Pergolakan yang berkaitan dengan Kepentingan (vested interest) Penyebab Disintegrasi Bangsa
Unduh dalam bentu PDF klik
2.3.2 Pergolakan yang
berkaitan dengan Kepentingan (vested interest)
Vested Interest merupakan kepentingan yang tertanam dengan
kuat pada suatu kelompok. Kelompok ini biasanya berusaha untuk mengontrol suatu
sistem sosial atau kegiatan untuk keuntungan sendiri. Mereka juga sukar untuk
mau melepas posisi atau kedudukannya sehingga sering menghalangi suatu proses
perubahan. Baik APRA, RMS dan peristiwa Andi Aziz, semuanya berhubungan dengan
keberadaan pasukan KNIL atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda, yang tidak mau
menerima kedatangan tentara Indonesia di wilayah-wilayah yang sebelumnya mereka
kuasai. Dalam situasi seperti ini, konflikpun terjadi.
2.3.2.1 Pemberontakan
APRA
Adalah peristiwa yang terjadi pada 23
Januari 1950 dimana kelompok milisi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang ada
di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling yang juga mantan
komandan Depot Speciale Troepen (Pasukan Khusus) KNIL, masuk ke kota Bandung
dan membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka temui. Aksi gerombolan ini
telah direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah
diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.
Gerakan APRA didasari adanya kepercayaan
rakyat akan datangnya seorang Ratu Adil yang akan membawa mereka ke suasana yang
aman dan tentram serta memerintah dengan adil dan bijaksana, seperti yang terdapat
dalam ramalan Jayabaya.
Tujuan Gerakan APRA adalah mempertahankan
bentuk Negara federal di Indonesia dan memiliki tentara tersendiri pada
Negara-negara bagian RIS.
Pada bulan November 1949, Dinas rahasia
militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah mendirikan organisasi
rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang diterima
Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa
nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan
Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan
Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah mantan anggota KNIL dan
yang melakukan desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga mendapat bantuan
dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di
kota Medan.
Pada 5 Desember malam, sekitar pukul 20.00
Westerling menelepon Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi
Tentara Belanda, pengganti Letnan Jenderal Spoor. Westerling menanyakan
bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah penyerahan kedaulatan
Westerling berencana melakukan kudeta terhadap Sukarno dan kliknya. Van Vreeden
memang telah mendengar berbagai kabar, antara lain ada sekelompok militer yang
akan mengganggu jalannya penyerahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar
mengenai kelompoknya Westerling.
Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus
bertanggung-jawab atas kelancaran "penyerahan kedaulatan" pada 27
Desember 1949, memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan
tersebut, tapi van Vreeden tidak segera memerintahkan penangkapan Westerling
Pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah
menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST dengan persenjataan berat
telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar.
Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL
J.H.W. Nix melaporkan, bahwa kompi "Erik" yang berada di
Kampemenstraat malam itu juga akan melakukan desersi dan bergabung dengan APRA
untuk ikut dalam kudeta, namun dapat digagalkan oleh komandannya sendiri,
Kapten G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm besar. Dia mengontak
Letnan Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan
kejadian ini kepada Jenderal Buurman van Vreeden di Jakarta.
Antara pukul 8.00 dan 9.00 dia menerima
kedatangan komandan RST Letkol Borghouts, yang sangat terpukul akibat desersi
anggota pasukannya. Pukul 9.00 Engles menerima kunjungan Letkol. Sadikin.
Ketika dilakukan apel pasukan RST di Batujajar pada siang hari, ternyata 140
orang yang tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan, bahwa 190 tentara
telah desersi, dan dari SOP di Cimahi dilaporkan, bahwa 12 tentara asal Ambon
telah desersi.
Namun upaya mengevakuasi Regiment Speciale
Troepen (RST), gabungan baret merah dan baret hijau telah terlambat untuk
dilakukan. Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling mendengar mengenai
rencana tersebut, dan sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23
Januari 1950, Westerling melancarkan kudetanya. Subuh pukul 4.30, Letnan
Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu
pasukan kuat APRA bergerak melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung."
Westerling dan anak buahnya menembak mati
setiap anggota TNI yang mereka temukan di jalan. 94 anggota TNI tewas dalam
pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong, sedangkan di pihak APRA,
tak ada korban seorang pun.
