Mengulik Latar Belakang Mengapa Tanggal 23-24 September 2019 Mahasiswa Turun Aksi

Sikap Aliansi Rakyat Bergerak
Menyatakan Mosi Tidak Percaya Kepada DPR dan Elit Politik
Sebagai warga negara Indonesia, sejak dulu kita sudah dibuat mafhum kalau negeri ini punya segudang masalah. Namun, yang mengejutkan, elitelit negara ini ternyata masih punya cara untuk menciptakan segudang lagi masalah. Sejumlah undang-undang yang masih bermasalah seperti RKUHP, RUU KPK, RUU Ketenagakerjaan, dan RUU Pertanahan seolah dikebut untuk diloloskan begitu saja oleh DPR dan Pemerintah. Sementara itu, undang-undang yang penting untuk segera disahkan, seperti RUU PKS, justru dikerjakan dengan lambat. Belum lagi permasalahan Karhutla dan kriminalisasi aktivis yang merupakan akumulasi dari ketidakmampuan elitelit politik negeri ini dalam menyelesaikan masalah yang sudah berulangulang terjadi. Semua permasalahan ini mencapai titik nadirnya hanya dalam waktu beberapa bulan terakhir.


Maka dari itu, kami, warga negara yang resah akan ketidakbecusan para pemimpin negeri ini, memutuskan bahwa saat ini adalah saat untuk mengorganisasi diri dan kembali ke jalan. Saat ini bukan waktu untuk membiarkan elit-elit politik negeri ini bermain-main api dengan kepentingan mereka sendiri. Sebagai Aliansi Rakyat Bergerak, kami memutuskan bahwa waktu bermain mereka telah habis!


 Aliansi Rakyat Bergerak Menggugat RKUHP yang Mengebiri Demokrasi!

RKUHP membungkam demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Salah satunya, melalui pasal yang mengatur soal “Makar”. Pasal soal makar jelas beresiko menjadi pasal karet yang akan memberangus demokrasi. RKUHP menjelma pasal karet yang jelas bisa digunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat bagi seluruh masyarakat sipil. Dengan demikian, masyarakat telah kehilangan ruang aspirasi.

Pasal-pasal yang termaktub dalam RKUHP berpotensi mengkriminalisasi seluruh masyarakat tanpa kecuali. Negara telah mengintervensi ranah privat masyarakat. Salah satunya melalui pasal yang mempidanakan warga yang ketahuan tinggal bersama tanpa hubungan suami-isteri. Pasal ini juga beresiko mendiskriminasi kalangan yang nikahnya tak dicatat negara.

Tidak hanya soal makar, pasal-pasal dalam RKUHP bahkan mengkriminalisasi berbagai bentuk perlakukan masyarakat atas nama zina, hukum yang berlaku di masyarakat (living law)— yang jelas berpotensi menjadi pasal karet, bahkan mengkriminalisasi gelandangan dengan pidana denda satu juta rupiah. Pasal tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, dimana fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara.

Yang lebih problematis, edukasi terkait kesehatan reproduksi pun diberangus habis. Dalam pasal ini, semua orang, kecuali “petugas yang berwenang” dilarang untuk melakukan edukasi dan sosiasliasi kesehatan reproduksi (terutama menggunakan kondom/pil). Padahal, edukasi seks adalah hak warga negara. Selain itu, banyak pegiat edukasi seksual, terutama berfokus pada HIV/AIDS yang tidak hanya dari kalangan “petugas yang berwenang”. Poin-poin dalam pasal yang melarang aborsi pun sangat problematis. Pasal tersebut dapat dibaca sebagai bentuk diskriminasi bagi perempuan, bahkan kriminalisasi perempuan korban perkosaan yang mengalami kehamilan dan memutuskan untuk aborsi.

Bahkan, dalam RKUHP, para pengguna narkoba turut dipidanakan. Padahal, dalam pendekatan hukum internasional pendekatan narkotika dilakukan terhadap kesehatan masyarakat, bukan melalui penyelesaian tindak pidana.


Posisi KPK Diperlemah! 

Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), di tahun 2018 terdapat 1087 tersangka korupsi di seluruh Indonesia. KPK saat itu menindak 454 kasus. Sementara, kerugian negara mencapai 5,6 triliun yang terdiri dari suap (134,7 miliar), jumlah pungutan liar (6,7 miliar), dan pencucian uang (91 miliar). Sementara, dalam Laporan Tahunan yang dilansir KPK (2018) disebutkan bahwa ada 107 penetapan tersangka melalui Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan pada tahun 2018.

Banyak pasal dalam perubahan kedua Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat pada Selasa, 17 September 2019 yang jelas melemahkan posisi KPK. Utamanya, tentu saja berkait dengan pegawai KPK yang tidak lagi independen, sebab pegawai KPK dijadikan Aparatur Sipil Negara, yakni menjadi corong pemerintah melalui Perjanjian Kerja (P3K) dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kebijakan tersebut jelas mencerabut prinsip independensi KPK yang dibangun pasca Reformasi.

