Peran Indonesia dalam Pelaksanaan Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955
Berakhirnya Perang Dunia II pada bulan Agustus 1945, tidak berarti berakhir pula situasi permusuhan di antara bangsa-bangsa di dunia dan tercipta perdamaian dan keamanan. Ternyata di beberapa pelosok dunia, terutama di belahan bumi Asia Afrika, masih ada masalah dan muncul masalah baru yang mengakibatkan permusuhan yang terus berlangsung, bahkan pada tingkat perang terbuka, seperti di Jazirah Korea, Indo Cina, Palestina, Afrika Selatan, Afrika Utara.
Masalah-masalah
tersebut sebagian disebabkan oleh lahirnya dua blok kekuatan yang bertentangan
secara ideologi maupun kepentingan, yaitu Blok Barat dan Blok Timur. Blok Barat
dipimpin oleh Amerika Serikat dan Blok Timur dipimpin oleh Uni Sovyet.
Tiap-tiap blok berusaha menarik negara-negara Asia dan Afrika agar menjadi
pendukung mereka. Hal ini mengakibatnkan tetap hidupnya dan bahkan tumbuhnya
suasana permusuhan yang terselubung diantara dua blok itu dan pendukungnya. Suasana
permusuhan tersebut dikenal dengan nama “Perang Dingin”.
Timbulnya
pergolakan di dunia disebabkan pula masih adanya penjajahan di bumi kita ini,
terutama di belahan Asia dan Afrika. Memang sebelum tahun 1945, pada umumnya
dunia Asia dan Afrika merupakan daerah jajahan bangsa Barat dalam aneka bentuk.
Tetapi sejak tahun 1945, banyak di daerah Asia Afrika menjadi negara merdeka
dan banyak pula yang masih berjuang bagi kemerdekaan negara dan bangsa mereka
seperti Aljazair, Tunisia, dan Maroko di wilayah Afrika Utara; Vietnam di Indo
Cina; dan di ujung selatan Afrika. Beberapa negara Asia Afrika yang telah
merdeka pun masih banyak yang menghadapi masalah-masalah sisa penjajahan
seperti Indonesia tentang Irian Barat, India dan Pakistan.
Sementara
itu bangsa-bangsa di dunia, terutama bangsa-bangsa Asia Afrika, sedang dilanda
kekhawatiran akibat makin dikembangkannya senjata nuklir yang bisa memusnahkan
umat manusia. Situasi dalam negeri di beberapa Asia Afrika yang telah merdeka
pun masih terjadi konflik antar kelompok masyarakat sebagai akibat masa
penjajahan (politik divide et impera) dan perang dingin antara Blok
dunia tersebut. Walaupun pada masa itu telah ada badan internasional yaitu
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfungsi menangani masalah-masalah
dunia, namun nyatanya badan ini belum berhasil menyelesaikan persoalan
tersebut. Sedangkan kenyataannya, akibat yang ditimbulkan oleh masalah-masalah
ini, sebagian besar diderita oleh bangsabangsa di Asia Afrika. Keadaan itulah
yang melatarbelakangi lahirnya gagasan untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika.
Pada
awal tahun 1954, Perdana Menteri Ceylon (Srilangka) Sir Jhon Kotelawala
mengundang para Perdana Menteri dari Birma (U Nu), India (Jawaharlal Nehru),
Indonesia (Ali Sastroamidjojo), dan Pakistan (Mohammed Ali) dengan maksud
mengadakan suatu pertemuan informal di negaranya. Undangan tersebut diterima
baik oleh semua pimpinan pemerintah negara yang diundang. Pertemuan yang
kemudian disebut Konferensi Kolombo itu dilaksanakan pada tanggal 28 April
sampai dengan 2 Mei 1954. Konferensi ini membicarakan masalah-masalah yang
menjadi kepentingan bersama.
Yang
menarik perhatian para peserta konferensi, diantaranya pernyataan yang diajukan
oleh Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo:
“Dimana sekarang kita berdiri,
bangsa Asia sedang berada di tengah-tengah persaingan dunia. Kita
sekarang berada dipersimpangan jalan sejatah umat manusia. Oleh karena itu
kita Lima Perdana Menteri negara-negara Asia bertemu disini untuk
membicarakan masalah-masalah yang krusial yang sedang dihadapi oleh
masyarakat yang kita wakili. Ada beberapa hal yang mendorong Indonesia
mengajukan usulan untuk mengadakan pertemuan lain yang lebih luas,
antara negara-negara Afrika dan Asia .Saya percaya bahwa masalah-masalah itu
tidak terjadi hanya di negara-negara Asia yang terwakili disini, tetapi
juga sama pentingnya bagi negara-negara Afrika dan Asia lainnya”. (Ali
Sastroamidjojo, Tonggak-tonggak di Perjalananku, Kinta,1974).
