Pergolakan yang berkaitan dengan Ideologi (1948-1965) Penyebab Disintegrasi Bangsa
Unduh dalam bentuk PDF klik
2.3
Berbagai Pergolakan di Dalam Negeri (1948-1965) Penyebab Disintegrasi Bangsa
2.3.1 Pergolakan yang
berkaitan dengan Ideologi
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Ideologi diartikan sebagai cita-cita, nilai dasar, dan keyakinan
yang ingin dijunjung tinggi sebagai pedoman normatif. Sejak kemerdekaan,
Pancasila disepakati sebagai ideologi bangsa Indonesia dan menjadi pedoman
dalam berbangsa dan bernegara. Dalam perkembangannya, muncul kelompok-kelompok
yang menganut ideologi tertentu dan berusaha mengganti Pancasila dengan
ideologi tertentu.
Menurut Herbert Feith, seorang
akademisi Australia, aliran politik besar yang terdapat di Indonesia pada masa
setelah kemerdekaan (terutama dapat dilihat sejak Pemilu 1955) terbagi dalam
lima kelompok : nasionalisme radikal (diwakili antara lain oleh PNI), Islam (NU
dan Masyumi), komunis (PKI), sosialisme demokrat (Partai Sosialis
Indonesia/PSI), dan tradisionalis Jawa (Partai Indonesia Raya/PIR, kelompok
teosofis/kebatinan, dan birokrat pemerintah/pamongpraja). Pada masa itu
kelompok-kelompok tersebut nyatanya memang saling bersaing dengan mengusung
ideologi masing-masing. Usaha kelompok-kelompok tersebut kemudian menimbulkan
konflik dan pergolakan seperti berikut ini.
Pemberontakan PKI di Madiun tidak bisa lepas dari jatuhnya
kabinet Amir Syarifuddin pada tahun 1948. Kabinet Amir Syarifuddin jatuh
disebabkan oleh kegagalannya dalam perundingan Renville yang sangat merugikan
Indonesia. Setelah Amir Syarifuddin turun dari kabinetnya dan digantikan oleh
Kabinet Hatta. Amir Syarifuddin merasa kecewa kemudian bersama
kelompok-kelompok sayap kiri lainnya tidak setuju dengan pergantian kabinet
tersebut.
Untuk merebut kembali kedudukannya, pada tanggal 28 Juni
1948 Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) Untuk memperkuat
basis massa, FDR sendiri terdiri dari Partai Sosialis Indonesia, PKI, Pesindo,
PBI, dan Sarbupri. Setelah terbentuk, FDR kemudian membentuk organisasi kaum
petani dan buruh.
Strategi yang diterapkan FDR untuk membantu Amir Syarifuddin
dalam merebut kembali kabinetnya / menjatuhkan kabinet hatta adalah:
1. FDR berusaha menumbuhkan ketidakpercayaan
rakyat terhadap pemerintah dengan cara melakukan pemogokan umum dan berbagai
bentuk pengacauan.
2. Didalam parlemen, FDR mengusahakan terbentuknya
Front Nasional yang mempersatukan berbagai kekuatan sosial politik untuk
menggulinkan Kabinet Hatta.
3. Madiun dijadikan sebagai basis pemerintah
sedangkan Surakarta dibuat sebagai daerah kacau untuk mengalihkan perhatian TNI
kala itu.
4. FDR menarik pasukan yang berada dalam medah
perang untuk memperkuat wilayah yang dibinanya.
Pada tanggal 11 Agustus 1948, Setelah Musso tiba dari
Moskow. Amir dan FDR segera bergabung dengan Musso. Semenjak itulah
bersatu kekuatan PKI dan FDR dibawah pimpinan Muso dan Amir Syarifuddin.
Kelompok gabungan PKI dan FDR ini seringkali melakukan
aksi-aksinya antara lain :
1. Melancarkan propaganda anti
pemerintah.