Sementara Westerling memimpin penyerangan
di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST dipimpin oleh Sersan Meijer menuju
Jakarta dengan maksud untuk menangkap Presiden Soekarno dan menduduki
gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari pasukan KNIL lain dan Tentara
Islam Indonesia (TII) yang diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga
serangan ke Jakarta gagal dilakukan.
Setelah puas melakukan pembantaian di
Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang mendukungnya kembali ke
tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, dan pada 24
Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang
didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik pedas terhadap
Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan
besar di Bandung. Tak ada perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi
meninggalkan hotel.
Setelah itu terdengar berita bahwa
Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya. Pada 25 Januari, Hatta
menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling, didukung oleh RST dan Darul
Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima laporan, bahwa Westerling
melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul Islam
waktu itu. Major Jendral Engels mendesak Kapten Westerling untuk meninggalkan
kota Bandung. Pada pertengahan Februari 1950, kekuatan APRA tercerai berai dan
hancur. Sementara itu, sisa-sisa kekuatan APRA berhasil ditumpas oleh APRIS.
Pada
22 Februari 1950, Kapten Westerling meninggalkan Indonesia. Ia ditangkap di
Singapura pada 26 Februari 1950. Setelah APRIS berhasil menumpas gerakan APRA,
keamanan di Bandung dan sekitarnya berhasil dipulihkan kembali.
2.3.2.2 Pemberontakan
Andi Aziz
Andi Aziz merupaka seorang Bugis yang
memiliki karir dan jam terbang tinggi di dunia militer. Ia merupakan perwira
Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL)., yaitu tentara bentukan
pemerintah kolonial Belanda. Ia juga pernah menjadi Komandan Kompi Angkatan
Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) di Makassar. Pada awal April 1950,
situasi politik di Makassar tidak stabil akibat adanya demonstrasi antara
kelompok antifederal (menuntut Negara Indonesia Timur secepatnya membubarkan
diri dan bergabung dengan Indonesia) dengan kelompok profederal (mempertahankan
negara Indonesia Timur). Ada
beberapa faktor yang menyebabkan pemberontakan, yaitu :
1.
Menuntut
agar pasukan bekas KNIL saja yang bertanggung jawab atas keamanan di Negara
Indonesia Timur.
2.
Menentang
masuknya pasukan APRIS dari TNI.
3.
Mempertahankan
tetap berdirinya Negara Indonesia Timur
Karena
tindakan Andi Azis tersebut maka pemerintah pusat bertindak tegas. Pada tanggal
8 April 1950 dikeluarkan ultimatum bahwa dalam waktu 4 x 24 jam Andi Azis harus
melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya,
pasukannya harus dikonsinyasi, senjata-senjata dikembalikan, dan semua tawanan
harus dilepaskan. Kedatangan pasukan pimpinan Worang kemudian disusul oleh
pasukan ekspedisi yang dipimpin oleh Kolonel A.E Kawilarang pada tanggal 26
April 1950 dengan kekuatan dua brigade dan satu batalion di antaranya adalah
Brigade Mataram yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Suharto. Kapten Andi Azis
dihadapkan ke Pengadilan Militer di Yogyakarta untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.
2.3.2.3 Pemberontakan RMS
Pemberontakan ini terjadi di Ambon pada tanggal
25 April 1950 yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia bekas anggota KNIL
(Koninklijk Nederlands Indisch Leger) yang pro Belanda. Latar belakang dari
pergolakan RMS adalah tidak
puas dengan terjadinya proses kembali ke NKRI. Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan)
dipimpin oleh Dr. Soumokil, bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur.
Untuk menumpas
pemberontakan RMS,
Pemerintah semula mencoba menyelesaikan secara damai dengan mengirimkan suatu
misi yang dipimpin oleh Dr. Leimena. Akan tetapi upaya ini tidak berhasil. Oleh
karena itu pemerintah segera mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah pimpinan
Kolonel AE. Kawilarang. Pada tanggal 25 September 1950 seluruh Ambon dan
sekitarnya dapat dikuasai oleh pasukan pemerintah. Dalam pertempuran melawan
pemberontak RMS ini gugurlah seorang pahlawan ketika memperebutkan benteng
Nieuw Victoria, yakni Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Tokoh-tokoh lain dari APRIS
(TNI) yang gugur adalah Letnan Kolonel S. Sudiarso dan Mayor Abdullah.
Post a Comment for "Pergolakan yang berkaitan dengan Kepentingan (vested interest) Penyebab Disintegrasi Bangsa"
Post a Comment