Makalah Kerajaan Islam di Indonesia : Kesultanan Cirebon Lengkap
KESULTAN CIREBON
Menurut Sulendraningrat yang
mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah
Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun
oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang
ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang
dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata
pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian
besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah
pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta
pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang)
dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:,
air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai
dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar
dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam
kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu,
Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
1. Perkembangan awal
A. Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng
Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang
saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang
dan membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura
1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah
para pendatang mulai menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban.
B. Ki Gedeng Alang-Alang
Kuwu atau kepala desa Caruban yang
pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang.
Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu
putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak
lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat,
Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya
sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
C. Pangeran Cakrabuana
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan
Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya
yang pertamanya bernama Subanglarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Raden
Walangsungsang, ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Rara Santang
dan Raden Kian Santang. Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan
haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena
ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat
itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama
leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu
Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua Nyai
Cantring Manikmayang.
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa
pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan
kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan membentuk
pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama
Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran
Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah
Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari
keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.
2. Pendirian
Pendirian kesultanan ini sangat
berkaitan erat dengan keberadaan Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon didirikan pada tahun 1552 oleh
panglima kesultanan Demak, kemudian yang menjadi Sultan Cirebon ini wafat
pada tahun 1570 dan digantikan oleh putranya yang masih sangat muda waktu itu.[2] Berdasarkan berita dari klenteng Talang dan Semarang, tokoh utama pendiri Kesultanan
Cirebon ini dianggap identik dengan tokoh pendiri Kesultanan Banten yaitu Sunan Gunung Jati.[2]
Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Lukisan Sunan Gunung Jati
Pada tahun 1479 M, kedudukannya
kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya
dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni
Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif
Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula
sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama
Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan yang
pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti
raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa
Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.[3]
Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan pemegang kekuasaan itu
kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati
melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta,
dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah
menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia
meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan
dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana
Gunung Sembung.
Panembahan Ratu I (1570-1649)
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena
tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu
Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Mas, putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau
cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan
memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.
Panembahan Ratu II (1649-1677)
Setelah Panembahan Ratu I meninggal
dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya
yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi
yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih
dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni
Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan
Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa
pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan
Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap
lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya).
Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh
mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari
Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan
meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran
Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan Girilaya adalah menantu
Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di
bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten
Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam
Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.
3.
Terpecahnya Kesultanan Cirebon
Dengan kematian Panembahan Girilaya,
maka terjadi kekosongan penguasa. Pangeran Wangsakerta yang bertanggung jawab
atas pemerintahan di Cirebon selama ayahnya tidak berada di tempat, khawatir
atas nasib kedua kakaknya. Kemudian ia pergi ke Banten untuk meminta bantuan
Sultan Ageng Tirtayasa (anak dari Pangeran Abu Maali yang tewas dalam Perang
Pagarage), dia mengiyakan permohonan tersebut karena melihat peluang untuk
memperbaiki hubungan diplomatik Banten-Cirebon. Dengan bantuan Pemberontak
Trunojoyo yang disokong oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran tersebut
berhasil diselamatkan.
Namun rupanya, Sultan Ageng
Tirtayasa melihat ada keuntungan lain dari bantuannya pada kerabatnya di
Cirebon itu, maka ia mengangkat kedua Pangeran yang ia selamatkan sebagai
Sultan,Pangeran Mertawijaya sebagai Sultan Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya
sebagai Sultan Kanoman,sedangkan Pangeran Wangsakerta yang telah bekerja keras
selama 10 tahun lebih hanya diberi jabatan kecil, taktik pecah belah ini
dilakukan untuk mencegah agar Cirebon tidak beraliansi lagi dengan Mataram.
Perpecahan I (1677)
Pembagian pertama terhadap
Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang
putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon
pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana
kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para
sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya
adalah:
- Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
- Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
- Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan
menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh
Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di
ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh,
rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi
sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau
keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron),
yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di
Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya
kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari
cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan
itu sebagai pejabat sementara.
Perpecahan II (1807)
Suksesi para sultan selanjutnya pada
umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV
(1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu
Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri
dengan nama Kesultanan Kacirebonan.
Kehendak Pangeran Raja Kanoman
didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan
Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para
penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak
itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan
Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara takhta Sultan
Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom
Abusoleh Imamuddin (1803-1811).
4. Masa kolonial dan kemerdekaan
Sesudah kejadian tersebut,
pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur
Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan
Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906
dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi
dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup
luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan
Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450
hektare. Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara
umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten
Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat
pemerintah Indonesia yaitu walikota dan bupati.
5. Perkembangan terakhir
Setelah masa kemerdekaan Indonesia,
Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat dari pemerintahan dan
pengembangan agama Islam. Meskipun demikian keraton-keraton yang ada tetap
menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon
dan sekitarnya. Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan
perayaan adat masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton
Nusantara (FKN).
Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai
istana Sultan Sepuh dianggap yang paling penting karena merupakan keraton
tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan
Anom berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian adalah Keraton Kacirebonan dan
Keraton Kaprabonan. Pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi konflik internal
di keraton Kanoman, antara Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan Pangeran Elang
Muhammad Saladin, untuk pengangkatan takhta Sultan Kanoman XII. Pelantikan
kedua sultan ini diperkirakan menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat
keraton tersebut
6. Puncak kejayaan
Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan
mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten
berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu.[9] Perdagangan laut berkembang ke
seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.
Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan
Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas
contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada
Kesultanan Banten. Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan
armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan
yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju
Banten.
7. Perang saudara
Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan
Banten, akibat perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan
putranya Sultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan dukungan
kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan. Sementara
dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang
utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan.[1] Dalam perang ini Sultan Ageng
terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa,
namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh
Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman
Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.
Post a Comment for "Makalah Kerajaan Islam di Indonesia : Kesultanan Cirebon Lengkap"
Post a Comment