Pernyataan
tersebut memberi arah kepada lahirnya Konferensi Asia Afrika (KAA).
Selanjutnya, soal perlunya Konferensi Asia Afrika diadakan, diajukan pula
oleh Indonesia dalam sidang berikutnya. Usul itu akhirnya diterima oleh semua
konferensi, walaupun masih dalam suasana keraguan. Perdana Menteri Indonesia
pergi ke Kolombo untuk memenuhi undangan Perdana Menteri Srilangka
dengan membawa bahan-bahan hasil perumusan Pemerintah Indonesia
. Bahan-bahan tersebut merupakan hasil rapat dinas Kepala-kepala Perwakilan
Indonesia di negara-negara Asia dan Afrika yang dipimpin oleh Menteri
Luar Negeri Mr.Sunario. Rapat dinas tersebut diadakan di Tugu (Bogor)
pada tanggal 9 Sampai dengan 22 Maret 1954. Akhirnya, dalam pernyataan
bersama pada akhir Konferensi Kolombo, dinyatakan bahwa para
Perdana Menteri peserta konferensi membicarakan kehendak untuk mengadakan
konferensi negara-negara Asia Afrika dan menyetujui usul agar Perdana
Menteri Indonesia dapat menjajaki sampai dimana kemungkinannya mengadakan
konferensi semacam itu.
Konferensi
Kolombo telah menugaskan Indonesia agar menjajaki kemungkinan untuk diadakannya
Konferensi Asia Afrika. Dalam rangka menunaikan tugas itu Pemerintah Indonesia
melakukan pendekatan melalui saluran diplomatik kepada 18 negara Asia Afrika.
Maksudnya, untuk mengetahui sejauh mana pendapat negara-negara tersebut
terhadap ide mengadakan konferensi tersebut. Ternyata pada umumnya
negara-negara yang dihubungi menyambut baik ide tersebut dan menyetujui
Indonesia sebagai tuan rumah pelaksanaan konferensi.
Atas
undangan Perdana Menteri Indonesia, para Perdana Menteri peserta Konferensi
Kolombo (Birma/Myanmar, Srilangka, India, Indonesia, dan Pakistan) mengadakan
Konferensi di Bogor pada tanggal 28 dan 29 Desember 1954, yang dikenal dengan
sebutan Konferensi Panca Negara. Konferensi ini membicarakan persiapan
pelaksanaan Konferensi Asia Afrika.
Bogor
berhasil merumuskan kesepakatan bahwa Konferensi Asia Afrika diadakan atas
penyelenggaraan bersama dan kelima negara peserta konferensi tersebut menjadi
negara sponsornya. Undangan kepada negara-negara peserta disampaikan oleh
Pemerintah Indonesia atas nama lima negara. Negara-negara yang diundang
disetujui berjumlah 25 negara, yaitu: Afganistan, Kamboja, Federasi Afrika
Tengah, Republik Rakyat Tiongkok (China), Mesir, Ethiopia, Pantai Emas (Gold
Coast), Iran, Irak, Jepang, Yordania, Laos, Libanon, Liberia, Libya, Nepal,
Filipina, Saudi Arabia, Sudan, Syria, Thailand (Muangthai), Turki, Republik
Demokrasi Vietnam (Vietnam Utara), Vietnam Selatan, dan Yaman. Waktu Konferensi
ditetapkan pada minggu terakhir April 1995.
Mengingat
negara-negara yang akan diundang mempunyai politik luar negeri serta sistem
politik dan sosial yang berbeda-beda. Konferensi Bogor menentukan bahwa
menerima undangan untuk turut dalam konferensi Asia Afrika tidak berarti bahwa
negara peserta tersebut akan berubah atau dianggap berubah pendiriannya
mengenai status dari negara-negara lain. Konferensi menjunjung tinggi pula asas
bahwa bentuk pemerintahan atau cara hidup sesuatu negara sekali-sekali tidak
akan dapat dicampuri oleh negara lain. Maksud utama konferensi ialah supaya
negara-negara peserta menjadi lebih saling mengetahui pendirian mereka
masing-masing.
Gedung
Dana Pensiun dipersiapkan sebagai tempat sidang-sidang Konferensi. Hotel
Homann, Hotel Preanger, dan 12 (duabelas) hotel lainnya serta perumahan
perorangan dan pemerintah dipersiapkan pula sebagai tempat menginap para tamu
yang berjumlah 1300 orang. Dalam kesempatan memeriksa persiapanpersiapan
terakhir di Bandung pada tanggal 17 April 1955, Presiden RI Soekarno meresmikan
penggantian nama Gedung Concordia menjadi Gedung Merdeka, Gedung Dana Pensiun
menjadi Gedung Dwi Warna, dan sebagian Jalan Raya Timur menjadi Jalan Asia
Afrika. Penggantian nama tersebut dimaksudkan untuk lebih menyemarakkan
konferensi dan menciptakan suasana konferensi yang sesuai dengan tujuan
konferensi.
