, Pangeran
Abdullah berencana untuk merebut kembali tahta Kesultanan Banjar. Perencanaan
tersebut ternyata memerlukan waktu yang cukup lama sampai akhirnya siap untuk
dijalankan. Akan tetapi rencana penyerbuan ke Kesultanan Banjar ternyata telah
tercium oleh Sultan Tahmidillah II. Dengan berpura-pura mengundang jamuan makan
malam, Pangeran Abdullah diracun, dicekik, dan dibunuh oleh kaki-tangan Sultan
Tahmidillah II. Kejadian ini berlangsung pada tanggal 16 Maret 1772.
Pembunuhan
terhadap Pangeran Abdullah ternyata berimbas langsung terhadap Pangeran Amir.
Atas dasar kebijakan agar tidak mengobarkan pemberontakan serupa, Sultan
Tahmidillah II memaksa secara halus
kepada Pangeran Amir untuk meninggalkan Kesultanan Banjar (Banjarmasin). Pada
tahun 1782 M, Pangeran Amir meninggalkan Banjarmasin menuju ke daerah yang
bernama Pasir daerah tersebut terdapat paman beliau, seorang keturunan Bugis
bernama Arung Turawe (Torawe). Arung Torawe adalah saudara dari ibu Pangeran
Amir yang merupakan seorang puteri berdarah Bugis. Pangeran Amir menyusun
kekuatan di Pasir dengan Arung Turawe untuk merebut tahta di Kesultanan Banjar.
Rencana untuk menyerang Kesultanan Banjar akhirnya dilaksanakan pada bulan
Oktober 1785 M. Pasukan Pangeran Amir dan Arung Turawe yang terdiri dari
sekurangnya 60 kapal mendarat di Tabanio dan mulai merebut benteng-benteng yang
termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Banjar (Sjamsuddin, 2001:30-31
di muat di melayu.com)
Di sisi lain,
kekuatan Kesultanan Banjar mulai bertambah karena mendapat bantuan dari
Belanda. Gabungan kekuatan antara Sultan Tahmidillah II dan Belanda pada
akhirnya berhasil mematahkan perlawanan yang dilakukan oleh orang-orang Bugis
dan Pangeran Amir dalam suatu perang pada tanggal 14 Maret 1786. Pangeran Amir
akhirnya ditangkap dan diasingkan ke Ceylon (Srilanka) pada tahun 1789 M.
Setelah perang, Belanda meminta sejumlah kompensasi kepada Sultan Tahmidillah
II berupa lada, emas, permata (intan), serta izin untukmendirikan kantor di
Tabanio, Hulu sungai, Pulau Kaget, dan Tatas. Perjanjian antara Kesultanan
Banjar yang diwakili oleh Sultan Tahmidillah II dan Belanda yang diwakili oleh
Kapten Christoffel Hoffman ditandatangani pada tanggal 13 Agustus 1787. Dalam
perjanjian pada tanggal 13 Agustus 1787, salah satu poin penting yang
menunjukkan bahwa Belanda telah menanamkan pengaruh yang kuat di Kesultanan
Banjar adalah pengalihan kedaulatan atas Kesultanan Banjar kepada Belanda dan
penyerahan bagian-bagian penting dari Kesultanan Banjar yang kemudian menjadi
wilayah Belanda. Daerah tersebut, menurut Pasal 6 perjanjian 13 Agustus 1787,
membentang dari pantai Timur Kalimantan ke barat, termasuk Pasir, Pulau Laut,
Tabanio, Mendawai, Sampit, Pembuang, dan Kota Waringin dengan lingkungan
sekitar dan daerah taklukannya, serta sebagian dari desa Tatas Pada tahun 1801
M, Sultan Tahmidillah II meninggal dunia. Sebagai pengganti kedudukan Sultan
Tahmidillah II, pada tahun1801, putera beliau bernama Sulaiman (Suleman)
Saidullah ditabalkan sebagai sultan di Kesultanan Banjar dengan gelar Sultan
Suleman Almutamidullah bin Sultan Tahmidillah II (1801 - 1825) .
Pada tahun 1825
M, Sultan Suleman mengundurkan diri sebagai sultan dan digantikan oleh
puteranya yang bergelar Sultan Adam Al Wasik Billah (1825-1857). Pada masa
pemerintahan Sultan Adam Al Wasik Billah, dikeluarkan suatu undang-undang
negara pada tahun 1835 M yang dikenal sebagai Undang-undang Sultan Adam. Di
dalam Undang-undang tersebut, terlihat sangat jelas bahwa sumber hukum di dalam
Kesultanan Banjar bersumberkan pada hukum Islam. Oleh karena itulah kerajaan
Banjar disebut sebagai kerajaan Islam dan Banjar dikenal sebagai orang yang
beragama Islam.