2. Mengadakan pemogokan-pemogokan kerja
bagi para buruh di perusahaan misalnya di pabrik karung di Delanggu Klaten.
3. Melakukan pembunuhan-pembunuhan
misalnya pada tanggal 13 September 1948 tokoh pejuang 1945 Dr. Moewardi diculik
dan dibunuh. kemudian bentrok senjata di Solo 2 Juli 1948, Komandan Divisi LIV
yakni Kolonel Sutarto secara tiba-tiba terbunuh.
Setelah Muso dan Amir Syarifuddin bergabung, dalam sidang
Politbiro PKI pada tanggal 13-14 Agustus 1948, Musso, seorang tokoh komunis Indonesia
yang lama tinggal di uni soviet (sekarang Russia) ini menjelaskan tentang
"pekerjaan dan kesalahan partai dalam dasar organisasi dan politik"
dan menawarkan gagasan / doktrin yang disebutnya "Jalan Baru untuk
Republik Indonesia". Musso menginginkan satu partai kelas buruh dengan
memakai nama yang bersejarah, yakni PKI. Untuk itu harus dilakukan fusi tiga
partai yang beraliran Marxsisme-Leninisme (PKI ilegal), Partai Sosialis
Indonesia (PSI) dan Partai Buruh Indonesia (PBI). PKI hasil fusi ini akan memimpin
revolusi proletariat untuk mendirikan sebuah pemerintahan yang disebut
"Komite Front Nasional".
Kemudian musso menggelar rapat akbar di Yogya. Di sini dia
mengutarakan pentingnya kabinet presidensial diganti jadi kabinet front
persatuan. Musso juga mendorong kerjasama internasional, terutama dengan Uni
Soviet untuk menghadapi blokade Belanda. Untuk menyebarkan gagasannya, Musso
beserta Amir dan kelompok-kelompok kiri lainnya berencana untuk menguasai
daerah-daerah yang dianggap strategis di Jawa Timur dan Jawa Tengah, yaitu
Madiun, Solo, Jombang, Wonosobo, Kediri, Bojonegoro, Purwodadi dan Cepu.
Penguasaan itu dilakukan dengan agitasi, demonstrasi, dan aksi-aksi pengacauan
lainnya.
Rencana
itu diawali dengan penculikan dan pembunuhan tokoh-tokoh yang dianggap musuh di
kota Surakarta, serta mengadudomba kesatuan-kesatuan TNI setempat, termasuk
kesatuan Siliwangi yang ada di sana.
Cara untuk menumpaskan perlawanan PKI yaitu Pemerintah langsung memerintahkan
kesatuan-kesatuan TNI yang tidak terlibat adudomba untuk memulihkan keamanan di
Surakarta dan sekitarnya. Operasi ini dipimpin oleh kolonel Gatot Subroto.
Pemerintah Indonesia sejatinya sudah melakukan upaya-upaya
diplomasi dengan Muso, bahkan sampai mengikutsertakan tokoh-tokoh kiri yang
lain, yaitu Tan Malaka, untuk meredam gerak ofensif PKI Muso. Namun kondisi
politik sudah amat panas, sehingga pada pertengahan September 1948, pertempuran
antara kekuatan-kekuatan bersenjata yang memihak PKI dengan TNI mulai meletus.
PKI dan kelompok pendukungnya (FDR) kemudian memusatkan diri di Madiun. Muso
pun kemudian pada tanggal 18 September 1948 memproklamirkan Republik Soviet
Indonesia.
Hari berikutnya, PKI/FDR menyatakan pembentukan pemerintahan
baru. Selain di Madiun, PKI juga mengumumkan hal yang sama pula di Pati, Jawa
Tengah. Pemberontakan ini menewaskan Gubernur Jawa Timur RM Suryo, dokter
pro-kemerdekaan Moewardi, serta beberapa tokoh agama dan polisi.