Dalam catatan resmi yang dilansir oleh KPK, disebutkan ada 10 isu dalam revisi ini yang sungguh melemahkan posisi KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi, yakni 1) Independensi KPK terancam yang akan terancam; 2) Penyadapan dipersulit dan dibatasi; 3) Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR; 4) Sumber penyelidik dan penyidik dibatasi; 5) Penuntutan perkara korupsi harus melalui koordinasi dengan Kejaksaan Agung; 6) Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria; 7) Kewenangan pengambilalihan perkara di tahap penuntutan dipangkas; 8) Kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan; 9) KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan yang beresiko menciptakan potensi intervensi kasus menjadi rawan; 10) Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.

KPK dijadikan lembaga eksekutif yang berada di bawah pemerintah. Ia menjadi corong kekuasaan dalam melanggengkan aksi korupsi, yang kita tahu telah menubuh lekat dalam sistem birokrasi di Indonesia. Saat ini, DPR bahkan berwenang membentuk Dewan Pengawas yang nantinya diizinkan menjadi corong utama bagi segala kebutuhan penanganan perkara, termasuk penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Bahkan, KPK pun diwajibkan berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam penuntutan korupsi.


Kriminalisasi Aktivis

Bahkan, Indonesia Corruption Watch, ICW mencatat ada 91 kasus serangan fisik dan kriminalisasi yang dialami aktivis pegiat anti-korupsi sejak tahun 1996 hingga 2019 dengan korban sebanyak 115 orang. Sebagian besar dari total jumlah korban, mereka diteror dan diancam unutk dibunuh. Artinya, aparat dan preman sering terlibat pada kasus pembungkaman para aktivis anti-korupsi dan aktivis demokrasi. 

Revisi KPK dibahas tanpa melakukan audiensi dan pelibatan dengan publik terkait dengan revisi UU KPK, bahkan KPK sendiri pun tidak dilibatkan dalam Revisi UU KPK ini. Hal ini jelas membuat kita bertanya-tanya, ada kepentingan busuk apa yang menyelubung di balik revisi kejar tayang ini? Maka, hanya ada satu cara untuk menyelesaikan segalanya, dukung KPK sampai titik darah penghabisan!

Isu Lingkungan, Pembakaran Hutan dan Tambang

Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) menjadi rutinitas yang menyiksa masyarakat Sumatera dan Kalimantan. Di Riau, kabut asap senantiasa singgah satu dekade terakhir. Negara seolah tidak tahu jenuh pada penderitaan. Untuk itu, rakyat Kalimantan Barat sedang menyiapkan gugatan kepada negara.

Bencana ini dicurigai hasil ulah manusia yang disengaja. Banyak kejanggalan yang tampak. Pembukaan lahan dengan cara membakar ditengarai menjadi muasal asap yang mengepung kota. Titik panas, berdasar pantauan satelit Resource Watch, hanya berada di hutan-hutan pinggiran lahan sawit. Sementara tanaman lain, tentu saja termasuk sawit, tidak terbakar. Kemungkinan besar, lahan-lahan itu ditujukan untuk sawit atau tanaman penghasil lain. 

Dampak dari Karhutla sejelas gajah di pelupuk mata. Banyak nyawa meninggal, 6000 orang terkena inspeksi pernapasan (ispa), dan pandangan yang kabur. Jika nyatanya negara dan korporat adalah aktor di balik semua ini, lantas ke mana masyarakat menaruh harapan untuk udara yang jernih?


RUU Ketenagakerjaan Yang Tidak Berpihak Pada Rakyat

Dalam RUU Ketenagakerjaan, pemerintah jelas tidak memperhatikan kesejahteraan buruh. RUU Ketenagakerjaan yang dirancang demi pasar tenaga kerja yang lebih kompetitif, secara langsung memeras keringat buruh. Terkait pesangon misalnya, masa kerja minimal yang lebih panjang yakni 9 tahun, jika hal tersebut diakomodasi dalam UU, maka gelombang PHK akan terjadi di mana-mana. 

Selain itu usulan pengusaha untuk merevisi batas waktu kenaikan upah minimum jadi dua tahun sekali jelas tidak memerhatikan kesejahteraan buruh. Ditambah lagi, usulan pengusaha untuk merevisi ketentuan kontrak kerja dari 3 tahun menjadi 5 tahun semakin memberatkan buruh dengan segala ketidakpastiannya. Di titik ini, RUU Ketenagakerjaan jelas tidak berpihak pada buruh, pemerintah seakan abai dan tidak peduli kesejahteraan buruh. 