I.
Masa Perlawan Terhadap Belanda
Akar permasalahan perlawanan terhadap
Belanda dimulai dari perebutan tahta. Perebutan ini diawali dari meninggalnya
putera mahkota Kesultanan Banjar, Sultan Muda Abdurrahman, pada tahun 1852 M.
Meninggalnya putera mahkota meninggalkan bibit-bibit perpecahan di Kesultanan Banjar.
Pihak-pihak yang bertikai terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu pertama, Pangeran Tamjidillah yang
mempunyai kedekatan dengan Belanda. Beliau dalah anak dari hasil perkawinan
antara Sultan Muda Abdurrahman dengan seorang selir bernama Nyai Besar Aminah. Kedua, Pangeran Hidayatullah yang
mempunyai kedekatan dengan rakyat di Kesultanan Banjar. Beliau adalah anak dari
hasil perkawinan kedua antara Sultan Muda Abdurrahman dengan Permaisuri Ratu
Siti, puteri Mangkubumi Nata. Perkawinan pertama Sultan Muda Abdurrahman dengan
Permaisuri Ratu Antasari, saudara perempuan Pangeran Antasari, tidak
menghasilkan putera. Ketiga, Pangeran
Prabu Anom, adik dari Sultan Muda Abdurrahman yang mempunyai kedekatanngan
birokrasi istana. Dari ketiga kelompok tersebut, Pangeran Tamjidillah mempunyai
kedudukan yang menguntungkan karena kedekatannya dengan Belanda. Hal ini
dimanfaatkan dengan sangat baik oleh Pangeran Tamjidillah untuk menguatkan
posisinya dalam menduduki jabatan sebagai sultan. Di sisi lain, Belanda juga
mempunyai kepentingan di Kesultanan Banjar. Dengan diangkatnya Pangeran
Tamjidillah sebagai sultan, maka secara langsung kepentingan dan pengaruh
Belanda di Kesultanan Banjar akan terjamin. Sikap Belanda dibuktikan dengan
mengangkat secara sepihak Pangeran Tamjidillah sebagai putera mahkota pada
tanggal 8 Agustus 1852. Sementara itu, pada tanggal 9 Oktober 1856, Pangeran
Hidayatullah diangkat sebagai mangkubumi.
Menurut A. Ghazali Usman , pada tanggal
1 November 1857, Sultan Adam Al Wasik Billah meninggal dunia. Pada tanggal 3
November 1857, secara sepihak, Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai
sultan di Kesultanan Banjar dengan gelar Sultan Tamjidillah II. Di sisi lain,
untuk menghindari perebutan tahta, Belanda menangkap Pangeran Anom dan
membuangnya ke Jawa Terpilihnya Sultan
Tamjidillah II tidak secara langsung bisa meredakan ketegangan seputar
perebutan tahta. Kedekatan sultan dengan Belanda diartikan sebagai keberpihakan
secara total Kesultanan Banjar kepada kekuasaan Belanda. Selain itu, Sultan
Tamjidillah II merupakan anak dari seorang selir yang, menurut tradisi
Kesultanan Banjar, tidak berhak untuk diangkat sebagai putera mahkota, terlebih
lagi menjadi sultan. Hal inilah yang menimbulkan perpecahan di antara pihak
sultan, birokrasi istana (khususnya Pangeran Hidayatullah), dan rakyat. Gesekan
seputar ketidakpuasan pengangkatan sultan baru akhirnya menimbulkan beberapa
gerakan Muning, yaitu gerakan sosial masyarakat tani yang kemudian menjadi
motor dalam Perang Banjar (1859-1905).