Untuk mengembalikan keamanan secara menyeluruh di Madiun,
pemerintah bergerak cepat. Provinsi Jawa Timur dijadikan daerah istimewa,
selanjutnya Kolonel Sungkono diangkat sebagai gubernur militer. Operasi
penumpasan dimulai pada tanggal 20 September 1948 dipimpin oleh Kolonel A. H.
Nasution.
Salah satu operasi penumpasan ini adalah pengejaran Musso
yang melarikan diri ke Sumoroto, sebelah barat Ponorogo. Pada operasi tersebut
Musso berhasil ditembak mati. Sedangkan Amir Sjarifuddin dan tokoh-tokoh kiri
lainnya berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Amir sendiri tertangkap
di daerah Grobogan, Jawa Tengah. Sedangkan sisa-sisa pemberontak yang tidak
tertangkap melarikan diri ke arah Kediri, Jawa Timur. Merekalah yang kelak di
tahun 1965, berhasil menjadikan PKI kembali menjadi partai besar di Indonesia
sebelum terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Akibat dari
pemberontakan PKI Madium sendiri, diperkirakan terdapat ribuan orang tewas dan
ditangkap pemerintah akibat pemberontakan ini.
Terdapat beragam motif dan tujuan dalam pemberontakan PKI
Madium / Pemberontakan PKI 1948, namun tujuan utama dari pemberontakan PKI
Madiun ini adalah:
1. Untuk menggulingkan kebinet Hatta
2. Untuk meruntuhkan Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan menggantinya dengan negara komunis.
3. Untuk mendirikan Negara Republik
Soviet Indonesia yang berazaskan komunisme.
Dengan diatasinya pemberontakan PKI di Madiun, maka
selamatlah bangsa Indonesia dari ancaman ideologi komunis yang bersebrangan
dengan ideologi Pancasila. Penumpasan pemberontakan PKI dilakukan oleh bangsa
Indonesia sendiri, tanpa bantuan apa pun dari pihak asing. Dalam kondisi bangsa
yang masih begitu sulit kala itu, ternyata Republik Indonesia berhasil
menggagalkan pemberontakan yang relatif besar oleh kaum komunis dalam waktu
singkat.
a. Di Jawa Barat
Pemberontakan
DI/TII di Jawa Barat dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo (S.M.
Kartosuwiryo). Pada zaman pergerakan nasional, Kartosuwiryo merupakan tokoh
pergerakan Islam Indonesia yang cukup disegani. Selama pemerintahan Jepang,
Kartosuwiryo menjadi anggota Masyumi. Bahkan, ia terpilih sebagai Komisaris
Jawa Barat merangkap Sekretaris I. Dalam kehidupannya, Kartosuwiryo mempunyai
cita-cita untuk mendirikan Negara Islam Indonesia. Untuk memujudkan
cita-citanya, Kartosuwiryo mendirikan sebuah pesantren di Malangbong Garut,
yaitu Pesantren Sufah. Pesantren Sufah selain menjadi tempat menimba ilmu
keagamaan juga dijadikan sebagai tempat latihan kemiliteran Hizbullah dan
Sabillah. Dengan pengaruhnya, Kartosuwiryo berhasil mengumpulkan banyak
pengikut yang kemudian dijadikan sebagai bagian dari pasukan Tentara Islam
Indonesia (TII). Dengan demikian, kedudukan Kartosuwiryo semakin kuat.
Pada
bulan Februari diselenggarakan sebuah konferensi di Casayong, Jawa Barat. Dalam
konferensi itu diputuskan untuk mengubah ideologi Islam dari partai menjadi
Negara. Masyumi Jawa Barat dibekukan dan sebagai gantinya diangkat Kartosuwiryo
sebagai imam bagi umat Islam Jawa Barat. Untuk menyempurnakan keputusan itu,
maka dibentuklah Tentara Islam Indonesia (TII) dan sebagai puncaknya pada
tanggal 7 Agustus 1949 diadakan Proklamasi pendirian Negara Islam Indonesia
(NII). Tujuannya yakni untuk mendirikan negara sendiri yang terpisah dari RI.