Pada
tanggal 15 Januari 1955, surat undangan Konferensi Asia Afrika dikirimkan
kepada Kepala Pemerintahan 25 (dua puluh lima) negara Asia dan Afrika. Dari
seluruh negara yang diundang hanya satu negara yang menolak undangan itu, yaitu
Federasi Afrika Tengah (Central African Federation), karena memang
negara itu masih dikuasai oleh orang-orang bekas penjajahnya. Sedangkan 24 (dua
puluh empat) negara lainnya menerima baik undangan itu, meskipun pada mulanya
ada negara yang masih ragu-ragu. Sebagian besar
delegasi peserta konferensi tiba di Bandung lewat Jakarta pada tanggal
16 April 1955.
Pada
tanggal 18 April 1955 Konferensi Asia Afrika dilangsungkan di Gedung Merdeka
Bandung. Konferensi dimulai pada jam 09.00 WIB dengan pidato pembukaan oleh
Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno. Sidangsidang selanjutnya dipimpin
oleh Ketua Konferensi Perdana Menteri RI Ali Sastroamidjojo. Konferensi Asia
Afrika di Bandung melahirkan suatu kesepakatan bersama yang merupakan
pokok-pokok tindakan dalam usaha menciptakan perdamaian dunia. Ada sepuluh
pokok yang dicetuskan dalam konferensi tersebut, maka itu disebut Dasasila
Bandung.
Dasasila
Bandung:
1.
Menghormati hak-hak dasar
manusia dan tujuan-tujuan, serta asas-asas kemanusian yang termuat dalam piagam
PBB.
2.
Menghormati kedaulatan
dan integritas teritorial semua bangsa.
3.
Mengakui persamaan semua
suku-suku bangsa dan persamaan semua bangsa besar maupun kecil.
4.
Tidak melakukan campur
tangan dalam soal-soal dalam negara lain.
5.
Menghormati hak-hak tiap
bangsa untuk mempertahankan diri secara sendirian atau secara kolektif, yang
sesuai dengan piagam PBB.
6.
Tidak melakukan tekanan
terhadap negara-negara lain.
7.
Tidak melakukan
tindakan-tindakan atau ancaman agresi terhadap integritas teritorial dan
kemerdekaan negara lain.
8.
Menyelesaikan segala
perselisihan internasional dengan jalan damai seperti perundingan, persetujuan,
dan lain-lain yang sesuai dengan piagam PBB.
9.
Memajukan kerjasama untuk
kepentingan bersama.
10. Menghormati
hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.
Dalam
penutup komunike terakhir dinyatakan bahwa Konferensi Asia Afrika menganjurkan
supaya kelima negara penyelenggara mempertimbangkan untuk diadakan pertemuan
berikutnya dari konferensi ini, dengan meminta pendapat negara-negara peserta
lainnya. Tetapi usaha untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika kedua selalu
mengalami hambatan yang sulit diatasi. Tatkala usaha itu hampir terwujud
(1964), tiba-tiba di negara tuan rumah (Aljazair) terjadi pergantian pemerintahan,
sehingga konferensi itu tidak jadi. Konferensi Asia Afrika di Bandung, telah
berhasil menggalang persatuan dan kerja sama di antara negara-negara Asia dan
Afrika, baik dalam menghadapi masalah internasional maupun masalah regional.
Konferensi serupa bagi kalangan tertentu di Asia dan Afrika beberapa kali
diadakan pula, seperti Konferensi Wartawan Asia Afrika, Konferensi Islam Asia
Afrika, Konferensi Pengarang Asia Afrika, dan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika.
Konferensi
Asia Afrika telah membakar semangat dan menambah kekuatan moral para pejuang
bangsa-bangsa Asia Afrika yang pada masa itu tengah memperjuangkan kemerdekaan
tanah air mereka, sehingga kemudian lahirlah sejumlah negara merdeka di benua
Asia dan Afrika. Semua itu menandakan bahwa cita-cita dan semangat Dasa Sila
Bandung semakin merasuk kedalam tubuh bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Jiwa
Bandung dengan Dasa Silanya telah mengubah pandangan dunia tentang hubungan
internasional. Bandung telah melahirkan faham Dunia Ketiga atau “Non-Aligned”
terhadap dunia pertamanya Washington dan Dunia keduanya Moscow.
Dengan
diselenggarakannya KAA di Bandung, kota Bandung menjadi terkenal di seluruh
dunia. Semangat perdamaian yang dicetuskan di kota Bandung dijuluki “semangat
Bandung” atau “Bandung Spirit”. Untuk mengabadikan peristiwa sejarah
yang penting itu jalan protokol di kota Bandung yang terbentang di depan gedung
Merdeka diberi nama Jalan Asia Afrika.
Post a Comment for "Peran Indonesia dalam Pelaksanaan Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 "
Post a Comment