Pangeran Hidayatullah yang merupakan pewaris tahta yang sah, secara
bertahap berusaha merebut pengaruh dari bangsawan, pemimpin daerah di wilayah
Kesultanan Banjar, dan rakyat. Dukungan dari kaum bangsawan datang dari
orang-orang seperti Nyai Ratu Komala Sari, isteri almarhum Sultan Adam Al Wasik
Billah, dan tiga orang puteri beliau, Ratu Kasuma egara, Ratu Aminah, dan Ratu
Keramat, serta Pangeran Antasari. Dukungan dari pemimpin daerah datang dari
Panembahan Muda Datu Aling, pemimpin Gerakan
Muning di daerah Muning, dan Jalil, pemimpin daerah Banua Lima. Besarnya
dukungan terhadap Pangeran Hidayatullah membuat Sultan tamjidillah II merasa
terdesak. Beliau kurang mendapatkan dukungan dari belanda karena Belanda
menganggap bahwa sengketa perebutan tahta di kalangan para bangsawan di
Kesultanan Banjar adalah persoalan internal yang tidak secara langsung
berpengaruh terhadap kepentingan Belanda. Akhirnya, karena dilanda ketakutan
akan pecahnya kudeta terhadap dirinya, Sultan Tamjidillah II melarikan diri ke
Banjarmsin pada bulan April 1859 Setelah
larinya Sultan Tamjidillah II, praktis terjadi kekosongan pemerintahan di
Kesultanan Banjar. Untuk mengantisipasinya, Belanda mengambil alih secara
langsung pemerintahan Kesultanan Banjar dan meletakkannya di bawah pemerintahan
seorang residen yang bernama Residen von Bertheim. Sepeninggal Sultan
Tamjidillah II, musuh utama gerakan Muning, kini perlawanan beralih pada
Belanda selaku dalang dalam sengketa di Kesultanan Banjar. Dukungan
kepada Pangeran Hidayatullah kini lebih ditujukan untuk menghantam Belanda agar
angkat kaki dari wilayah Kesultanan Banjar. Belanda yang awalnya tidak terlalu
peduli dengan masalah internal Kesultanan Banjar, kini tidak mempunyai pilihan
lain karena berhadapan secara langsung dengan kekuatan yang digalang oleh
Pangeran Hidayatullah. Nama Pangeran Antasari mulai dikenal karena
perseleisihan ini. Pangeran Antasari
dipercaya oleh Pangeran Hidayatullah untuk menjadi penghubung antara istana,
pemimpin pergerakan di daerah, dan rakyat.
Beliau menghimpun dan menggerakkan para
pemimpin daerah beserta pengikutnya, mulai dari Muning, Benua Lima, Tanah
Dusun, sampai Pasir. Bisa disimpulkan bahwa otak perlawanan pada Perang Banjar
adalah Pangeran Antasari, meskipun pucuk pimpinan tertinggi yang diakui oleh
rakyat Kesultanan Banjar kala itu adalah Pangeran Hidayatullah. Keterangan ini
merujuk pada pernyataan Residen von Bertheim yang menjuluki Pangeran Antasari
sebagai Pemimpin Pemberontakan , jauh
hari sebelum pertempuran pertama dalam Perang Banjar meletus pada tanggal 28
April 1859 Pada tanggal 28 April 1859, terjadi serangan pertama yang dipimpin
langsung oleh Pangeran Antasari. Dengan kekuatan sekitar 300 orang, Pangeran
Antasari memimpin penyerbuan ke benteng Belanda di Pangaron. Setelah
pertempuran pertama, beberapa pertempuran lain kemudian meletus, antara lain,
pertempuran di benteng Gunung Lawak pada tanggal 29 September 1859, pertempuran
di kubu pertahanan Munggu Tayur pada bulan Desember 1859, penenggelaman kapal
Onrust di sungai Barito oleh Tumenggung Surapati, seorang tokoh dari suku Dayak
Siang, pada tanggal 26 Desember 1859, dan pertempuran di Amawang pada tanggal
31 Maret 1860 Pada tanggal 28 Januari 1862, Pangeran Hidayatullah menyerah
kepada Belanda dengan
alasan kesehatan. Tetapi karena Belanda bermaksud untuk membuang Pangeran
Hidayatullah ke Jawa, maka beliau akhirnya melarikan diri.