Mendirikan Negara Islam Indonesia (NII).
Cara
penumpasannya yaitu Operasi militer untuk menumpas gerakan DI/TII dimulai pada
tanggal 27 Agustus 1949. Operasi ini menggunakan taktik “pagar betis” yang
dilakukan dengan menggunakan tenaga rakyat berjumlah ratusan ribu untuk
mengepung gunung tempat gerombolan bersembunyi. Tujuan taktik ini adalah untuk
mempersempit ruang gerak DI/TII. Selain itu digunakan juga Operasi tempur
Bharatayudha dengan sasaran menuju basis pertahanan DI/TII. Operasi tersebut
baru berhasil pada tanggal 4 Juni 1962 dengan tertangkapnya Kartosuwiryo di
daerah Gunung Geber, Majalaya oleh pasukan Siliwangi.
b. Di Jawa Tengah
Pemberontakan
DI/TII di Jawa Tengah dipimpin oleh Amir Fatah dan Mahfu’dz Abdurachman (Kyai
Somalangu). Amir Fatah ialah seorang komandan laskar Hizbullah di Tulangan,
Sidoarji, dan Mojokerto. Setelah mendapat pengikut, Amir Fatah kemudian
memproklamasikan diri untuk bergabung dengan DI/TII pada tanggal 23 Agustus
1949 di Desa Pengarasan, Tegal. Amir Fatah Kemudian diangkat sebagai Komandan
Pertempuran Jawa Tengah dengan pangkat Mayor Jenderal Tentara Islam Indonesia.
Selain
itu, di Kebumen muncul pemberontakan DI/TII yang dilancarkan oleh Angkatan Umat
Islam (AUI) yang dipimpin oleh Kyai Somalangu. Kedua gerakan ini bergabung
dengan DI/TII Jawa Barat, pimpinan Kartosiwiryo. Pemberontakan di Jawa Tengah
ini menjadi semakin kuat setelah Batalion 624 pada Desember 1951 membelot dan
menggabungkan diri dengan DI/TII di daerah Kudus dan Magelang.
Untuk
mengatasi pemberontakan-pemberontakan tersebut, Pemerintahan RI membentuk
pasukan khusus yang disebut dengan Banteng Raiders. Pasukan Raiders ini
melakukan serangkaian operasi kilat penumpasan DI/TII, yaitu Operasi Gerakan
Banteng Negara (OGBN) di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sarbini, kemudian
diganti oleh Letnan Kolonel M. Bachrun, dan selanjutnya dipegang oleh Letnan
Kolonel A. Yani. Berkas operasi tersebut, pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah
dapat ditumpas pada 1954. Adapun yang mengatasi pembelotan Batalion 624,
pemerintah melancarkan Operasi Merdeka Timur yang dipimpin oleh Letnan Kolonel
Soeharto.
Tujuannya
untuk mendirikan negara sendiri yang terpisah dari RI. Menjadikan syariat islam
sebagai dasar negara.
Guna
menumpas pemberontakan tersebut maka pemerintah membentuk pasukan baru yang
disebut Banteng Raiders dengan operasinya yang disebut Gerakan Benteng Negara
(GBN). Pada 1954 dilakukan Operasi Guntur guna menghancurkan gerombolan
sementara sisanya tercerai-berai.
c. Di Aceh
Pada
tanggal 20 September 1953 terjadi proklamasi bahwa Aceh merupakan bagian dari
Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo. Pernyataan itu diberikan olehDaud
Beureueh setelah dikecewakan pimpinan Republik Indonesia yang menghapuskan
status Aceh sebagai Daerah Istimewa. Daud Beureueh yang menjabat sebagai ketua
PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) serta
bekas Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh di masa Revolusi menjadi banyak
yang mendukung gagasannya.
