Peran Indonesia dalam Menciptakan Deklarasi Djuanda
Pada tanggal 13
Desember 1957 Pemerintah RI mengeluarkan sebuah klaim atau pernyataan yang
menjadi salah satu dasar kedaulatan wilayah yang baru setelah Proklamasi
Kemerdekaan RI tahun 1945 dan Konferensi Meja Bundar tahun 1949. Karena
pernyataan tersebut dilakukan pada masa Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaya
maka lebih dikenal sebagai Deklarasi Djuanda. Deklarasi Djuanda adalah suatu
perjuangan bangsa Indonesia untuk memperjuangkan batas wilayah laut, sehingga
wilayah Indonesia merupakan suatu kesatuan yang utuh dilihat dari berbagai
aspek, yaitu aspek politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Melihat
kondisi geografis Indonesia yang unik, banyaknya wilayah laut dibanding darat,
menyadarkan pemerintah Indonesia bahwa persoalan wilayah laut merupakan faktor
penting bagi kedaulatan negara.
Secara historis batas
wilayah laut Indonesia telah dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda, yaitu
dalam Territorial Zee Maritieme Kringen Ordonantie tahun 1939, yang
menyatakan bahwa lebar wilayah laut Indonesia adalah tiga mil diukur dari garis
rendah di pantai masing-masing pulau Indonesia. Karenanya di antara ribuan
pulau di Indonesia terdapat laut-laut bebas yang membahayakan kepentingan
bangsa Indonesia sebagai Negara Kesatuan.
Selama masa pendudukan
bangsa Eropa di wilayah Nusantara, prinsip kebebasan lautan yang diajarkan Hugo
de Groot (Grotius), seorang ilmuwan dari Belanda telah mengakibatkan
datangnya pedagang-pedagang Belanda ke negeri Nusantara melalui lautan, yang
kemudian berlanjut dengan penjajahan. Pada tahun 1608, Hugo de Groot menuliskan
dalam bukunya bahwa Belanda, seperti halnya bangsa Eropa yang lainnya, memiliki
hak yang sama untuk berlayar ke Timur. Dengan demikian, prinsip hak milik
negara atas lautan juga telah menyebabkan penguasaan Nusantara beserta lautnya
oleh berbagai kekuatan luar seperti Portugal, Spanyol, Inggris dan lain-lain.
Selama kurang lebih tiga abad selanjutnya, laut Nusantara lebih banyak
berfungsi sebagai alat pemisah dan pemecah belah kesatuan dan persatuan
Indonesia.
Baru pada abad ke-20,
melalui Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939
(Staatsblad 1939 No. 422) atau yang biasa disingkat dengan Ordonantie 1939,
wilayah laut dalam suatu pulau di Nusantara memiliki ketetapan hukum yang
diakui secara internasional. Ordonantie 1939 menetapkan bahwa jarak laut
teritorial bagi tiap-tiap pulau sejauh tiga mil. Peraturan ini, memunculkan
’kantong-kantong’ lautan bebas di tengahtengah wilayah negara yang membuat
kapal-kapal asing dapat berlayar secara bebas. Ordonansi itu juga berlaku bagi
kapal-kapal perang Belanda yang tidak mungkin dilarang oleh Indonesia.
Kapal-kapal Belanda dapat dengan bebas menjelajahi perairan laut di antara
pulau-pulau di Indonesia karena memang hukum laut internasional yang berlaku
saat itu masih memungkinkannya. Indonesia tidak memiliki hak untuk melarangnya
apalagi kekuatan Angkatan Laut Indonesia masih jauh ketinggalan dengan Belanda.
Keberadaan laut bebas
di antara pulau-pulau di wilayah Negara Republik Indonesia jelas sangatlah
janggal. Bagaimana pun penduduk antara satu pulau dengan pulau lainnya masih
satu bangsa, sehingga tidak mungkin sebuah negara yang berdaulat
dipisah-pisahkan oleh laut bebas sebagai pembatasnya. Oleh sebab itu, mulai
muncul gagasan untuk merombak sistem hukum laut Indonesia.
Pemikiran untuk
mengubah Ordinantie 1939 dimulai pada 1956. Pada waktu itu, pimpinan Departemen
Pertahanan Keamanan RI mendesak kepada pemerintah untuk segera merombak hukum
laut warisan kolonial yang secara nyata tidak dapat menjamin keamanan wilayah
Indonesia. Desakan itu juga didukung oleh departemen lain seperti Departemen
Dalam Negeri, Pertanian, Pelayaran, Keuangan, Luar Negeri, dan Kepolisian
Negara. Akhirnya, pada 17 Oktober 1956 Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo
memutuskan membentuk suatu panitia interdepartemental yang ditugaskan untuk
merancang RUU (Rencana Undang-Undang) Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan
Maritim berdasarkan Keputusan Perdana Menteri RI No. 400/P.M./1956. Panitia itu
di bawah pimpinan Kolonel Laut R. M. S. Pirngadi.