Hanya berselang satu bulan, tepatnya
pada tanggal 28 Februari 1962, Pangeran Hidayatullah kembali menyerah kepada
Belanda. Akhirnya, pada tanggal 3 Maret 1862, dengan menggunakan kapal api
Bali, Pangeran Hidayatullah dan keluarga dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Beliau
meninggal di tempat pembuangan pada tahun 1904
Setelah pembuangan Pangeran Hidayatullah, pemimpin tertinggi perlawanan
dalam Perang Banjar diambil alih oleh Pangeran Antasari. Pada tanggal 14 Maret
1962, Pangeran Antasari diangkat sebagai pimpinan tertinggi di Kesultanan
Banjar (Sultan Banjar). Beliau menyandang gelar Panembahan Amir Oeddin
Khalifatul Mukminin. Upacara penabalan beliau dilakukan di hadapan para kepala
suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Tanah Dusun Atas, Kapuas,
dan Kahayan, yaitu Kiai Adipati Jaya Raja
Dirunut dari
garis keturunan, ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran Masohut Masud bin
Pangeran Amir bin Muhammad Aminullah bin Sultan Kuning, sehingga jika dilihat
dari garis keturunan, sebenarnya Pangeran Antasari adalah pewaris tahta
Kesultanan Banjar yang sah, sebelum terjadinya pengusiran atas pewaris tahta Kesultanan Banjar yang sah,
Muhammad Aminullah, oleh Pangeran Tamjidillah yang bergelar Sultan Tamjidillah
I. Akan tetapi kedudukan Pangeran Antasari sebagai pemimpin tertinggi yang
diakui oleh rakyat di Kesultanan Banjar ternyata tidak berlangsung lama. Pada
tanggal 11 Oktober 1862, Pangeran Antasari dikabarkan telah meninggal dunia
karena penyakit cacar dan dimakamkan di Desa Bayan Bengok, di hulu sungai Teweh.
Beliau tidak
pernah tertangkap dan tidak pernah menyerah kepada Belanda. Oleh karenanya foto
Pangeran Antasari sulit ditemukan. Gambar yang dikenal sekarang merupakan
ilustrasi dari ciri-ciri beliau yang dihimpun dari berbagai data dan
divisualkan. Salah satunya adalah karya dari sebuah tim yang dibentuk
berdasarkan SK Gubernur Kdh. Tkt. I Kalsel No. 0375 Tahun 1994 tanggal 28
Desember 1994. Lukisan tersebut sekarang ditempatkan di Museum Nasional,
Jakarta. Atas kegigihannya dalam melawan Belanda, Pangeran Antasari ditetapkan
sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Presiden
RI Nomor 06/TK/Tahun 1968 tanggal 27 Maret 1968.
J.
Kerajaan Banjar Saat Ini
Kerajaan juga sering disebut dengan kesultanan. Kesultanan
Banjar telah sekian lama tak terangkat ke permukaan, hal ini bisa jadi konon
karena kesultanan ini perang melawan kolonial pada 1857 sehingga
kerajaannya dibumi-hanguskan oleh Belanda. Sejarah mencatat, di bawah
komando Pangeran
Hidayatullah II cucu Sultan Adam Al-Washikubillah (1825 –
1857) Perang Banjar dikobarkan. Upaya perlawan terhadap penjajah ini terus
berlanjut turun-temurun hingga Indonesia mencapai kemerdekaan.
Raja Banjar selama ini memang nyaris tidak terdengar kecuali
hanya melalui keturunannya saja seperti yang bergelar Gusti, Antung dan Andin
yang beranak-pinak dan tersebar di seluruh wilayah Kalimantan, wilayah
Nusantara bahkan mancanegara. Berbeda dengan raja-raja di Kaltim, hingga kini
masih eksis meskipun tanpa kekuasaan di pemerintahan seperti raja dari
Kesultanan Kutai Kartanegara, Ing Martadipura di Tenggarong, raja dari
Kesultanan Bulungan, raja Kesultanan Gunung Tabur dan raja Kesultanan
Sambaliung di Kabupaten Berau.
Meskipun kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan mulai
kehilangan pijak, seiring mangkatnya Sultan Adam sebagai Raja Kesultanan Banjar
serta secara perlahan pula adat dan budaya kesultanan Banjar mulai meredup. Tak
ingin kebudayaan Banjar tersebut punah dan perlunya pelestarian
berkelanjutan, Sabtu (24/7) 2010, resmi terbentuk Lembaga Adat dan Kekerabatan
Kesultanan Banjar, atau disingkat LAKKB. Bersamaan peresmian pembentukan LAKKB
di Hotel Arum, Banjarmasin, dilantik pula pemangku adat atau pengurus pusat
LAKKB, pemangku adat kabupaten/kota se Kalsel. LAKKB diketuai oleh G Ht Khairul
Saleh dan Sekretaris, Gt Chairinsyah. Bahkan hari itu juga dilaksanakan
musyawarah tinggi adat dan dialog budaya Kesultanan Banjar.
LAKKB punya posisi setingkat dibawah sultan atau raja muda.
Pembentukannya dilakukan sebagai upaya menumbuhkan adat yang mulai memudar.
Adat istiadat yang pudar karena penjajah dan kemajuan jaman. Kesultanan Banjar
berakhir di Martapura.