Tujuannya
untuk mendirikan negara sendiri yang terpisah dari RI. Untuk menentang Penjajah
Belanda di Indonesia.
Pemberontakan
ini diatasi oleh pemerintah dengan menggunakan kekuatan senjata dan operasi
militer. Sehingga gerombolan mulai terdesak dari kota-kota yang diduduki.
TNI-pun memberikan penerangan kepada masyarakat untuk menghindari salah paham
dan mengembalikan kepercayaan terhadap pemerintah. Pada tanggal 17–28 Desember
1962, atas prakarsa Panglima Kodami Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin diadakan
Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh. Musyawarah tersebut mendapat dukungan dari
tokoh-tokoh masyarakat Aceh dan berhasil memulihkan keamanan di Aceh.
d. Di Kalimantan Selatan
Pernyataan
sebagai bagian dari NII pimpinan Kartosuwiryo juga terjadi di Kalimantan
Selatan pada bulan Oktober 1950. Ibnu Hajar alias Haderi bin Umar alias Angli
adalah bekas Letnan Dua TNI yang bersama anggota kesatuannya melakukan desersi
dan menyatakan bergabung dengan gerakan Kartosuwiryo. Bahkan Ibnu Hajar
diangkat menjadi Menteri Negara oleh Kartosuwiryo.
Tujuan
pergolakan untuk mendirikan negara sendiri yang terpisah dari RI. Untuk
menyatakan gerakannya bagian dari DI/TII. Agar semua perwira dan tentara
mendapatkan perlakuan yang adil.
Cara
penumpasannya yakni pemerintah pada mulanya melakukan pendekatan kepada Ibnu
Hadjar dengan diberi kesempatan untuk menyerah, dan akan diterima menjadi
anggota ABRI. Ibnu Hadjar sempat menyerah, akan tetapi setelah menyerah dia
kembali melarikan diri dan melakukan pemberontakan lagi. Pemerintah akhirnya menugaskan pasukan ABRI
(TNI-POLRI) untuk menangkap Ibnu Hadjar. -Pada akhir tahun 1959 Ibnu Hadjar beserta seluruh anggota gerombolannya
tertangkap dan dihukum mati.
e. Di Sulawesi Selatan
Kahar
Muzakkar di Sulawesi Selatan juga melakukan hal yang sama setelah dikecewakan
oleh Pimpinan RI. Sebagai ketua Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yang
beranggotakan sekitar 15.000 gerilyawan menuntut pemerintah agar semua
anggotanya diangkat menjadi tentara pemerintah, Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat (APRIS), dengan nama Brigade Hasanuddin. Tuntutan ditolak,
karena keanggotaan APRIS melalui seleksi. Penolakan itu mengecawakan, karena
yang lolos seleksi justru Andi Aziz dan anak buahnya yang bekas tentara KNIL.
Kekecawaan memuncak ketika Letkol Warouw diangkat sebagai komandan Korps
Cadangan Tentara Nasional (CTN), sehingga Kahar Muzakkar melarikan diri ke
hutan dan memproklamasikan diri sebagai bagian dari NII pimpinan Kartosuwiryo.
Gerakan
DI/TII secara bertahap dapat dipadamkan. Operasi militer yang paling lama
adalah pengkapan Kartosuwiryo yang baru memperoleh hasil pada tanggal 14
Agustus 1962. Melalui pengadilan Mahkamah Angkatan Darat, Kartusowiryo dijatuhi
hukuman mati.
Tujuan
pergolakan yaitu Kahar Muzakar menuntut agar kesatuan gerilya Sulawesi selatan
dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan dalam brigade yang disebut brigade
hasanuddin dibawah pimpinannya.
Upaya
penumpasan yang dilakukan oleh pemerintah yaitu Pemerintah melancarkan operasi militer, dan pada Tanggal 3 Februari
1965, Kahar Muzakkar tertembak mati oleh pasukan ABRI (TNI-POLRI) dalam sebuah
baku tembak.