Setelah bekerja selama
14 bulan akhirnya ’Panitia Pirngadi’ berhasil menyelesaikan konsep RUU Wilayah
Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim. Pada prinsipnya, RUU itu masih
mengikuti konsep Ordonansi 1939; perbedaannya adalah bahwa laut teritorial
Indonesia ditetapkan dari tiga mil menjadi 12 mil. Panitia belum berani
mengambil berbagai kemungkinan risiko untuk menetapkan asas straight base
line atau asas from point to point mengingat kekuatan Angkatan Laut
Indonesia masih belum memadai. Sebelum RUU disetujui, Kabinet Ali bubar dan
digantikan oleh Kabinet Djuanda.
Sejalan dengan
ketegangan yang terjadi antara Belanda dan RI terkait masalah Irian Barat,
pemerintahan Djuanda lebih banyak mencurahkan perhatian untuk menemukan sarana
yang dapat memperkuat posisi RI dalam melawan Belanda yang lebih unggul dalam
pengalaman perang dan persenjataan. Untuk itu, sejak 1 Agustus 1957, Ir.
Djuanda mengangkat Mr. Mochtar Kusumaatmadja untuk mencari dasar hukum guna
mengamankan keutuhan wilayah RI. Akhirnya, ia memberikan gambaran ’asas
archipelago’ yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Internasional pada 1951
seperti yang telah dipertimbangkan oleh RUU sebelumnya namun tidak berani untuk
menerapkannya dalam hukum laut Indonesia. Sebagai alternatif terhadap RUU itu,
disusun konsep ’asas negara kepulauan’.
Dengan menggunakan
’asas archipelago’ sebagai dasar hukum laut Indonesia, maka Indonesia akan
menjadi negara kepulauan atau ’archipelagic state’ yang merupakan suatu
eksperimen radikal dalam sejarah hukum laut dan hukum tata negara di dunia.
Dalam sidang 13 Desember 1957, Dewan Menteri akhirnya memutuskan penggunaan ’Archipelagic
State Principle’ dalam tata hukum di Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya
’Pengumuman Pemerintah mengenai Perairan Negara Republik Indonesia’. Dalam
pengumuman itu, pemerintah menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, di
antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau yang termasuk
daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya
adalah bagian dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan
demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah
kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia. Isinya adalah:
”segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan
pulaupulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik
Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagianbagian yang
wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian
merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan
mutlak daripada Negara Republik Indonesia. Lalu-lintas yang damai di perairan
pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan
dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia”.
Dalam peraturan, yang
akhirnya dikenal dengan sebutan Deklarasi Djuanda, disebutkan juga bahwa batas
laut teritorial Indonesia yang sebelumnya tiga mil diperlebar menjadi 12 mil diukur
dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau dari
wilayah negara Indonesia pada saat air laut surut. Dengan keluarnya pengumuman
tersebut, secara otomatis Ordonantie 1939 tidak berlaku lagi dan
wilayah Indonesia menjadi suatu kesatuan antara pulau-pulau serta laut yang
menghubungkan antara pulau-pulau tersebut.
Dalam Deklarasi Djuanda
terkandung suatu konsepsi negara maritim “Nusantara”, yang melahirkan
konsekuensi bagi pemerintah dan bangsa Indonesia untuk memperjuangkan serta
mempertahankannya hingga mendapat pengakuan internasional. Deklarasi Djuanda
merupakan landasan struktural dan legalitas bagi proses integrasi nasional
Indonesia sebagai negara maritim.
Dengan dikeluarkannya
peraturan tersebut, maka Ordonantie 1939 sudah tidak berlaku lagi di
Indonesia, dan garis teritorial laut Indonesia yang sebelumnya 3 mil menjadi 12
mil. Namun, tidak lama setelah Indonesia mengeluarkan peraturan tersebut,
muncul beberapa reaksi terhadap peraturan tersebut. Reaksi protes datang dari
beberapa negara seperti dari Amerika Serikat (tanggal 30 Desember 1957),
Inggris (3 Januari 1958), Australia (3 Januari 1958), Belanda (3 Januari 1958),
Perancis (8 Januari 1958), dan Selandia Baru (11 Januari 1958). Reaksi
penolakan tersebut sudah dipikirkan oleh pemerintah Indonesia, dan sudah pula
diumumkan bahwa reaksi-reaksi dari berbagai negara tersebut akan diperhatikan
dan dibahas dalam konferensi internasional mengenai hak-hak atas lautan yang
akan diadakan pada 1958 di Jenewa. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia telah
siap dengan reaksi protes yang diajukan dan siap berdebat pada konferensi di
Jenewa.
Delegasi Indonesia yang
datang pada konferensi internasional mengenai hak-hak atas lautan yang diadakan
di Jenewa terdiri atas Mr. Ahmad Subardjo Djojohadisuryo, S.H. yang pada waktu
menjabat sebagai Duta Besar RI di Swiss, Mr. Mochtar Kusumaatmadja, Goesti Moh.