“Ini ibarat maangkat batang tarandam. Atau membangkitkan nilai luhur dan kearifan sultan-sultan Banjar. Tidak ada maksud memunculkan feodalisme tapi mengangkat adat dan budaya Banjar, sekaligus konsolidasi internal” .
“Ini ibarat maangkat batang tarandam. Atau membangkitkan nilai luhur dan kearifan sultan-sultan Banjar. Tidak ada maksud memunculkan feodalisme tapi mengangkat adat dan budaya Banjar, sekaligus konsolidasi internal” .
Selain itu, pembentukan LAKKB juga mendapat perhatian dari
Forum Silaturahmi Kesultanan se Nusantara (FSKN). Sekretaris Jendral FSKN
Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Suroso Gunawan Kusumodiningrat, mengutarakan, ada
135 kerajaan atau kesultanan di nusantara. Sekitar 100 an menyatakan memberikan
dukungan kebangkitan budaya Banjar di Kalsel. “Pelantikan ini merupakan
legalitas pengaturan dan tata cara. Ada kesamaan satu pandangan kedepan.
Sebagai gambaran maka kerajaan atau kesultanan untuk menjadi anggota FSKN itu
tidak mudah. Eksistensi Banjar di FSKN sudah terjadi sejak 2004. Hanya,
waktu itu konteknya sebagai tamu. “Adat istiadat itu yang ada dan tidak ada,
seperti turun temurun dilakukan secara rutin. Diangkatnya suatu dinasti masa
lampau adalah pengangkatan pemimpin. Kita tidak mengembalikan feudal atau
monarki, ini adalah kebangkitan budaya Kalsel”.
Dengan demikian titik baru untuk membangun kekerabatan
kesultanan sekaligus membangkitkan budaya yang nyaris hilang ditelan masa telah
dicapai dengan diadakan Penobatan Raja Muda Kesultanan Banjar dan gelar
Pangeran dianugerahkan tokoh adat dan juriat kesultanan Banjar kepada Khairul
Saleh yang juga menjabat Bupati Kabupaten Banjar periode 2010-2014. Selain itu,
melalui struktur kesultanan yang terbentuk diharapkan lebih memperkuat tekad
dan komitmen memelihara kebudayaan sekaligus menjadikan budaya sebagai jati
diri dan kepribadian sebagai masyarakat Banjar.[6][6]
Penobatan Khairul Saleh sebagai Raja Muda oleh LAKKB
(Lembaga Adat dan Kekerabatan Kesultanan Banjar) diiringi dengan beberapa
alasan, yaitu:
1) Keturunan. Berdasarkan faktor keturunan ini, Khairul saleh
dinobatkan sebagai Raja Muda Kesultanan Banjar dengan gelar Pangeran H. Khairul
Saleh. Beliau merupakan keturunan dari Raja Banjar yang terakhir yaitu Sultan
Muhammad Seman (1862-1905). Oleh karena itu pantaslah beliau diberikan gelar
kehormatan sebagai Pangeran (Raja Muda Kesultanan Banjar).
2) Kekuasaan. Untuk faktor kekuasaan ini, saya menganggapnya
sebagai keberuntungan. Oleh karena sistem pemerintahan Banjar pada saat ini
adalah demokrasi, dimana pemilihan kepala pemerintahan daerah (ex. bupati)
ditentukan oleh masyarakat. Dalam hal ini, yang terpilih untuk menjadi Bupati
daerah Kabupaten Banjar periode 2010-2014 adalah H. Gusti Khairul Saleh
sendiri, sehingga dengan demikian dapat dengan mudah pula penghidupan (pelestarian)
kesultanan Banjar.
3) Kebudayaan. Berdasarkan faktor ini, diharapkan dengan
penobatan Khairul Saleh sebagai Raja Muda Kesultanan Banjar dapat melesarikan
kebudayaan Banjar itu sendiri. Meskipun dengan begini tetap tidak dapat
mengembalikan kerajaan Banjar yang telah punah, namun setidaknya masih bisa
menyelamatkan kebudayaan Banjar untuk dikenang generasi penerus Banjar.
Selain itu, wacana perencanaan mengenai pembangunan replika
Keraton Banjar atau Kesultanan Banjar, tampaknya akan terealisasi. Menariknya,
bukan lagi dikatakan replika tapi langsung disebut Keraton Banjar. Ada tiga
lokasi yang menjadi pilihan, Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru dan Kabupaten
Banjar. Alhasil, Telok Selong, Kabupaten Banjar telah ditetapkan sebagai lokasi
pembangunannya.