Pada tanggal 4 Agustus
1965 kondisi Presiden Soekarno sangat mengkhawatirkan., pada saat itu beliau
sakit muntah muntah dan pingsan, dan menurut team dokter dari Cina yang
memeriksanya terdapat dua kemungkinan dengan kondisi presiden, yaitu meninggal
atau lumpuh. Diagnosa team dokter dari Cina ini membuat para pimpinan PKI
segera mnengambil sikap untuk secepatnya melakukan gerakan sebelum akhirnya
presiden meninggal.
Dimulai dari desa Lubang
Buaya, pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 03.00 WIB dini hari mereka melakukan
Gerakan penculikan terhadap para perwira tinggi Angkatan Darat, yaitu :
1.
Kepala Staf Angkatan
Darat, Jenderal Abdul Haris Nasution
2.
Menteri Panglima Angkatan
Darat (MenPangad), Letnan Jenderal Ahmad Yani
3.
Deputi II Panglima
Angkatan Darat, Mayor Jenderal Soeprapto
4.
Deputi III Panglima
Angkatan Darat, Mayor jenderal Haryono Mas Tirtodarmo
5.
Asisten I Panglima
Angkatan Darat, Mayor Jenderal Soewondo Parman
6.
Asisten IV Panglima
Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Donald Icasus Panjaitan
7.
Inspektur Kehakiman/Oditur
Jenderal Angkatan darat, Mayor Jenderal Sutoyo Siswomihardjo
Dalam peristiwa
penculikan, dari ketujuh Perwira Tinggi Angkatan Darat tersebut mengalami nasib
yang tidak sama :
1.
Jenderal Abdul Haris
Nasution berhasil lolos dari penculikan dengan meloncat pagar rumah Wakil
Perdana Menteri III Dr. J. Leimena. Tetapi puterinya yang berusia 5 tahun
terpaksa menjadi korban keganasan G 30 S / PKI : Ade Irma Suryani Nasution
terkena peluru yang ditembakkan oleh PKI. Beliau kemudian bersembunyi di tempat
yang dirahasiakan, dengan kondisi kedua kaki terluka.
2.
Letnan Jenderal Ahmad Yani
dan Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan dibawa dalam kondisi meninggal setelah di
tembak di rumah beliau masing-masing.
3.
Haryono M.T., Sutoyo
Siswomihardjo, S. Parman dan Soeprapto di bawa dalam keadaan hidup ke desa
Lubang Buaya.
4.
Selain para perwira tinggi
tersebut dan Ade irma Suryani, terdapat korban lain keganasan gerombolan ini,
yaitu :
a.
Brigadir Polisi Karel
Sasuit Tubun (ajudan Waperdam III Dr. J. Leimena) yang tertembak mati,
pada saat gerombolan salah sasaran masuk ke rumah Dr. J. Leimena, yang di kira rumah
A.H. Nasution.
b.
Letnan Satu Pierre Tendean
(ajudan Jenderal AH Nasution) yang ditangkap hidup - hidup karena dikira dia
lah Nasution.
c.
Polisi Sukitman yang
tertangkap secara tidak sengaja pada saat meronda di sekitar Lubang
Buaya. Tetapi
berhasil lolos dari maut.
Sementara itu pada tanggal 1 Okto0ber 1965 sore hari terjadi penculikan dan
pembunuhan terhadap Komandan Korem O72, Kolonel Katamso dan
Wakilnya Letnan Kolonel Sugiono.