Problematika RUU Pertanahan

RUU Pertanahan berpotensi menghidupkan kembali Domein Verklaring, Praktek politik agraria era kolonial. Pada masa kolonial, Domein Verklaring dipandang merugikan rakyat sebab pemerintah kolonial dapat menguruk keuntungan sebesar-besarnya dengan cara memindahkan hak eigendom rakyat kepada pihak yang meminta disertai pembayaran, singkatnya; pemilik modal. 
Praktek era kolonial bisa segera bangkit. Pengaturan hak pengelolaan telah memberikan kewenangan yang sangat luas dan kuat bagi pihak-pihak tertentu (Pemerintah, Pemerintah Daerah, BUMN/D, Bank Tanah) untuk tidak sekedar menguasai tanah dalam arti mengatur, namun juga mempekerjasamakan dengan pihak ketiga atau swasta. Selain itu, RUU Pertahanan memungkingkan terjadinya perampasan hak atas tanah dengan dalih “kepentingan umum” dan “keadaan mendesak”, tanpa ada kriteria yang terang seputar dua frasa tersebut.
Tanah-tanah adat juga terancam sebab inventarisasi hak adat yang bersifat pasif. Masyarakat hukum adat yang dituntut proaktif dalam mendaftarkan tanah adatnya, walau pada mestinya, secara konstitusi, dibebankan pada negara. Hal ini diperparah pula oleh ancaman kriminalisasi, 15 tahun penjara dan denda maksimal 15 miliar, bagi orang/kelompok yang mempertahankan tanah dari penggusuran.
RUU Pertanahan juga dipenuhi pengecualian. Misalnya, Hak Guna Usaha (HGU) yang sudah diberikan selama 35 tahun, bisa diperpanjang dua kali hingga total 90 tahun. Perpanjangan HGU ini melanggar aturan di pasal sebelumnya, yang mana tertulis hanya dapat diberikan sekali. Pengecualian itu, yang diberikan setelah pertimbangan umur tanaman, skala investasi, dan daya tarik investasi, rawan oleh pemanfaatan kepentingan orang/kelompok, tanpa peduli penentu keputusan ini di hari depan.
Tidak ada lagi semangat Reforma Agraria, salah satu tuntutan reformasi dua dekade lalu. RUU Pertanahan hanya membuka lahan bagi oligarki.


RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Belum Ditetapkan

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi permasalahan yang urgen untuk disahkan. Dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, tadinya KOMNAS Perempuan menggolongkan jenis kekerasan seksual ke dalam sembilan jenis kekerasan seksual, yang kemudian ditambahkan menjadi lima belas berdasarkan hasil riset empiris yang dilakukan oleh KOMNAS Perempuan yang prosesnya cukup panjang (15 tahun) sejak tahun 1998 hingga 2013. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sejatinya mampu mengakomodasi para korban yang selama ini tidak bisa terakomodasi secara hokum. contohnya, dalam KUHP, kekerasan seksual hanya diatur dalam konteks perkosaan yang rumusannya tidak mampu memberikan perlindungan pada perempuan korban kekerasan (Sumber: Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, 2017). 

Ruang lingkup pengaturan mengenai penghapusan kekerasan seksual yang diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini mampu mengakomodasi berbagai peraturan mengenai penghapusan kekerasan seksual meliputi pencegahan, penanganan, perlindungan, pemulihan, hingga penindakan pelaku. Hal tersebut penting dilakukan demi menciptakan ruang aman demi penyintas kekerasan seksual, alih-alih menghubungkannya dengan argumen-argumen soal zina dan segala hal berbau moralis yang justru malah memperkosa para korban dan penyintas kekerasan seksual untuk kedua kalinya. Sebab, acap kali, kekerasan seksual dibicarakan di ranah privat, sehingga dianggap tak perlu diselesaikan di publik karena memalukan, dan selalu dikaitkan dengan hal-hal yang moralis.

Seharusnya, RUU PKS ini menjadi sarana untuk bisa mengakomodasi penyintas kekerasan seksual mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan.  Maka, kita harus mendukung RUU PKS. Mari menjadi waras dan sadar.

Dengan demikian, untuk sebuah masalah yang merongrong banyak pihak, gerakan massa menjadi corong perlawanan. Dalam keadaan genting, aksi massa adalah jalan satu-satunya yang membentuk kesadaran waras rakyat untuk bergerak demi hak, keberpihakan kepada rakyat dan menyatakan mosi tidak percaya kepada DPR dan elit politik.

Post a Comment for "Mengulik Latar Belakang Mengapa Tanggal 23-24 September 2019 Mahasiswa Turun Aksi"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Ad Blocker Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker

  1. Click on the AdBlock icon in your browser
    Adblock
  2. Choose, Don't run on pages on this domain
    Adblock
  3. A new window will appear. Click on the "Exclude" button
    Adblock
  4. The browser icon should have turned grey
    Adblock
  5. Refresh the page if it didn't refresh automatically. Thanks!
  1. Click on the AdBlock Plus icon in your browser
    Adblock
  2. Click on "Enabled on this site" position
    Adblock
  3. Once clicked, it should change to "Disabled on this site"
    Adblock
  4. The browser icon should have turned grey
    Adblock
  5. Refresh the page if it didn't refresh automatically. Thanks!