Kepastian lokasi pembangunan Keraton Banjar itu diungkapkan
Ketua Lembaga Adat dan Kekerabatan Kesultanan Banjar (LAKKB) Ir H Gt Khairul
Saleh MM, Sabtu (24/7/2010) di Hotel Arum, Banjarmasin. “Lokasi
pembangunan Keraton Banjar di Telok Selong,” demikian diucapkan Khairul Saleh.
Bupati Banjar ini juga menyebutkan, dia sudah menyiapkan lahan seluas 2 hektar
sebagai areal pembangunan Keraton Banjar. Terkait dengan pembangunan Keraton
Banjar, berdasarkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2007 tentang pedoman fasilitasi
organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan, keratin dan lembaga adat dalam
pelestarian dan pengembangan budaya daerah, memuat pernyataan bahwa pembangunan
keraton, lembaga adat, bisa didanai oleh pemerintah melalui APBD.[7][7]
K.
Masa Kejayaan
Kesultanan Banjar mulai mengalami
masa kejayaan pada dekade pertama abad ke-17 dengan lada sebagai komoditas dagang, secara
praktis barat daya, tenggara dan timur pulau Kalimantan membayar upeti pada
kerajaan Banjarmasin. Sebelumnya Kesultanan Banjar membayar upeti kepada
Kesultanan Demak, tetapi pada masa Kesultanan Pajang penerus Kesultanan Demak,
Kesultanan Banjar tidak lagi mengirim upeti ke Jawa. Supremasi Jawa terhadap
Banjarmasin, dilakukan lagi oleh Tuban pada tahun 1615 untuk menaklukkan Banjarmasin
dengan bantuan Madura (Arosbaya) dan Surabaya, tetapi gagal karena mendapat
perlawanan yang sengit.
Sultan Agung dari Mataram (1613–1646),
mengembangkan kekuasaannya atas pulau Jawa dengan mengalahkan
pelabuhan-pelabuhan pantai utara Jawa seperti Jepara dan Gresik (1610), Tuban
(1619), Madura (1924) dan Surabaya (1625). Pada tahun 1622 Mataram kembali merencanakan
program penjajahannya terhadap kerajaan sebelah selatan, barat daya dan
tenggara pulau Kalimantan, dan Sultan Agung menegaskan kekuasaannya atas Kerajaan Sukadana tahun 1622.
Seiring dengan hal itu, karena
merasa telah memiliki kekuatan yang cukup dari aspek militer dan ekonomi untuk
menghadapi serbuan dari kerajaan lain, Sultan Banjar mengklaim Sambas, Lawai,
Sukadana, Kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai, Kahayan Hilir dan Kahayan
Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asam Asam, Kintap dan Swarangan sebagai
vazal dari kerajaan Banjarmasin, hal ini terjadi pada tahun 1636.
Sejak tahun
1631 Banjarmasin bersiap-siap menghadapi serangan Kesultanan Mataram, tetapi karena kekurangan logistik, maka rencana serangan dari Kesultanan Mataram sudah tidak
ada lagi. Sesudah tahun 1637 terjadi migrasi dari pulau Jawa secara besar-besaran sebagai akibat dari
korban agresi politik Sultan Agung. Kedatangan imigran dari Jawa mempunyai
pengaruh yang sangat besar sehingga pelabuhan-pelabuhan di pulau Kalimantan
menjadi pusat difusi kebudayaan Jawa.
Disamping
menghadapi rencana serbuan-serbuan dari Mataram, kesultanan Banjarmasin juga
harus menghadapi kekuatan Belanda. Pada tahun 1637 Banjarmasin dan Mataram
mengadakan perdamaian setelah hubungan yang tegang selama bertahun-tahun. Perang
Makassar (1660-1669) menyebabkan banyak pedagang pindah dari Somba Opu,
pelabuhan kesultanan Gowa ke Banjarmasin. Mata uang yang beredar di Kesultanan
Banjar disebut doit.
Sebelum
dibagi menjadi beberapa daerah (kerajaan kecil), wilayah asal Kesultanan Banjar
meliputi provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura pada lokasi Tanjung Sambar
(Ketapang) dan sebelah timur berbatasan dengan Kesultanan Pasir pada lokasi Tanjung Aru. Pada daerah-daerah pecahannya,
rajanya bergelar Pangeran, hanya di Kesultanan Banjar yang berhak memakai gelar
Sultan. Kesultanan-kesultanan lainnya mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar,
termasuk Kesultanan Pasir yang ditaklukan tahun 1636 dengan bantuan Belanda.