Pada tanggal 1 Oktober
1965, Mayor Jenderal Soeharto (Pangkostrad) mengambil alih pimpinan Angkatan
Darat, karena nasib para pemimpin Angkatan Darat belum diketahui. Pada hari itu
juga Mayjend. Soeharto menunjuk Kolonel Sarwo Edhie Wibowo (komandan RPKAD)
sebagai Komandan penumpasan Gerakan 30 September di Jakarta, sedangkan di Jawa
Tengah penumpasan di pimpin oleh Pangdam VII Diponegoro Brigjend. Suryo
Sumpeno. Sebagai komandan pasukan penumpasan G 30 S, tugas pertama Kolonel
Sarwo Edhie Wibowo adalah merebut kembali RRI Stasiun Pusat Jakarta yang telah
berhasil dikuasai gerombolan.
Tanggal 2 Oktober 1965
pasukan Kol. Sarwo Edhie melakukan penyisiran di sekitar Lapangan terbang Halim
Perdana Kusuma, karena dari daerah inilah (Lubang Buaya) pada tanggal 1 Oktober
terdengar suara suara gaduh dan tembakan. Kedatangan pasukan ini membuat
gerombolan yang masih berada di Lubang Buaya kalang kabut dan melarikan diri,
meninggalkan Brigadir Polisi Sukitman yang masih terikat di pohon.
Berdasarkan petunjuk
Brigadir Polisi Sukitman yang berhasil lolos dari sekapan gerombolan, jenazah
para perwira AD dapat ditemukan pada tanggal 3 Okrtober 1965 dan dimakamkan di
TMP Kalibata pada tanggal 5 Oktober 1965. Pada tanggal ini juga Ade Irma
Suryani Nasution meninggal di rumah sakit setelah koma sejak tanggal 1 Oktober
1965..
Operasi penumpasan G 30 S
berlangsung diberbagai daerah. Selain di jakarta dan Jawa Tengah, operasi
penumpasan juga dikembangkan untuk memburu para gembong penculikan sampai
daerah Blitar Selatan. Operasi Militer di Blitar Selatan diberi nama Operasi
trisula, sedangkan diperbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur diberi nama
Operasi Kikis. Operasi-operasi tersebut berhasil menangkap dan menembak
tokoh-tokoh G 30 S / PKI. Dalang utama G 30 S / PKI, D.N., Aidit tertembak mati
pada tanggal 24 Nopember 1965.
Tanggal 1 Desember 1965 dibentuk Komando Merapi yang dipimpin oleh Kolonel
Sarwo Edhie Wibowo untuk memburu gembong pemberontak yang lari ke Jawa Tengah.
Dalam operasi ini berhasil ditembak mati gembong-gembong pemberontak, seperti :
Kol. Sahirman, Kol. Maryono, Letkol Usman, Mayor Samadi, Mayor RW Sakirno dan
Kapten Sukarno.Sedangkan tokoh-tokoh yang tertangkap hidup-hidup seperti Letkol
Untung Sutopo, diadili dalam Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) pada
tanggal 14 Pebruari 1966.
Faktor penyebab kegagalan
kudeta G 30 S/PKI yaitu :
1.
Pasukan
G 30 S/PKI gagal menculik dan membunuh Jendral A.H. Nasution.
2.
Brigjen
Soepardjo gagal menemui Presiden Soekarno.
3.
Brigjen
Sabirin Muchtar dan Letkol Ali Murtopo berhasil membujuk Batalion 454 dan
Batalion 530 untuk tidak memberontak.
4.
Pasukan
yang melakukan gerakan tidak diberi logistic sehingga mereka kelaparan dan
kehausan.
5.
Jendral
Pranoto yang ditunjuk sebagai pelaksana sehari hari (care taker Menteri/
Panglima AU) tidak memanfaatkan momentum untuk segera mengambil alih pimpinan,
sebaiknya ia dating ke markas Kostrad.
6.
Pengumuman
mendemisionerkan kabinet pimpinan Presiden Soekarno dan penurunan pangkat ABRI
membangkitkan antipasti masyarakat.
Post a Comment for "Pergolakan yang berkaitan dengan Ideologi (1948-1965) Penyebab Disintegrasi Bangsa"
Post a Comment