Keaktifan Indonesia dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI)
2.1 Keaktifan Indonesia dalam
Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Organisasi Konferensi Islam
(OKI) adalah organisasi internasional yang anggotanya terdiri atas
negara-negara Islam seluruh dunia. Organisasi ini didirikan pada tanggal 22
September 1969 saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara Islam di
Rabat Maroko atas prakarsa Raja Faisal dari Arab Saudi dan Raja Hasan II dari
Maroko. Latar belakang didirikannya organisasi dipicu oleh peristiwa pembakaran
Mesjid Al Aqsho yang terletak di kota Al Quds (Jerusalem) pada tanggal 21
Agustus 1969. Peristiwa pembakaran tersebut menimbulkan reaksi keras dunia,
terutama dari kalangan umat Islam. Saat itu dirasakan adanya kebutuhan yang
mendesak untuk mengorganisir dan menggalang kekuatan dunia Islam serta
mematangkan sikap dalam rangka mengusahakan pembebasan Al-Quds. Pada awalnya
OKI mempunyai 25 anggota dan saat ini jumlahnya bertambah menjadi 57 negara
anggota serta sejumlah negara pengamat, antara lain Bosnia Herzegovina,
Republik Afrika Tengah, Pantai Gading, dan Thailand.
OKI didirikan berdasarkan
pada keyakinan atas agama Islam, penghormatan pada Piagam PBB dan Hak Asasi
Manusia (HAM). Pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) III OKI bulan February
1972, telah diadopsi piagam organisasi yang berisi tujuan OKI yaitu;
meningkatkan solidaritas Islam serta mengkordinasikan kerja sama politik,
ekonomi, dan sosial budaya antarnegara-negara anggota, mendukung upaya
perdamaian dan keamanan internasional, serta melindungi tempat-tempat suci
Islam dan membantu perjuangan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan
berdaulat, dan bekerjasama untuk menentang diskriminasi rasial dan segala
bentuk penjajahan, menciptakan suasana yang menguntungkan dan saling pengertian
di antara negara anggota dan negara-negara lain.
Untuk mencapai tujuan di
atas, negara-negara anggota menetapkan 5 prinsip, yaitu; 1) persamaan mutlak
antarnegara-negara anggota, 2) menghormati hak menentukan nasib sendiri, tidak
campur tangan atas urusan dalam negeri negara lain, 3) menghormati kemerdekaan,
kedaulatan dan integritas wilayah setiap negara, 4) penyelesaian sengketa yang
mungkin timbul melalui cara-cara damai seperti perundingan, mediasi,
rekonsiliasi atau arbitrasi, 5) abstain dari ancaman atau penggunaan kekerasan
terhadap integritas wilayah, kesatuan nasional atau kemerdekaan politik suatu
negara.
Konferensi para kepala
negara/pemerintahan (Konferensi Tingkat Tinggi/ KTT) merupakan badan otoritas
tertinggi dalam organisasi. Semula badan tersebut mengadakan sidangnya apabila
kepentingan umat Islam memandang perlu untuk mengkaji dan mengkoordinasikan
mengenai masalah-masalah yang menyangkut kepentingan dunia Islam. Tetapi pada KTT
III OKI di Mekkah, bulan Januari 1981, ditetapkan bahwa KTT diadakan sekali
dalam tiga tahun untuk menetapkan kebijakan-kebijakan yang akan diambil OKI.
Sedangkan untuk Konferensi
Para Menteri Luar Negeri (KTM), sesuai dengan artikel V Piagam OKI diadakan
sekali dalam setahun bertempat di salah satu negara anggota. Pertemuan yang
dihadiri oleh para menteri luar negeri tersebut akan memeriksa dan menguji “progress
report” dari implementasi atas keputusan-keputusan dari kebijakan yang
diambil pada pertemuan KTT.
Sesuai artikel VIII Piagam
OKI yang menyangkut keanggotaan dijelaskan bahwa organisasi terdiri atas
negara-negara Islam yang turut serta dalam KTT yang diadakan di Rabat dan
KTM-KTM (Konferensi Para Menteri Luar Negeri) yang diselenggarakan di Jedah
(Maret 1970), Karachi (Desember 1971) serta yang menandatangani piagam.
Kriteria yang dirancang oleh Pantia Persiapan KTT I adalah “Negara Islam”
adalah negara yang konstitusional Islam atau mayoritas penduduknya Islam. Semua
negara muslim dapat bergabung dalam OKI.