Chariji Kusuma, dan M. Pardi (Ketua Mahkamah Pelayaran). Dalam kesempatan itu
delegasi Indonesia mengemukakan asas Archipelagic Principle dalam
pidatonya. Inilah untuk pertama kali masyarakat internasional mendengar
penjelasan mengenai implementasi ’Archipelagic Principle’ terhadap suatu
negara yang melahirkan ’Archipelagic State Principle’ yang pada waktu
itu masih asing bagi dunia. Asing karena asas ini eksis tapi belum ada satu pun
negara di dunia yang menggunakannya. Meskipun telah dijelaskan lewat pidato,
negara-negara yang pernah menyampaikan protes kepada pemerintah Indonesia belum
dapat menerima. Hanya, Indonesia mendapatkan dukungan dari Ekuador, Filipina,
dan Yugoslavia.
Pemerintah Indonesia
kemudian menggunakan beberapa cara untuk mendapat simpati dari negara-negara
lain, misalnya dengan menyebarkan tulisan The Indonesian Delegation to the
Conference on the Law of the Sea. Usaha itu mulai membuahkan hasil dan
setelah itu mulai banyak negara negara yang bersimpati dengan perjuangan
Indonesia.
Pemerintah Indonesia
kemudian merancang peraturan 13 Desember menjadi undang-undang agar
kedudukannya menjadi lebih kuat. Pada tahun 1960 pengumuman tersebut dituangkan
dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) No. 4/1960. Produk
hukum inilah yang kemudian juga disampaikan pada Konferensi Hukum Laut PBB ke-2
yang diselenggarakan tahun 1960, namun usul Indonesia masih belum dapat
diterima. Pada tahun 1962, Indonesia kembali menerbitkan PERPU No. 8/1962
mengenai ’Lalu-lintas Laut Damai Kapal Asing dalam Perairan Indonesia, dan
masih terus menyempurnakan implementasi Asas Negara Kepulauan dalam sistem
hukum di Indonesia.
Jalan Indonesia untuk
memperjuangkan diakuinya Asas Negara Kepulauan mulai menemui kemudahan ketika
pada tahun 1971 Indonesia dipilih menjadi anggota Committee of the Peaceful
Uses of the Sea-Bed and Ocean Floor beyond the Limit of National
Jurisdiction yang merupakan badan PBB untuk mempersiapkan Konferensi Hukum
Laut PBB. Dipilihnya Indonesia sebagai anggota badan tersebut, membuat
Indonesia lebih mudah dalam menyosialisasikan implementasi prinsip negara
kepulauan agar mendapatkan pengakuan dari pihak internasional. 12 Maret 1980,
dengan menggunakan dasar Hukum Laut Internasional mengenai Economic
Exclusive Zone Pemerintah Indonesia juga mengumumkan peraturan tentang Zone
Ekonomi Eksklusif (ZEE) selebar 200 mil diukur dari garis dasar. Pada tahun
1983, pengumuman ini disahkan menjadi Undang-undang RI No. 5/1983.
Konsep negara kepulauan
sendiri baru disetujui oleh mayoritas negaranegara di dunia pada 10 Desember
1982 pada Konvensi Hukum Laut Internasional.Tidak hanya konsep negara kepulauan
saja yang disetujui, namun juga mengenai ZEE. Lebih dari itu, konsep negara
kepulauan juga dimasukkan sebagai bagian dari Konvensi Hukum Laut PBB. Suatu
kemenangan diplomasi Indonesia yang patut dicatat sejarah. Karena itulah kini
tanggal 13 Desember, hari di saat UU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan
Maritim dan diterimanya Asas Negara Kepulauan, diperingati sebagai Hari
Nusantara. Jika pada Sumpah Pemuda (1928) rakyat Indonesia menyatakan diri
sebagai suatu bangsa, pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikan kemerdekaan
bangsa tersebut, maka pada tanggal 13 Desember 1957 ini dinyatakanlah wilayah
yang menjadi tanah airnya.
Dalam Konvensi Hukum
Laut Internasional tahun 1982 melalui United Nations Convention on
the Law of the Sea (UNCLOS) hingga kini telah diratifikasi oleh 140 negara.
Negara-negara kepulauan (Archipelago States) memperoleh hak mengelola
Zona Ekonomi Ekslkusif (ZEE) seluas 200 mil laut di luar wilayahnya. Hal ini
kemudian dituangkan ke dalam UndangUndang Nomor 17 tahun 1985 tentang
pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut).
Dengan ditetapkannya
Deklarasi Djuanda dan diresmikannya deklarasi itu menjadi UU No.4/PRP/1960
tentang perairan Indonesia.Wilayah negara RI yang semula luasnya 2.027.087 km2
(daratan) bertambah luas lebih kurang menjadi 5.193.250 km2 (terdiri atas
daratan dan lautan). Ini berarti bertambah kira-kira 3.106.163 km2 atau 145%.
Manfaat dari deklarasi Djuanda ini berlanjut kepada bertambah besarnya perairan
laut Indonesia. Deklarasi ini mengandung konsep tanah air yang tidak lagi
memandang laut sebagai alat pemisah dan pemecah bangsa tetapi dinilai sebagai
alat pemersatu dan wahana pembangunan nasional.
Post a Comment for "Peran Indonesia dalam Menciptakan Deklarasi Djuanda"
Post a Comment