Kesultanan Banjarmasin merupakan
kerajaan terkuat di pulau Kalimantan. Sultan Banjar menggunakan
perkakas kerajaan yang bergaya Hindu.[8][8]
L.
Akhir dari Kerajaan Banjar
Pengganti
Pangeran Antasari adalah puteranya yang bernama Muhammad Seman. Di mata rakyat,
beliau merupakan sultan Kesultanan Banjar terakhir yang mendapatkan tugas utama
untuk menggantikan sang ayah dalam menjaga nyala api perlawanan dalam Perang
Banjar. Perlawanan Muhammad eman terpaksa harus terhenti karena beliau
meninggal dunia dalam suatu pertempuran melawan Belanda di sungai Manawing pada
tahun 1905. Beliau dimakamkan di puncak gunung di Puruk Cahu Dengan meninggalnya Muhammad Seman, berarti
riwayat Kesultanan Banjar juga telah berakhir. Setelah Perang Banjar (1859-1905),
Belanda membuat beberapa keputusan, antara lain Kesultananan Banjar dihapuskan
dan seluruh bekas daerah Kesultanan Banjar dimasukkan ke dalam tatanan baru
Residentie Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo . Dengan demikian berakhirlah
riwayat Kesultanan Banjar yang telah berlangsung selama 379 tahun (1526-1905).
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
Kerajaan Banjar adalah kerajaan Islam terbesar di
Kalimantan yang dapat mempersatukan beberapa kerajaan kecil di wilayah
Kalimantan seperti Kerajaan Paser dan Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur,
Kerajaan Kotawaringin di Kalimantan Tengah, serta Kerajaan Qodriah, Kerajaan
Landak, dan Kerajaan Mempawah di Kalimantan Barat. Kerajaan Banjar juga
mempunyai sejarah cukup panjang, karena diawali dari masa yang jauh sebelum
masuknya pengaruh Islam, yaitu masa yang ditandai dengan berdirinya Candi Laras
dan Candi Agung pada masa Hindu-Budha.
Masuknya islam berlangsung
dengan damai di kawasan ini melalui tangan pedagang dan para ulama. Dalam salah
satu makalah Pra Seminar Sejarah Kalsel (1973) disebutkan, Sunan Giri juga
pernah singgah di Pelabuhan Banjar. Sunan Giri melakukan transaksi pedagang
dengan warga sekitar dan bahkan memberikan secara gratis barang-barang kepada
penduduk yang fakir.
Di samping itu juga
terdapat keterangan mengenai salah seorang pemuka Kerajaan Daha, yakni Raden
Sekar Sungsang yang menimba ilmu kepada Sunan Giri. Melalui jalur inilah
Pangeran Samudera mengenai Islam dan kelak mengadakan hubungan dengan
Kesultanan Demak. Pangeran Samudera sendiri kemudian masuk Islam dan mengganti
namanya menjadi Sultan Suriansyah. Sekaligus menjadi Sultan pertama dalam
Sejarah Kesultanan Banjar yang berdiri pada hari Rabu 24 September 1526. Tempat
pemerintahan dipusatkan di rumah Patih Masih, daerah perkampungan suku Melayu
yang terletak di antara Sungai Keramat dan jagabaya dengan Sungai Kuyin sebagai
induk. Pada tempat ini pula dibangun sebuah Masjid yang berdiri hingga
sekarang, dikenal dengan nama Masjid Sultan Suriansyah.
Dalam perjalanannya,
Kerajaan Banjar telah mengalami berbagai kesulitan dan ancaman baik dari
eksternal maupun internal, terutama masa-masa setelah datangnya bangsa
kolonial. Pusat kerajaan atau Keraton Banjar harus berpindah-pindah dari satu
tempat ke tempat lain tidak kurang dari 5 (lima) kali. Tetapi tak satupun
sisa-sisa tinggalan Keraton Banjar tersebut yang dapat diwariskan kepada
generasi sekarang. Keraton pertama yang disebutkan berada di wilayah Kuin, dan
keraton kedua yang berlokasi di Kayutangi atau Teluk Selong, Martapura, tidak
ada seorangpun yang dapat menjelaskannya. Kenyataan yang sekarang dapat ditemui
di Kuin saat ini hanyalah lokasi Makam Sultan Suriansyah dan para tokoh yang
sejaman seperti Khatib Dayan, serta makam keluarga Sultan Suriansyah sendiri.