Pada tahun-tahun pertama
kedudukan Indonesia dalam OKI menjadi sorotan baik di kalangan OKI sendiri
maupun di dalam negeri. Indonesia menjelaskan kepada OKI bahwa Indonesia
bukanlah negara Islam secara konstitusional atau tidak turut sebagai penandatangan
Piagam. Tetapi Indonesia telah turut serta sejak awal (Indonesia hadir pada KTT
I OKI di Rabat Maroko) dan juga salah satu negara pertama yang turut
berkecimpung dalam kegiatan OKI, kedudukan Indonesia disebut sebagai
“Partisipan aktif”. Status, hak dan kewajiban Indonesia sama seperti
negara-negara anggota lainnya.
Pada awalnya, partisipasi
Indonesia dalam OKI sangat terbatas, bahkan keanggotaan Indonesia dalam OKI
sempat menjadi perdebatan, baik di dalam OKI maupun oleh kalangan dalam negeri.
Ketika Piagam OKI dihasilkan pada tahun 1972, Indonesia tidak ikut menandatanganinya
sehingga tidak dikategorikan sebagai sebagai anggota resmi. Pertimbangannya
adalah bahwa berdasarkan UUD 1945, Indonesia bukanlah negara Islam. Namun
karena adanya tuntutan dan desakan-desakan dari dalam negeri, dimana mayoritas
penduduk Indonesia adalah muslim, Indonesia tidak bisa meninggalkan OKI bahkan
kemudian mulai memberikan kontribusi secara aktif dalam OKI di masa–masa
berikutnya.
Pada dekade 1990-an,
partisipasi aktif Indonesia di OKI mulai terlihat, yaitu ditandai dengan
kehadiran Presiden Soeharto pada KTT OKI ke-6 di Senegal pada Desember 1991.
Hal ini dapat dilihat sebagai titik awal perubahan kebijakan luar negeri
Indonesia untuk berpartisipasi lebih aktif di OKI.
Partisipasi aktif Indonesia
di OKI mulai mendapatkan respons positif dari banyak kalangan, bahkan Indonesia
menjadi pemeran penting dalam pelaksanaan agenda-agenda OKI. Indonesia
dipandang memiliki peran yang sangat strategis bagi OKI dan dunia Islam, karena
Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia
yang bukan negara Islam, serta prestasi-prestasi Indonesia di dalam penerapan
demokrasi. Indonesia bisa dikatakan menjadi “model” ideal bagi dunia Islam
dalam penerapan demokrasi, karena dinilai berhasil di dalam menerapkan
demokrasi. Selain itu Indonesia juga dianggap sebagai “jembatan” penghubung
antara dunia Islam dengan dunia Barat. Kedekatan Indonesia dengan Barat
dikarenakan prestasi Indonesia di dalam pengembangan demokrasi, menjadi sebuah
modal penting bagi Indonesia untuk dekat dengan dunia Barat yang selama ini
selalu giat mengumandangkan demokratisasi dunia, terlebih pasca Perang Dingin.
Kontribusi nyata Indonesia
sebagai anggota OKI yang paling memiliki peran strategis di antaranya adalah
pada tahun 1993, Indonesia menerima mandat sebagai ketua committee of six yang
bertugas memfasilitasi perundingan damai antara Moro National Liberation
Front (MNLF) dengan pemerintah Filipina. Kemudian pada tahun 1996,
Indonesia menjadi tuan rumah bagi terselenggaranya Konferensi Tingkat Menteri
OKI (KTM-OKI) ke-24 di Jakarta. Selain itu, Indonesia juga memberikan
kontribusi untuk mereformasi OKI sebagai wadah untuk menjawab tantangan untuk
umat Islam memasuki abad ke-21. Pada penyelenggaraan KTT OKI ke-14 di Dakar,
Senegal, Indonesia mendukung pelaksanaan OIC’s Ten Year Plan of Action.
Dengan diadopsinya piagam ini, Indonesia memiliki ruang untuk lebih berperan
dalam memastikan implementasi reformasi OKI tersebut. Indonesia berkomitmen
dalam menjamin kebebasan, toleransi dan harmonisasi serta memberikan bukti
nyata akan keselarasan Islam, demokrasi, dan modernitas.
Dari peran-peran Indonesia
dalam OKI tersebut nampak dengan nyata usaha diplomasi Indonesia dalam dunia
Islam yang tetap bebas dan aktif, bebas karena tidak terikat dalam suatu blok tertentu,
dan aktif dalam mengusahakan segala kestabilan dan keharmonisan serta perdamaian
dunia, baik dunia islam, maupun dunia barat.
Post a Comment for "Keaktifan Indonesia dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) "
Post a Comment