Sultan Suriansyah adalah raja pertama yang
memeluk agama Islam dan menjadikan Islam sebagai agama resmi dalam Kerajaan.
Perhatian sultan terhadap agama cukup besar, masjid tempat ibadah umat Islam
pun dibangun. Ulama sebagai elite religious membagikan andil yang cukup besar
bagi pemerintahan kerajaan. Sultan dan ulama merupakan satu-kesatuan pandang
dalam kecintaannya terhadap Ilmu Pengetahuan dan menjunjung tinggi Syariat
Islam. Hubungan baik antara ulama dengan Sultan terlihat jelas dalam kitab Sabilul
Muhtadin dan kitab Parukunan yang ditulis atas permintaan Sultan
yang berkuasa pada pertengahan abad ke-18, untuk dijadikan pedoman hukum meski
terbatas dalam bidang-bidang tertentu.
Dengan kebijakan syeikh Muhammad Arsyad Al
Banjari secara perlahan-lahan hukum dan aliran Islam dapat memasuki ruang
istana. Dalam masyarakat Banjar ajaran fiqih dari madzhab Syafi’I sangat
berpengaruh, sehingga menjadi hukum adat rakyat. Syeikh Muhammad Arsyad
menyadari sepenuhnya bahwa pelaksanaan hukum Islam secara riil tidak mungkin
tanpa adanya lembaga hukum yang mengatur dan melaksanakannya.
Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah
adalah Sultan Banjarmasin kedua yang berkedudukan di Banjarmasin kemudian
memindahkan ibu kota kerajaan ke Martapura. Peristiwa ini terjadi pada tahun
1612 M. sebelum Sultan Tahlillah berkuasa, tidak ada peristiwa penting yang
terjadi dalam sejarah kerajaan Banjar. Baru setelah Sultan Tahlillah berkuasa
berkali-kali Kerajaan Banjar mengalami ketegangan politik yang di sebabkan
adanya perebutan kekuasaan dalam kerajaan. Sultan Tamjidillah I merebut
kekuasaan dari kemenakannya yang belum dewasa yaitu Sultan Kuning. Dalam tahun
1747 Tamjidillah membuat kontrak dengan V.O.C. yang menjadi dasar hubungan
dagang antara Banjar dengan Batavia.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
Nirmala, Andini T. Aditya A. Pratama.
2003. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Prima Media
Ras, JJ. 1968. Hikayat Banjar a
Study in Malay Histoeiography. The Hague: Martinus Nijhoff
Usman, A. Gazali. 1989. Urang Banjar Dalam
Sejarah. Banjarmasin: Lambung Mangkurat University Press
Yatim, Badri. 2008. Sejarah Peradaban Islam.
Jakarata: Raja grafindo
Tim Nasional Penulisan
sejarah Indonesia.
2011. Sejarah Nasional
Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka
Darmawijaya. 2010. Kesultanan Islam Nusantara.
Jakarta: Pustaka Al-Kausar.
Harun, M. Yahya. 1994. Kerajaan Islam
Nusantara. Yogyakarta: Kurnia
Kalam Sejahtera
Intenet
httplibrary.utem.edu.mye-melakakoleksi%20melakasejarahmn2008.pdf
(online), diakses tanggal 16 April 2013.
http://www.al-khilafah.org/2011/06/kesultanan-banjar-bagian-khilafah-yang.html (online), diakses tanggal 15 April 2013
http://kadahakunjua.blogspot.com/2009/02/cikal-bakal-kerajaan-banjar-di.html(online)
diakses tanggal 16 April 2013
https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Banjar
(online) diakses tanggal 16 April
2013
http://handikap60.blogspot.com/2013/01/sejarah-perlawanan-rakyat-banjar.html
[1][1]
M. Yahya Harus. “Kerajaan Islam
Nusantara”, Kurnia Kalam Sejahtera, Yogyakarta, 1994, halaman 73.
[2][2]
JJ. Ras, Hikayat Banjar a Study in Malay Histoeiography, Martinus Nijhoff, The
Hague, 1968, halaman 191.
[3][3]
A. Gazali Usman, ibid. halaman 3.
[5][5]
(httplibrary.utem.edu.mye-melakakoleksi%20melakasejarahmn2008.pdf)
Post a Comment for "Makalah Sejarah Kerajaan Banjar (Letak, Raja, Kehidupan Ekonomi Politik Sosial Budaya, Kemajuan dan Kemunduran, dan Perlawanan Rakyat) Lengkap"
Post a Comment